Tuesday, April 24, 2007

BERPURA-PURALAH

PERLAKUKAN ORANG SEOLAH MEREKA SUDAH MENJADI APA YANG MAMPU MEREKA WUJUDKAN, DENGAN DEMIKIAN ENGKAU MEMBANTU MEREKA MEWUJUDKANNYA

- Goethe -

Ketika Anda berpura-pura, Anda akan mulai sungguh-sungguh percaya

bahwa Anda sudah menerimanya

- Rhonda Byrne, The Secret -

Kenapa mesti berpura-pura? Manfaat apa yang saya dapatkan jika saya berpura-pura? Inilah beberapa pertanyaan yang mungkin terlintas di benak Anda ketika membaca judul artikel saya ini. Ok, kalau begitu mari kita mulai dengan menyimak pernyataan Goethe di atas:

Perlakukan orang seolah mereka sudah menjadi apa yang mampu mereka wujudkan, dengan demikian engkau membantu mereka mewujudkannya.

Apa yang dinyatakan oleh Goethe ini telah memiliki alasan ilmiah dengan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Robert Rosenthal, yang sering juga disebut dengan Efek Pygmalion:

Bentuk standar dari penelitian ini diawali dengan pemberian daftar murid dari sebuah kelas yang berisi murid berusia sepuluh tahun kepada guru baru mereka di awal tahun ajaran baru. Daftar ini dibuat berdasarkan peringkat perolehan nilai IQ mereka dengan urutan dari yang tertinggi ke yang terendah: nama murid dengan nilai IQ tertinggi (mungkin sekitar 150) ditaruh pada urutan teratas dan nama murid dengan nilai IQ terendah (mungkin sekitar 85) ditaruh pada urutan terbawah. Guru yang bersangkutan diberitahu bahwa daftar ini tidaklah dianggap penting, semata-mata untuk pengetahuannya saja.

Di akhir tahun ajaran, prestasi akademis dan prestasi “sosial” atau perilaku para murid tersebut dihitung, dan kemudian dibandingkan dengan daftar IQ yang telah diberikan kepada guru mereka di awal tahun ajaran baru.

Yang mengejutkan dari eksperimen ini adalah urutan dalam daftar IQ yang asli sebenarnya telah dibalik sehingga urutan dalam daftar kelas yang digunakan guru justru berlawanan dengan yang sebenarnya! Dengan kata lain, anak dengan IQ tertinggi ditempatkan di urutan terakhir dalam daftar, dan anak dengan IQ terendah berada pada urutan teratas dalam daftar, di mana besarnya nilai IQ tetap dicantumkan di samping nama masing-masing anak dengan urutan dari tinggi ke rendah. Dan daftar anak yang memiliki IQ tertinggi yang berada dalam daftar “palsu” itu ternyata anak yang pada akhir tahun ajaran memiliki nilai yang sama dengan daftar IQ tertinggi pada daftar “palsu” tersebut, di mana anak tersebut sesungguhnya berada pada urutan IQ terendah dalam daftar yang asli.

Ternyata yang menjadi penyebab dari kemajuan anak yang “bodoh” tersebut adalah ekspektasi (tingkat pengharapan) guru. Jika guru mengharapkan anak berkinerja baik untuk alasan apapun, terdapat 80 persen kemungkinan yang lebih besar bahwa dia akan berkinerja baik. Demikian juga, jika guru mengharapkan anak untuk berkinerja buruk, juga terdapat 80 persen kemungkinan bahwa anak akan berkinerja buruk, entah berapa pun IQ-nya.

Apa yang dapat digambarkan adalah betapa pun rendahnya IQ anak, jika kita menganggapnya atau paling tidak berpura-pura (Anda harus ingat bahwa pada dasarnya guru dalam eksperimen di atas itu pun sesungguhnya berpura-pura bahwa anak dengan IQ rendah itu cerdas, walaupun kepura-puraannya tanpa sepengatahuan dirinya) bahwa seorang anak itu cerdas, maka seperti kata Goethe kita telah membantu mereka untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.

Menganggap seseorang itu cerdas atau pun bodoh juga terdapat dalam penelitian psikologi kognitif. Dalam psikologi kognitif, kita mengenal apa yang disebut dengan citra diri, yaitu apa yang kita gambarkan atau bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri. Jika kita menganggap diri kita cerdas, maka hasilnya pun kita akan menjadi cerdas. Citra diri pun dipengaruhi oleh orang lain, dimana jika orang lain menganggap Anda cerdas, maka Anda pun akan melihat diri Anda sebagai orang yang cerdas. Dengan kata lain, walaupun hanya sekedar berpura-pura, Anda bisa merubah keadaan Anda menjadi apa yang Anda inginkan. Karena seperti kata Rhonda Byrne, “Ketika Anda berpura-pura, maka Anda akan mulai untuk sungguh-sungguh percaya.”

Dalam penelitian di bidang neurosains pun mendukung argumen ini. Pernahkah Anda mengalami sebuah peristiwa di mana Anda jatuh dari gedung yang sangat tinggi. Anda begitu ketakutan dan berteriak histeris. Tepat sebelum Anda jatuh mengenai bumi, Anda terbangun. Wuiihh, ternyata cuma mimpi. Anda mengelap keringat yang membasahi sekujur tubuh Anda. Tapi, Anda seperti merasakan bahwa kejadian barusan seperti sungguhan. Ya, karena pikiran bawah sadar kita tidak mampu membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Apa yang Anda pikirkan, baik itu imajinasi maupun kenyataan, akan diterima sebagai suatu kebenaran oleh pikiran bawah sadar, dan pada akhirnya akan diwujudkan dalam realitas fisik. Jadi, apa alasan Anda untuk tidak mau berpura-pura terhadap apa yang Anda inginkan. Jika Anda belum kaya, maka berpura-puralah hidup sebagai orang kaya. SELAMAT BERPURA-PURA!!!

SUDAH JATUH KETIMPA TANGGA LAGI!

Di anjurkan anak-anak supaya nakal di waktu kecilnya,

supaya pas sudah besar dia jadi lemah lembut, karena anak kecil memang perlu begitu

- Hadis -


Pernahkah Anda melihat atau mungkin mengalami peristiwa seperti ini: seorang anak terpeleset jatuh karena ada genangan air di lantai dan kemudian dengan spontan sang mama pun datang menghampiri anaknya yang sedang menangis keras dan membujuknya dengan nada tinggi sambil berkata, “Apa tadi mama bilang? Kamu ndak mau dengar kata mama ya. Nah rasakan sekarang akibatnya.” Bukan mereda tangisan anak tersebut, tapi malah semakin menjadi-jadi karena ternyata bujukan tadi berupa kemarahan yang ditumpahkan kepada anaknya.

Sekali lagi, apakah Anda pernah melihat peristiwa seperti tadi? Ataukah Anda pernah mengalami peristiwa seperti tadi? Peristiwa yang saya gambarkan tadi masih dalam skala rendah, karena ada yang lebih “dahsyat” lagi kemarahan orang tua kepada anaknya ketika anaknya mengalami peristiwa seperti tadi atau peristiwa sejenisnya. Ini kan namanya: sudah jatuh ketimpa tangga lagi.

Tahukah Anda bahwa ketika Anda memarahi anak Anda yang mengalami kecelekaan kecil ketika bermain justru membuat kreatifitas anak terganggu. Bahkan yang lebih parah lagi adalah anak akan mengalami sebuah trauma yang pada akhirnya membuat si anak akan takut (fobia) pada air yang tergenang. Kenapa demikian? Bukankah bermain itu memiliki resiko. Dengan perkembangan motorik anak, adalah sudah sewajarnya jika anak mengalami beberapa kecelakaan kecil karena sistem motoriknya belum sempurna. Ia belum bisa secara refleks untuk mengatasi jalan yang licin. Bahkan banyak juga orang tua yang agak susah mengatasi terpeleset secara tiba-tiba. Selain itu, apa yang sering kita sebut sebagai nakal adalah sikap anak-anak yang selalu ingin mencoba-coba sesuatu yang baru. Nakal yang banyak orang maksudkan sesungguhnya adalah bentuk kreatifitas anak. Jadi, ketika dimarahi, justru membuat anak akan bertanya-tanya: Kok terpeleset malah semakin dimarahi? Bukankah seharusnya saya di sayang? Anda membuat anak-anak Anda menjadi bingung. Anda membuat anak-anak Anda menjadi anak yang takut untuk mencoba, karena pasti deh dimarahi lagi. Anda membuat anak Anda takut ketika melihat air yang tergenang. Ingatlah bahwa setiap percobaan itu pasti memiliki resiko. Yang perlu Anda lakukan adalah mendorongnya untuk mampu mengambil sebuah resiko, tapi Anda pun harus menjaganya agar tidak terjadi kecelakaan yang fatal.

Sebuah peristiwa lain yang lain tapi mirip seperti peristiwa di atas, juga memberikan pengaruh negatif yang luar biasa kepada anak. Peristiwa apa itu? Anda mungkin pernah melihat atau mengalami dimana Anak Anda melakukan sesuatu dan Anda memintanya untuk jujur. Ternyata kejujuran anak Anda itu justru memicu kemarahan Anda, karena kejujurannya adalah sesuatu yang membuat Anda malu atau merasa marah. Bukankah ini dilema bagi anak Anda. Kenapa? Karena Anda senantiasa berharap anak Anda untuk jujur, tapi ketika mereka jujur justru membuat Anda marah, bukankah ini akan membuat anak-anak merasa bingung dan terjadi konflik di dalam dirinya. Anak-anak Anda mungkin akan berkata, “Jika bohong kita di marahi, ehh jujur pun ternyata di marahi. Yah, kalau begitu bohong sajalah, kan orang tua saya tidak tahu apa yang saya lakukan.” Anda bisa lihat, bahwa tanpa sadar Anda telah mengajari anak Anda untuk belajar bohong. Hal ini terjadi karena sikap Anda tidak jelas menghadapi dua sifat yang berbeda: bohong dan jujur. Ketidakjelasan sikap Anda karena Anda memperlakukan anak Anda sama ketika mereka bohong dan jujur, yaitu Anda marah-marah terus.

Ingatlah, hampir semua kebiasaan anak kita terjadi karena kitalah yang telah membuatnya demikian. Kitalah yang tanpa sadar telah mengajarkan kebiasaan-kebiasaan buruk kepada anak kita. Kita berharap anak kita menjadi anak yang baik, tapi perilaku kita, tanpa kita sadari, telah mengajarkan kepada anak kita akan kebiasaan-kebiasaan buruk. Dan bagaimana sikap kita kepada mereka inilah yang lebih kuat bertahan dalam benak mereka, yang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan mereka. Cobalah secara sadar Anda menilai sikap Anda terhadap anak Anda, dan cobalah untuk lebih bijaksana dan menimbang akibat yang ditimbulkan jika Anda bersikap demikan. Jangan cepat bereaksi secara spontan menghadapi perilaku anak Anda. Dan ingatlah bahwa apa yang terjadi pada mereka, bagaimana kebiasaan mereka, adalah akibat dari segala perlakuan kita pada mereka. Oleh sebab itulah Anda jangan, dengan sepihak, menyalahkan mereka jika mereka berbuat salah. Karena kita jauh lebih merasa nyaman dengan menyalahkan dan menghakimi mereka, karena inilah jalan terbaik bagi orang tua yang tidak mau ambil peduli dan melepas tangan dari masalah-masalah anaknya. BIJAKSANALAH!!!

Saturday, April 21, 2007

PERJALANAN TERTINGGI

Seandainya saja aku bisa menghentikan satu hati dari kepedihan,

aku tak akan merasa hidup dalam kesia-siaan;

Seandainya aku dapat meringankan beban suatu kehidupan,

atau meredakan kepedihan,

atau membantu seekor Burung Murai yang pingsan,

kembali ke sarangnya,

aku tak akan hidup dalam kesia-siaan.

- Emily Dickinson -

Ingat! Anda (kita semua) adalah partisipan dalam kehidupan ini. Kita mestinya selaras dengan alam dengan hanya memiliki satu misi utama: membantu kelancaran dan kecepatan proses alam semesta untuk menuju ke arah yang lebih baik. Seperti kita menanam sebuah benih, tanpa kita pun benih tersebut akan bisa tumbuh dengan sendirinya. Namun dengan adanya kita, maka kita bisa membantu kelancaran proses tumbuhnya.

Karena masih banyak syarat-syarat yang belum kita ketahui untuk mengkreasikan sesuatu, maka ini menjadi alasan utama kita untuk selalu belajar. Menemukan syarat-syarat dalam proses belajar adalah suatu cara yang utama untuk membantu diri kita sendiri untuk tumbuh dan pada saat yang sama pula kita berbagi dengan orang lain dan alam semesta untuk bersama-sama tumbuh menuju kesempurnaan yang mungkin kita raih. Disinilah inti dari perjalanan hidup. Sebuah perjalanan tertinggi yang dapat kita lakukan, yaitu senantiasa membantu diri sendiri dan orang lain serta alam semesta untuk tumbuh mencapai kesempurnaan yang mungkin kita raih. Dengan kata lain, perjalanan tertinggi hidup ini adalah ketika kita berpartisipasi dalam alunan alam semesta dengan niat untuk membantu kelancaran proses seluruh makhluk untuk mencapai kesempurnaannya. Saya menyebut hal ini sebagai perjalanan, karena hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Dan ketika perjalanan Anda telah sampai pada titik pencerahan, maka perjalanan terakhir (tertinggi) yang mesti Anda lakukan adalah membantu – semaksimal mungkin – orang lain untuk mencapai pencerahan mereka masing-masing. Anda senantiasa menolong dan membantu orang lain dan alam semesta.

Ibarat mendaki sebuah gunung. Ketika Anda berada di puncak gunung tersebut, maka Anda akan merasakan sensasi dan kebahagiaan yang luar biasa. Namun, perjalanan mendaki gunung tidak lantas berhenti sampai di situ, karena perjalanan selanjutnya adalah ketika Anda “turun kembali” untuk mengajak sebanyak mungkin orang untuk merasakan apa yang telah Anda rasakan. Dan hal ini akan melahirkan kebahagiaan tersendiri bagi Anda. Perjalanan ini akan terus berlanjut, karena ada begitu banyak orang yang bisa kita ajak untuk melihat pemandangan dari atas puncak gunung tersebut.

Dan tahukah Anda, apa “pekerjaan” Tuhan yang paling mulia dan terbesar? “Melayani”. Benar. Tuhan senantiasa dan setiap saat “melayani” alam semesta ini dengan memberikan bantuan yang kita semua butuhkan untuk tumbuh mencapai titik sempurna yang mungkin kita raih. Tuhan memberikan apapun bagi kita dan alam semesta ini. Jadi, adalah hal yang sangat angkuh jika kita tidak berusaha meniru “pekerjaan” Tuhan tersebut. Kita belajar untuk proses tumbuhnya diri kita dan secara otomatis pula kita membantu yang lain untuk tumbuh. Inilah bentuk perjalanan tertinggi manusia. Dan perjalanan ini adalah sebuah bentuk perjalanan panjang, yang takkan berhenti walau kita sudah meninggal. Karena anak cucu kita akan melanjutkan perjalanan ini, hingga terbentuk suatu kesempurnaan tertinggi yang dapat diraih.

APA YANG ANDA PERSAKSIKAN?

Saya seringkali mengungkapkan satu pernyataan kepada teman-teman saya ketika kami melakukan sebuah diskusi. Saya sering mengatakan bahwa tujuan hidup manusia dapat diringkas dengan sebuah kalimat pendek berikut ini: Inna Lillahi wa Inna Ilahi Rajiun, Semua berasal dari Allah dan pada akhirnya semua pun akan kembali kepada-Nya. Untuk apa kita kembali kepada-Nya? Menurut saya: adalah untuk memberikan persaksian atas apa yang telah kita lakukan selama kita hidup.

Tuhan telah menciptakan kita sebagai manusia, dan ketika kembali kepada-Nya pun “mestinya juga” sebagai manusia. Adakah orang-orang yang tidak kembali sebagai manusia? Ada, dan begitu banyak orang-orang yang kembali tidak sebagai manusia. Kok bisa demikian? Bukankah kita ini adalah manusia! Benar, kita diciptakan sebagai manusia. Namun, dalam menjalani proses hidup ini kita terkadang justru melenceng dari fitrah kemanusiaan kita. Anda mungkin masih ingat pembahasan saya pada bab 1. Saya membahas tentang kemampuan otak manusia dan membandingkan dengan otak lebah. Lebah yang hanya memiliki jumlah sel sebanyak 7 ribu sel otak mampu melakukan banyak hal seperti yang Anda bisa lihat pada bab 1. Kita, sebagai manusia yang memiliki jumlah sel sebanyak 1 triliun, kalau hanya bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh lebah saja, maka apa bedanya kita dengan lebah tersebut. Kita tidak jauh beda dengan binatang. Apalagi jika aktifitas kita hanya perut dan di bawah perut, maka apa bedanya kita dengan bakteri yang juga hanya bisa melakukan aktifitas perut dan di bawah perut.

Kita diberi potensi yang luar biasa sebagai bekal kita dalam menjalani hidup ini. Dengan bekal itu, kita ingin meraih semua impian-impian hidup. Dan dengan bekal itu pula, saya percaya kita semua dapat meraih impian-impian hidup kita, dengan satu syarat mutlak tentunya yaitu: kita senantiasa mau membuka diri untuk BELAJAR. Hidup ini adalah ladang pelajaran. Dengan belajar kita menemukan apa yang ingin kita temukan. Dengan belajar pula, kita dapat menjadi lebih dewasa dalam menjalani hidup, kita memiliki seperangkat nilai, kita dapat bersosialisasi, kita menemukan makna, kita dapat mengasah kecerdasan spiritual. Intinya, kita dapat menjalani hidup ini dengan suasana bahagia, jika kita mau membuka diri untuk senantiasa belajar dan belajar. Kita mesti mengembangkan semua potensi kita dengan belajar.

Dan seperti kita semua ketahui bahwa Tuhan menciptakan kita sebagai manusia. Sebagai manusia, sudah tentu kita unik (berbeda) dengan makhluk lainnya yang Tuhan ciptakan. Namun, seperti halnya kita ingin meraih segala impian-impian kita, kita pun perlu senantiasa belajar untuk meningkatkan taraf ke-manusia-an kita. Orang-orang yang sudah tidak mau lagi belajar dalam hidup ini, menurut saya, adalah orang-orang yang sudah mati. Kenapa demikian? Menurut Dave Meier, “Belajar adalah hidup.” Belajar menuntut kita untuk senantiasa berubah, dan perubahan itu terkadang “menyakitkan”. Orang-orang yang sudah tidak mau berubah maka dapat dikatakan “tidak bergerak”, “tidak berenergi”, “alias mati”. Begitu banyak orang yang merasa nyaman dengan kondisi mereka saat ini. Kebanyakan orang tidak ingin merasakan “sakit” ketika berubah. Padahal dengan berubah, kita akan tumbuh menjadi manusia dewasa. Ingat!!! pada pembahasan kita mengenai “menjadi dewasa” pada bab 4. Dan senantiasa berubah menjadi dewasa, seharusnya sudah menjadi sifat kita sampai kita mati. Jika Anda perhatikan! Tak ada satu pun makhluk yang tidak berubah (tumbuh), kecuali makhluk tersebut sudah mati. Pertumbuhan adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk (dan semua makhluk tumbuh sampai batas maksimal pertumbuhannya), kecuali pada manusia yang bisa memilih untuk tumbuh atau “mati”.

Nah, dalam pertumbuhan hidup inilah kita pun belajar untuk memahami makna dari jalur kehidupan kita. Dengan kata lain, apa yang akan kita persaksikan atas apa yang kita lakukan sehari-hari dalam menjalani kehidupan kita kepada Tuhan? Apa yang akan kita laporkan kepada Tuhan, sebagai bentuk pertanggung jawaban kita kepada-Nya atas apa yang telah Dia berikan kepada kita? Seluruh potensi yang kita gunakan dalam menjalani hidup akan menjadi persaksian kita kepada-Nya. Anda belajar untuk memiliki kekayaan. Apa yang akan Anda persaksikan dengan kekayaan itu kepada Tuhan? Anda bekerja demi kelangsungan hidup. Apa yang akan Anda persaksikan dalam pekerjaan Anda tersebut? Saya saat ini lagi menulis buku. Apa yang akan saya persaksikan kelak, mengenai buku yang saya tulis ini?

Apapun aktifitas kita, akan kita persaksikan nanti atas apa yang telah kita lakukan selama hidup? Hal ini menyiratkan dengan jelas bahwa anggapan: 50% dunia dan 50% akhirat adalah keliru. Persaksian kepada Tuhan bukan hanya sebatas ibadah ritual saja, melainkan seluruh aktifitas kehidupan kita. Ini berarti hidup adalah untuk 100% akhirat. Metafora ladang menggambarkan hal ini dengan jelas. Hidup di dunia ibarat kita berada di sebuah ladang yang luas. Apapun yang akan kita tanam (aktifitas kita), akan menentukan seberapa baik hasilnya kelak. Dan mendapatkan hasil tanaman kita bukanlah pada saat kita menanamnya (bukan pada saat kita melakukan berbagai aktifitas di dunia ini), melainkan pada suatu hari kelak, dimana akan tiba masa kita memanen seluruh tanaman yang kita telah tanam. Hidup di dunia adalah untuk mendapatkan hasil panen di akhirat kelak. Dan hasil panen inilah yang akan kita persaksikan kepada Tuhan, karena Tuhan-lah “pemilik modal” bagi seluruh alam semesta. Dan seperti yang dikatakan Nabi Muhammad saw, “Yang paling bodoh di antara kamu adalah orang yang tidak belajar dari perubahan dalam dunia.” Apa yang telah kita pelajari dari hidup ini? Apa yang akan kita persaksikan kelak? Kita telah diciptakan sebagai manusia; apakah kita akan kembali pun sebagai manusia?

MENEMUKAN MAKNA

Seorang pengusaha Amerika sedang berdiri di dermaga di sebuah desa pantai di Meksiko ketika sebuah perahu kecil yang hanya memuat seorang nelayan berlabuh. Di dalam perahu terdapat beberapa ikan tuna sirip kuning. Orang Amerika itu memuji si nelayan Meksiko atas kualitas ikannya dan bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangkapnya.

Nelayan Meksiko itu menjawab, “Hanya sebentar.”

Selanjutnya, orang Amerika itu bertanya mengapa dia tidak tinggal di laut lebih lama agar dapat menangkap ikan lebih banyak.

Nelayan Meksiko itu menjawab bahwa yang dibawanya sudah cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya saat ini.

Lalu, orang Amerika itu bertanya, “Tetapi, apa yang Anda lakukan dengan waktu Anda selebihnya?”

Nelayan Meksiko itu berkata, “Saya tidur larut, memancing sebentar, bermain dengan anak-anak saya, tidur siang bersama istri saya, Maria, berjalan-jalan ke desa setiap malam untuk saya menyesap anggur dan bermain gitar bersama kawan-kawan saya. Saya mempunyai kehidupan yang lengkap dan sibuk, Señor.”

Orang Amerika itu mencemooh, “Saya seorang MBA lulusan Harvard dan dapat menolong Anda. Anda mestinya menggunakan waktu lebih banyak untuk menangkap ikan. Dengan keuntungan dari situ, Anda dapat membeli perahu yang lebih besar. Dari hasil perahu yang lebih besar, Anda dapat membeli beberapa perahu lagi. Pada akhirnya, Anda akan memiliki armada perahu nelayan. Bukannya menjual tangkapan kepada tengkulak, Anda dapat menjual langsung pada pabrik pengolah ikan, dan akhirnya, Anda bisa membuka usaha pengalengan sendiri. Anda akan mengontrol produk, pemrosesan, dan distribusi. Nantinya, Anda harus meninggalkan desa pantai yang kecil ini dan pindah ke kota Meksiko, lalu ke Los Angeles, dan akhirnya, ke New York, dan Anda akan menjalankan perusahaan Anda sendiri yang semakin berkembang.”

Nelayan Meksiko itu bertanya, “Tetapi Señor, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk ini?”

Orang Amerika itu menjawab, “Lima belas sampai dua puluh lima tahun.”

“Tetapi, kemudian setelah itu apa, Señor?”

Orang Amerika itu tertawa dan berkata bahwa itulah bagian yang paling baik. “Jika waktunya sudah tepat, Anda akan menjual saham perusahaan kepada masyarakat dan menjadi sangat kaya. Anda akan menghasilkan uang berjuta-juta.”

“Berjuta-juta, Señor? Lalu untuk apa?

Orang Amerika itu berkata, “Lalu, Anda akan pensiun. Pindah ke kota pantai kecil supaya Anda bisa tidur larut, memancing sedikit, bermain dengan anak-anak, menikmati tidur siang bersama istri, berjalan-jalan ke desa di malam hari dan menyesap anggur serta bermain gitar bersama kawan-kawan.”

Kisah di atas kemudian diberi penjelasan oleh Danah Zohar sebagai berikut:

Kita dapat dengan mudah melihat bahwa pengusaha Amerika dalam cerita ini bodoh secara spiritual, sedangkan nelayan Meksiko itu cerdas. Mengapa? Sang nelayan memiliki pemahaman yang cerdas mengenai tujuan hidupnya sendiri yang dianggapnya penting, motivasinya sendiri yang paling dalam. Dia menjalani gaya hidup yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun keluarganya, dia meluangkan waktu untuk hal-hal yang berarti baginya, dia merasa damai, dia terpusat. Pengusaha Amerika itu, sebaliknya, adalah anak dari kebudayaannya sendiri yang bodoh secara spiritual. Dia ambisius, dia harus mencapai sesuatu demi pencapaian itu sendiri, dia tidak bersentuhan dengan hal-hal dalam kehidupan yang dapat memberi motivasi mendalam kepada seseorang seperti nelayan tersebut, dia telah menyerap cita-cita tak bermakna hanya karena cita-cita itu dia pelajari di Harvard. Nelayan itu kemungkinan besar akan berumur panjang dan akhirnya meninggal dengan damai. Sang pengusaha akan terkena serangan jantung pada usia 55 tahun dan meninggal dengan perasaan sedih bahwa dia tidak pernah berhasil mencapai cita-citanya.

Saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang telah kita raih hanyalah merupakan sebentuk alat bagi kita untuk melanjutkan perjalanan panjang kita berikutnya. Ini membuktikan bahwa meraih nuansa spiritualisme tidak hanya ketika kita berada dalam ritual-ritual tertentu, melainkan juga dalam keselurahan kehidupan kita adalah nuansa untuk meraih tingkat spiritual yang lebih tinggi. Apa yang diraih, sekali lagi, bukanlah tujuan, melainkan sekedar alat untuk membantu perjalanan kita berikutnya.

Menemukan makna adalah penting dalam menjalani hidup ini, apapun aktifitas kita. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan, yaitu kebebasan untuk memilih makna dari setiap kejadian yang kita alami. Saya ingin mengutipkan kepada Anda apa yang ditulis oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang menemukan makna:

  1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self-discovery). Sa’di, penyair besar Iran, pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika dia sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, dia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria. Tampak dalam perhatiannya bahwa penceramah itu patah kedua kakinya. Tiba-tiba, dia disadarkan. Segala kejengkelannya mencair. Dia sedih kehilangan sepatu padahal di sini ada orang yang tertawa ria walaupun kehilangan kedua kakinya.
  2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam satu keadaan; ketika kita tidak dapat memilih. Seorang eksekutif pindah dari Bandung ke Jakarta. Dia mendapat posisi yang sangat baik dengan gaji yang berlimpah. Akan tetapi, dia juga kehilangan waktu untuk berkencan dengan keluarga dan anak-anaknya. Dia ingin mempertahankan jabatannya dan ingin mempunyai waktu lebih banyak untuk keluarga. Pada suatu hari, dia berdiri di depan rapat pimpinan dan menyatakan mengundurkan diri. Saat itu, dia merasakan kebahagiaan menemukan kembali makna hidupnya.
  3. Makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain. “Aku senang bersama cucuku,” kata seorang kakek. “Cucuku suka mengatakan ‘Ikuti aku, Opa’ dan aku menuruti semua kemauannya. Tidak seorang pun yang dapat melakukan itu baginya. Ibunya juga tidak karena terlalu sibuk.” Seorang mahasiswa merasa sangat bahagia ketika Margaret Mead menanyakan pendapatnya. “Bayangkan, seorang Margaret Mead menanyakan pendapatku!” Untuk mendapatkan pengalaman seperti itu, kata Fabry, kita tidak selalu memerlukan Margaret Mead. Carilah orang yang mendengarkan kita dengan penuh perhatian, kita akan merasa hidup kita bermakna.
  4. Makna membersit dalam tanggung jawab. Fabry berkisah tentang seorang perempuan yang berlibur ke Acapulco tanpa suaminya. Di sana, dia berkenalan dengan seorang anak muda yang tampan. Dia jatuh pada rayuannya. Ketika sang pemuda mohon diizinkan untuk mengunjunginya di kamar hotelnya, perempuan itu menyetujuinya. Dia tidak pernah berselingkuh, tetapi dia sudah berpisah dengan suaminya selama dua minggu. Ada hasrat seksual yang bergejolak. Dia menunggu pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi, ketika pemuda itu mengetuk pintu kamarnya, perempuan itu merasakan sengatan keras di jantungnya. Ketika ketukan pintunya itu makin keras, dia teringat suaminya. Dia memutuskan untuk tidak membuka pintu. “Lalu,” kata perempuan itu, “… aku mendengar langkah-langkah kakinya menjauh. Aku menengok dia lewat jendela. Ketika aku melihatnya pergi, aku mengalami perasaan bahagia yang paling intens dalam hidupku.”
  5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal di atas. Ketika mentransendensikan diri kita, kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi, kata Zohar, adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar pengalaman kita yang biasa, ke luar suka dan duka kita, ke luar diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transensdensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir – ultimate meaning – yang menyadarkan kita akan aturan agung yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar, yang ditampakkan kepada kita. Tidak menjadi soal apakah ia berasal dari the collective unconscious Jung atau dimensi spiritual Frankl.

Banyak yang mengira bahwa meraih suatu prestasi adalah tujuan hidup yang sesungguhnya, padahal tidaklah demikian adanya. Anda bisa melihat hasil penelitian yang telah saya bahas pada bab 6, sub-bab Mengungkapkan Rasa Syukur. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat spiritualitas kita maka dengan sendirinya apapun yang kita ingin raih dapat dengan mudah terjadi. Andaikan ada yang tidak memiliki tingkat spiritualitas pada level tinggi seperti yang berada pada tabel tersebut, dan telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, maka yakin sajalah bahwa jiwa mereka pun pasti kering.

Penelitian David Myers telah membuktikan hal ini. Amerika sebagai Dunia Pertama, yang memiliki hampir semua apa yang diimpikan oleh sebagian besar orang berupa kekayaan yang berlimpah, tetapi ternyata di tengah-tengah kemakmuran tersebut David Myers menemukan penderitaan. Semakin banyak uang ternyata membuat semakin menderita. Orang-orang yang kaya banyak mengalami krisis makna hidup. Myers juga membuktikan dalam sebuah statistik bahwa kenaikan pendapatan ternyata tidak seiring dengan peningkatan kebahagiaan. Daniel Goleman pun menuturkan, “Pada sebagian negara kaya kemungkinan orang yang lahir setelah 1955 untuk menderita depresi besar – bukan hanya kesedihan, tetapi kesepian yang melumpuhkan, kehilangan semangat, kehilangan harga diri, ditambah perasaan tidak berdaya yang luar biasa – pada satu titik kehidupan lebih dari tiga kali lebih besar daripada generasi kakek mereka.” Dan seperti yang telah kita urai di atas, hal ini terjadi karena kekayaan dianggap sebagai tujuan hidup, kekayaan dilihat sebagai pemenuhan keingingan.

FOR WHAT/WHAT NEXT

Apa yang kamu butuhkan dari dunia adalah sesuatu yang sah untuk memuaskan laparmu, sesuatu yang dengannya kau mencukupi dirimu, dan sebuah atap di atas kepalamu. Biarkan ini semua menjadi sesuatu yang hanya diminta dari dunia ini

- Ibn al-‘Arabi -

Jangan biarkan kenangan menjadikanmu berpuas diri. Apa yang engkau temukan selama pencarian adalah hadiah-Nya bagimu. Tapi saat hadiah-Nya engkau buka, jangan jadikan ia sebagai tujuan

- Da’ud ibnu Ibrahim al Shawni -

Seorang darwis melapor pada polisi bahwa seluruh harta dunianya dicuri. Para polisi mengecam bahwa orang yang mencuri seluruh harta darwis itu pastilah jahat sekali. Mereka bekerja keras dan akhirnya menemukan pencurinya yang membawa selembar selimut milik darwis tersebut. Mereka mengambil selimutnya dan kemudian memberikannya kepada sang darwis. “Ini baru awal. Kami tak akan berhenti mengejarnya sebelum menemukan seluruh harta Anda lainnya.”

“Tapi, kalian telah menemukan seluruhnya,” kata sang darwis.

“Cuma selembar selimut compang-camping ini? Anda bilang seluruh harta Anda dicuri,” ujar para polisi.

“Ya, hanya ini yang aku punya. Ini menjadi permadani tempatku duduk, selimut di malam yang beku, mantelku pada siang yang dingin, dan payungku dari sengatan sinar matahari,” imbuh sang darwis.

Khalil A. Khavari yang menulis kisah tersebut kemudian menjelaskan: darwis itu mengajarkan kepada kita sebuah nasihat adiluhung, yaitu milikilah barang-barang yang benar-benar kita butuhkan saja, dan sisihkanlah daftar barang yang kita inginkan. Kebutuhan kita sedikit, sedangkan keinginan kita tak berhingga. Memuaskan keinginan kita berarti memburu ilusi yang takkan pernah dapat digapai. Manakala kita memiliki sesuatu, uang dan barang, semboyannya adalah: apa yang kau gunakan dengan baik itu milikmu; dan apa yang kau tumpuk-tumpuk bukan milikmu.

Khavari telah mengajarkan kepada kita satu hal: untuk apa semua keberhasilan, prestasi puncak, kesuksesan, apapun namanya, yang telah kita raih? Apa yang dapat kita lakukan setelah kita meraih impian-impian kita? Seperti semboyan di atas: apa yang kau gunakan dengan baik itu milikmu; dan apa yang kau tumpuk-tumpuk bukan milikmu.

Yang membuat kita senantiasa berprestasi, bahkan bahagia, adalah kemampuan kita untuk senantiasa berkembang dan berproses untuk memenuhi apa yang kita butuhkan, bukan pada apa yang kita inginkan. Kita butuh kecemerlangan jiwa dengan membantu orang lain. Ini merupakan bagian dari proses untuk menjadi kaya, bukan hanya sekedar keinginan untuk menjadi kaya. Pada akhirnya, semuanya adalah alat untuk membantu memberikan apa yang kita butuhkan: cinta, kasih sayang, jiwa yang tenang, bertahan hidup, dan apapun yang membantu kita untuk tumbuh menjadi manusia yang sempurna.

Hal ini bukanlah dimaksud bahwa kita betul-betul harus hidup miskin, melainkan menemukan maksud dari semua pencapaian yang telah kita raih selama ini. Sebuah kisah berikut menggambarkan dengan jelas akan maksud saya ini:

Ada seorang nelayan miskin yang juga seorang guru sufi. Dia pergi memancing pada suatu hari, dan setiap hari dia membagikan hasil tangkapannya kepada orang-orang miskin di kampungnya, kecuali satu atau dua kepala ikan yang dia pakai untuk membuat sup untuk dirinya sendiri. Muridnya sungguh mencintai dan mengagumi guru mereka dan memberi julukan “syekh kepala ikan.”

Salah satu muridnya adalah seorang pedagang. Sebelum pergi ke Kordoba, guru itu memintanya untuk menyampaikan salamnya kepada gurunya sendiri, Syekh Ibn al-‘Arabi, dan menitip pesan untuk memintakan sejumlah saran untuk membantu dalam urusan-urusan spiritual dirinya, yang dia rasakan berjalan begitu lamban.

Ketika pedagang itu sampai di rumah Ibn al-‘Arabi, dia menemukan banyak hal yang mengagetkan dirinya, sebuah istana yang dikelilingi dengan kebun-kebun. Dia melihat banyak pelayan hilir mudik dan melayani dengan daging mewah di atas panggang emas oleh seorang perempuan muda yang cantik dan pemuda-pemuda yang tampan. Akhirnya dia diantar menemui Ibn al-‘Arabi yang tengah mengenakan pakaian yang cocok sekali untuk seorang sultan. Dia menyampaikan salam gurunya dan menyampaikan permohonan gurunya mengenai panduan spiritual. Ibn al-‘Arabi dengan sederhana mengatakan, “Katakan pada muridku bahwa dia terlalu kadonyan (larut oleh dunia)!” Pedagang itu kaget dan tersinggung oleh saran yang datang dari orang yang hidup dalam kemewahan duniawi seperti itu.

Ketika dia kembali, gurunya segera menanyakan pertemuannya dengan Ibn al-‘Arabi. Pedagang itu menyampaikan ungkapan Ibn al-‘Arabi dan menambahkan bahwa kedengarannya sangat absurd, sesuatu yang datang dari orang yang sangat kaya, seorang yang dibelit oleh dunia.

Gurunya membalas, “Kamu harus tahu bahwa masing-masing dari kita bisa mempunyai kekayaan material sebanyak yang bisa dicapai oleh jiwa tanpa kehilangan penglihatan pada Tuhan. Apa yang kamu lihat bukanlah kekayaan material, tetapi pencapaian spiritual yang besar.” Lalu guru itu menambahkan, dengan air mata di matanya, “Tetapi dia benar. Seringkali ketika malam di saat aku membuat sup sederhana dari kepala ikan, aku menganggapnya seolah-olah ikan yang utuh!”

Anda tidak di larang untuk menjadi kaya. Tapi, sekali lagi, apa yang akan Anda lakukan dengan kekayaan Anda itu? Saya ingin memberikan contoh sederhana tentang penggunaan kekayaan yang kita miliki: ketika kita memiliki harta, maka setiap harta yang kita “miliki” akan betul-betul menjadi milik kita ketika kita memperhatikan:

  1. Anak. Ada hak anak pada harta tersebut, karena anak adalah amanah yang harus kita jaga
  2. Istri. Ada hak istri pada harta tersebut, karena kita wajib memberi nafkah kepadanya
  3. Orang lain. Ada hak orang lain pada harta tersebut, karena kita membutuhkan kesegaran spiritual. Selain itu banyak riwayat hadis yang menunjukkan bahwa dengan bersedekah, maka kita menolak 40 bala. Dan menolak bala sangat dibutuhkan oleh kita demi kelangsungan hidup kita. Di sisi lain, “Bersedekah merupakan cara untuk mendapatkan rejeki,” kata Imam Ali. Ini juga merupakan hal penting yang kita butuhkan untuk kelangsungan hidup kita.

Intinya: kita senantiasa mengembangkan fitrah kemanusiaan kita dengan mendaya-gunakan seluruh potensi di dalam diri dan “alat” yang ada di sekeliling kita, dan bukan hanya sekedar untuk memuaskan “nafsu keinginan” belaka.

Thursday, April 19, 2007

MENEMUKAN KEBAHAGIAAN



Jalan pintas ke segala sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup adalah MENJADI dan MERASA bahagia sekarang juga
- Rhonda Byrne, The Secret -

Terdapat sebuah renungan menarik tentang arti dari bersyukur, dimana kesadaran ini akan membawa kita untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup. Renungan ini saya temukan di internet, dan saya kira sangat cocok untuk saya bagikan kepada Anda:

Setiap jenjang kedewasaan yang lebih tinggi, demikian pengalaman saya bertutur, sering kali mentertawakan jenjang kedewasaan di bawahnya. Ketika baru saja mulai belajar bekerja sebagai seorang sarjana baru di salah satu perusahaan Jepang, kerap kali dalam rapat saya ditertawakan orang karena berbicara dengan jargon-jargon universitas yang asing. Tatkala baru belajar berbicara di depan umum, tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa muka saya merah ketika didebat orang. Pada saat baru belajar memimpin orang, sejumlah bawahan memberi masukan kalau saya mudah sekali tersinggung. Pada tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan saya sebagai manusia, pernah terjadi Tuhan tidak pernah saya anggap benar.
Ketika belum jadi manajer, memohon ke Tuhan agar jadi manajer. Namun, begitu merasakan beratnya duduk di kursi pimpinan ini, maka Tuhanpun disesalkan. Tatkala naik bus kota sering berdoa agar punya mobil. Saat mobil sudah di tangan, kemudian menggerogoti kantong dengan seluruh kerusakannya, maka salah lagilah Tuhan.
Sekarang, ketika tabungan pengalaman dan kesulitan telah bertambah, rambut sudah mulai memutih, badan dan jiwa mulai lebih tahan bantingan, terlihat jelas, betapa naif dan kekanak-kanakannya saya pernah jadi manusia. Yang membuat saya super heran, kalau bertemu orang dengan umur yang jauh lebih tua dari saya, tetapi memiliki tingkat kenaifan yang sama dengan saya ketika masih amat muda.
Bekerja dengan orang lain, bahkan termasuk dengan pemilik perusahaan pun, tidak ada yang dinilai benar dan pintar. Setiap orang, di mata orang ini, hanyalah kumpulan manusia yang tidak patut dihargai. Kecuali, tentunya manusia-manusia dengan isi kepala yang sama, atau mau berkorban menyesuaikan diri sepenuhnya. Di salah satu perusahaan yang menjadi klien saya, orang mengenal seorang pimpinan yang diberi stempel Mr. Complain. Semua orang disekitarnya - dari sekretaris hingga boss besar – dikeluhkan begini dan begitu. Dengan saya, Tuhanpun sering di-complain. Dari salah profesi, keliru memilih istri, anak-anak yang tidak bisa diurus, sampai dengan pemilik perusahaan yang dia sebut super kampungan. Sebagai hasilnya, ia memiliki koleksi musuh yang demikian banyak, pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain, dan yang paling penting memiliki kehidupan yang kering kerontang. Di mata orang-orang seperti ini, Tuhan senantiasa tidak pernah benar.
Sulit sekali bagi manusia jenis ini untuk menerima saja lingkungan dan rezekinya. Yang ada hanyalah keluhan, keluhan dan keluhan. Dengan sedikit kejernihan, diri kita sebenarnya karunia Tuhan yang paling berharga. Anda dengan hidung, mata, bibir, kepribadian, ketrampilan, dan senyuman yang Anda miliki, hanya dimiliki oleh Anda sendiri. Tukang jahit jarang sekali membuat satu model baju untuk satu orang saja. Arsitek sedikit yang gambarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang saja. Kalaupun ada tukang jahit dan arsitek yang membuat disain khusus, dengan sangat mudah orang lain bisa menirunya. Tetapi Tuhan, mendisain setiap manusia semuanya dengan keunikan. Bahkan, manusia kembarpun tetap unik. Dan yang paling penting, tidak ada satupun yang bisa meniru Anda dengan seluruh keunikan Anda.
Bayangkan, betapa sulit dan besar energi yang dibutuhkan untuk mendisain sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru siapapun. Bercermin dari sini, disamping kita harus berterimakasih ke Tuhan karena menciptakan keunikan yang tidak ada tiruannya, sudah saatnya untuk mencari cara bagaimana keunikan dalam diri ini bisa dimaksimalkan. Hidung saya yang tidak mancung ini tentu saja hanya milik saya seorang diri. Dulu ia menjadi sumber rasa minder, namun ketika ada orang yang mengatakan ini penuh keberuntungan, maka berubahlah dia sebagai energi keberhasilan.
Kembali ke cerita awal tentang manusia yang kerap menempatkan Tuhan dalam posisi selalu tidak benar, sudah saatnya mungkin kita menerima dan menghargai seluruh keunikan yang hanya milik kita sendiri. Kalau memiliki rumah, mobil, baju yang hanya didisain khusus untuk kita, tentu saja ia amat membahagiakan dan membanggakan. Demikian juga dengan tubuh dan jiwa ini. Ia hanya didisain khusus untuk kita.
Baik, buruk, cantik, ganteng, menarik, simpatik atau membosankan sekalipun, sebenarnya hanyalah judul dan stempel yang kita berikan ke tubuh unik yang kita bawa ke mana-mana ini. Bedanya, judul ini kemudian tidak hanya merubah mata Anda, tetapi juga mata orang lain dalam melihat diri Anda sendiri.

Walhasil, bersyukur membawa kita pada kemampuan untuk mempersepsikan segala sesuatu dengan benar. Dan kemampuan ini akan membantu kita untuk meningkatkan kebahagiaan yang kita rasakan.

Dalam buku Meraih Kebahagiaan, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengangkat pembahasan SST (Sindrom Sukses Toksik ) dalam bab 5. Beliau mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Paul Pearsall, yang meneliti tentang sukses yang beracun. Sukses berkaitan dengan hasil usaha atau akibat dari usaha untuk meraih apa yang kita inginkan. Boleh jadi ada perbedaan antara orang-orang yang berlainan tentang apa yang diinginkan. Dan, bila orang sudah berhasil memenuhi keinginannya, ia merasa bahagia. Karena “bahagia” adalah memperoleh apa yang kita inginkan, maka dengan mudah kita menyamakan sukses dengan kebahagiaan. Jika kita ingin bahagia, kita harus sukses. Untuk mencapai sukses, kita harus berjuang keras. Karena itu, ironisnya, sukses lebih dekat dengan pergulatan daripada kenikmatan.

Malangnya lagi, kenikmatan sukses itu hanya berlangsung sebentar. Ada euforia – rasa senang yang luar biasa – ketika medali sukses dikalungkan di leher kita; tetapi setelah itu, kita dihantui oleh disforia – kesedihan, ketakutan, dan kecemasan. Anda tentu masih ingat dengan kisah di atas? Hal ini sama dengan perkataan para psikologi tentang pernikahan, “Perbedaan di rumah merupakan perkara lumrah, dan itu pasti terjadi. Hal itu terkadang terjadi setelah bulan madu, atau setelah tahun pertama atau kedua, dimana naluri seksual masih kuat sehingga menutupi masalah-masalah. Adapun setelah syahwat seksual mulai padam dan geloranya berkurang, urusan-urusan kehidupan sehari-hari mulai memilah-milah masalahnya.” Bayangkan saja, sebuah rumah tangga yang hanya dimulai dengan kepuasan seksual semata saja. Ini sama dengan sukses beracun tadi, bukan? Rasulullah saw sendiri pun berkata, “Yang terkaya di antara kalian adalah yang tidak terjebak keserakahan. Yang kikir adalah yang termiskin dari semua.”

Lebih lanjut, Dr. Rakhmat mengemukakan gejala-gejala SST, antara lain:
1. Self-sightedness, terpusat pada diri. Begitu keasyikan dengan apa yang dipikirkan, sehingga tidak dapat melihat dan merasakan kebutuhan orang lain.


2. Stress surrender, menyerah pada stres. Penderita SST tidak lagi dapat memilih perilaku yang dikehendaki. Ia jatuh dalam pusaran sistem.


3. Ups and downs, naik turunnya perasaan. Perasaan mereka naik turun. Sekali waktu mereka bergerak dengan semangat yang menggebu-gebu, dan pada waktu yang lain merasa kehilangan tenaga sama sekali.


4. Chronic cynicism, sinisme kronis. Mereka senang mengkritik, menyalahkan, dan memusuhi hampir semua orang.


5. Grouchiness, kerjanya bersungut-sungut melulu. Mereka tidak mampu, atau tidak bersedia, atau tidak mau menikmati hal-hal kecil dalam kehidupan. Mereka sukar menertawakan dirinya dan orang lain.


6. Feeling pestered, merasa terganggu, atau mudah tersinggung, kalau ada orang-orang di sekitarnya yang meminta perhatiannya.


7. Polyphasia, “multitasking”, mengerjakan banyak tugas pada waktu yang sama.


8. Psychological absenteeism, berpikir banyak. Berpikir ke belakang tentang apa yang belum dikerjakan (menimbulkan depresi) dan/atau berpikir ke depan tentang apa yang harus dikerjakan (menimbulkan kecemasan).


9. Weariness, kelelahan tanpa henti, pola tidur yang terganggu, dan mengantuk ketika sedang duduk.


10. Chrono-Currency, memandang waktu sebagai uang dan setiap waktu yang tidak menghasilkan uang, dianggap penghamburan.


11. Relationship-Exploitation, mengabaikan, tidak menghiraukan, dan melecehkan hubungan kita yang paling intim dengan sekedar menggunakannya untuk perlindungan sesaat dari stres, sebagai teknik mengurangi stres.


12. Spiritual Deficit Disorder (SDD), perasaan kekosongan ruhaniah dan kehilangan makna, yang seringkali diikuti dengan saat-saat kerinduan spiritual dan keinginan untuk mempertanyakan “makna semuanya”.


13. Inhibited Power Motive (IPM), keinginan yang tinggi untuk berkuasa, frustasi karena tidak punya cukup kekuasaan dan kendali, serta menurunnya tingkat kesadaran dan pengabaian akan kebutuhan kasih sayang.


14. Self Health and Help. Perhatian pada olahraga, diet, seminar-seminar untuk meningkatkan kepribadian, dan berbagai teknik mengurangi stres yang mudah dan cepat. Untuk “mengelola” dan bukan “mengatasi” stres.


15. Success Sickness. Sejumlah penyakit peradaban modern, sejak asma dan infeksi kronis sampai kanker dan penyakit jantung yang kita kenal sekarang sebagai efek samping SST.

Walaupun terdapat pula “jenis” sukses yang tidak beracun (membawa kebahagiaan), namun kebanyakan pula (seperti contoh kisah di atas) sukses itu tidak membawa pada kebahagiaan. Lantas, apa yang membuat sukses itu tidak melahirkan kebahagiaan? Kata Dr. Rakhmat, “Di antara sebab mengapa sukses menyebabkan derita adalah pandangan hidup yang menganggap sukses sebagai perjuangan hidup dan mati.” Sejalan dengan itu, Dr. Cutler – setelah menuturkan kisah yang saya kutip di atas – mengatakan, “Kedua teman saya ini menggambarkan prinsip penting bahwa kebahagiaan ditentukan lebih oleh situasi pikiran seseorang sendiri ketimbang oleh peristiwa-peristiwa luar.” Sedangkan Dr. Maxwell Maltz pun berkata, “Kalau Anda ingin bahagia, Anda harus bahagia – titik! – bukan bahagia “karena”.”

Jelas sudah, bahwa cara awal memulai kebahagiaan adalah dengan mengubah persepsi kita terhadap realitas. Cara ini pula akan mengantarkan kita dalam menerima kenyataan hidup, bukan hidup dalam sebuah opini. Jadi, kalau Anda telah rugi 1 milyar dalam sebuah bursa saham, maka kenyataannya adalah bahwa Anda rugi sebesar 1 milyar. Dan, adalah sebuah opini jika Anda merasa malu dan hancur, setelah mengalami kerugian tersebut. Lalu, gimana caranya agar mampu merubah persepsi?

Dalam film State and Main, seorang wanita muda dengan pandangan bahagia bercakap-cakap dengan seorang penulis dari kota besar, yang tertarik kepada kehidupan sang wanita di kota kecil. “Kamu ciptakan kesenanganmu sendiri?” sang penulis bertanya. “Menyenangkan hanya kalau kamu menjadikannya menyenangkan”, dengan sabar wanita itu menjelaskan. “Kalau orang lain yang melakukannya bagimu, itu hiburan namanya.” Senada dengan film tersebut, Abraham Lincoln berkata, “Kebanyakan orang itu menjadi bahagia sejauh mereka putuskan sendiri bahwa mereka bahagia.” Jadi, ambillah keputusan untuk memulai hidup bahagia.

Mari kita lanjutkan kembali hasil penelitian Dr. Paul Pearsall, yang dikemukakan oleh Dr. Rakhmat. Ada tiga resep sederhana agar kita tidak masuk ke dalam sukses yang beracun, tapi menikmati sukses yang manis, yaitu: kepuasan, ketenangan,dan ketersambungan. Kepuasan artinya perasaan cukup dengan yang sudah kita peroleh. Seperti halnya Dr. Jalaluddin Rakhmat, saya ingin mengartikan kepuasan ini dengan syukur. Perasaan syukur ini bukan berarti kita lantas berhenti bekerja, tapi memelihara perasaan yang selalu bersifat tamak atau tidak pernah merasa cukup dengan yang dipunyai sekarang.

Abraham Maslow memberikan kepada kita latihan syukur, “Hanya satu yang harus Anda lakukan: Pergilah ke rumah sakit dan dengarkan semua nikmat yang sederhana yang sebelumnya tidak pernah disadari orang sebagai nikmat – bisa buang air, tidur di samping pasangan, bisa menelan, menggaruk yang gatal, dst. Anda tentu masih ingat kisah penderita AIDS di atas. Dr. Maltz menyimpulkan hal ini dengan berkata, “Kita juga bukan bahagia karena dapat mengekang hawa nafsu; justru sebaliknya, karena kita bahagia, kita dapat mengekang hawa nafsu.”

Perasaan syukur ini akan mengantarkan kita pada ketenangan. Ketenangan berarti memperlambat tempo hidup Anda. Bahasa lain dari ketenangan ini adalah sabar. Orang-orang yang tidak sabaran akan mengalami berbagai gangguan penyakit jasmaniah dan psikologis. Syukur dan sabar inilah yang akan membawa kita pada ketersambungan. Ketersambungan bukanlah sesuatu yang harus kita cari. Kita hanya akan bahagia bila kita menyambungkan diri kita dengan orang lain.

Itulah sebabnya, dalam sebuah buku yang membahas kemuliaan sabar dan keagungan syukur, menjelaskan bahwa: sabar dan syukur ini adalah pondasi penting dalam Islam. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seluruh perilaku kita adalah untuk melatih kesyukuran dan kesabaran kita. Sebagai seorang suami yang harus menafkahkan keluarga, akan pergi bekerja, tidak lain hanyalah bagaimana melatih sabar dalam bekerja dan mensyukuri hasil dari pekerjaan tersebut. Begitu pula sang istri di rumah, harus menjaga keluarga di rumah, akan melatih kesabaran dengan seluruh pernak-pernik rumah dan mensyukuri keadaan rumah tangganya saat itu. Dengan kata lain, untuk menjadi bahagia adalah dengan mengembangkan fitrah kemanusiaan kita sendiri. Coba renungi perkataan tetua Hindu, Sri Nisargadatta Maharaj, berikut ini: “Anda Cuma ingin bahagia. Semua keinginan Anda, apapun itu, menginginkan kebahagiaan. Pada dasarnya, Anda ingin diri Anda dalam keadaan baik … Keinginan untuk diri sendiri tidaklah salah. Hal tersebut adalah hidup itu sendiri, kepentingan untuk tumbuh dalam pengetahuan dan pengalaman. Yang keliru adalah pilihan yang Anda buat. Membayangkan bahwa sejumlah hal kecil – makanan, seks, kekuatan, ketenaran – akan membuat Anda bahagia sama dengan menipu diri Anda sendiri. Hanya sesuatu yang luas dan dalam seperti diri sejati Anda yang dapat membuat Anda benar-benar dan selamanya bahagia.”

Dan seperti yang telah kita bicarakan, syukur dan sabar ini akan memberikan ketersambungan dengan orang lain. Tapi, bukan hanya dengan orang lain saja, tapi juga dengan Zat Yang Mahatinggi. “Hidup dapat dibawa ke taraf yang lebih tinggi. Terdapat pengalaman yang begitu dalam dan berarti sehingga hidup dan dunia tampak sepenuhnya suci. Terdapat saat-saat kebahagiaan yang melampaui kesenangan biasa seperti matahari dan kunang-kunang, saat-saat cinta dan simpati sehingga kita jatuh cinta tanpa daya pada semua ciptaan.”, tutur Roger Walsh, M.D, yang meneliti selama puluhan tahun mengenai riset dan praktik spiritual.

Dan resep yang paling manjur untuk menciptakan ketersambungan ini adalah cinta. Rumi bersyair, “Di mana pun kau berada, bagaimana pun kondisimu, selalulah mencoba menjadi pecinta.” Dengan jalan cinta inilah kita akan mengembangkan motif yang lebih tinggi atau dalam bahasa Dr. Walsh: motif meta. Yang perlu kita lakukan adalah berangkat dari motif ketamakan dan ketergesa-gesaan kepada motif syukur dan sabar. Ini berarti bahwa kita tidak perlu membuang kesenangan kita, tapi dengan membuang keterikatan kita pada hal-hal tersebut. Ini adalah proses terus-menerus, dan Rumi meringkas proses ini dalam sajaknya: “Semua manusia adalah anak-anak kecuali yang minum dengan Tuhan. Tidak ada orang matang yang tidak bebas dari keingingan demi diri sendiri.”

Ijinkan saya menutup bab ini dengan menuturkan kekuatan cinta, sebuah jalan yang hanya dapat diungkapkan dengan syukur dan sabar saja:

Kereta api itu berbunyi dan mendesis lewat pinggir kota Tokyo pada suatu sore musim semi yang teduh … Pada suatu stasiun pintu-pintu terbuka, dan tiba-tiba keheningan sore itu diguncangkan oleh seorang lelaki yang melenguhkan cacian kasar dan sepotong-sepotong. Lelaki itu berjalan terhuyung-huyung ke gerbong kami. Dia mengenakan pakaian pekerja, dan dia bertubuh besar, mabuk, dan kotor. Sambil menjerit, ia mengayunkan tangan pada seorang wanita yang membawa bayi. Hantaman itu membuat wanita itu terputar ke pangkuan pasutri tua. Adalah keajaiban bayi wanita itu tidak terluka.
Karena ketakutan, pasutri itu meloncat dan berjuang menuju ujung lain dari gerbong. Sang pekerja mengarahkan tendangan pada punggung sang wanita tua yang melarikan diri itu tetapi meleset karena wanita itu mempercepat larinya demi keselamatan. Hal ini membuat sang pemabuk begitu marah sehingga ia meraih galah logam dari tengah mobil dan mencoba merenggutnnya lepas dari tiang penyanggahnya. Aku dapat melihat bahwa satu tangannya teriris dan berdarah. Kereta itu melesat ke depan, para penumpang terdiam ketakutan. Aku berdiri.
Saat itu saya masih muda, sekitar dua puluh tahun lalu, dan dalam kondisi baik. Saya telah memberikan delapan jam penuh untuk latihan Aikido hampir setiap hari selama tiga tahun terakhir. Saya suka melempar dan meraih. Saya menganggap diri saya tangguh. Masalahnya, keahlian bela diri saya tidak teruji dalam perkelahian sesungguhnya. Sebagai murid-murid Aikido, kami tidak diizinkan berkelahi.
“Aikido,” kata guru saya lagi dan lagi, “adalah seni perdamaian. Siapa yang mempunyai pikiran untuk berkelahi telah merusak hubungannya dengan semesta. Jika kau mencoba mendominasi orang, kau sudah dikalahkan. Kita mempelajarinya untuk memecahkan konflik, bukan untuk memulainya.”
Saya mendengarkan perkataannya. Saya berusaha keras. Saya bahkan sampai menyeberang jalan untuk menghindari chimpira, berandalan pinball yang berkeliaran di stasiun kereta. Kesabaran saya mengagungkan saya. Saya merasa tangguh dan suci. Tetapi di dalam hati saya menginginkan suatu kesempatan yang sepenuhnya sah di mana saya mungkin menyelamatkan orang-orang tak bersalah dengan menghancurkan yang bersalah.
“Ini kesempatanku!” kata saya pada diri sendiri saat berdiri. “Orang dalam bahaya. Jika saya tidak cepat berbuat sesuatu, seseorang mungkin akan terluka.”
Melihat saya berdiri, sang pemabuk mendapati kesempatan untuk memfokuskan kemarahannya. “Aha!” raungnya. “Orang asing! Kau perlu pelajaran dengan cara Jepang!”
Saya memberi isyarat pada para penumpang yang terpancang di depan dan memberi orang itu pandangan jijik dan menolak. Saya berencana menghajar orang ini, tetapi dia harus menyerang lebih dahulu. Saya ingin dia marah, jadi saya merapatkan kedua bibir saya dan meniupkan ciuman kurang ajar.
“Baik!” teriaknya. “Kau akan mendapat pelajaran.” Dia bersiap menyerbu saya.
Sepersekian detik sebelum dia dapat bergerak, seseorang berteriak “Hei!” yang memekakkan telinga. Saya mengingat kualitas berirama dan secara aneh menyenangkan dari teriakan itu – seperti jika Anda dan seorang teman telah mencari sesuatu dengan tekun, dan dia tiba-tiba menemukannya. “Hei!”
Saya berputar ke kiri; sang pemabuk berputar ke kanannya. Berdua kami melihat seorang lelaki Jepang tua. Dia pastilah berusia tujuh puluh tahunan, lelaki kecil ini, duduk rapi dalam kimononya. Dia tidak memperhatikan saya, tetapi tatapannya menembus dengan senang pada sang pekerja, seakan-akan dia mempunyai rahasia paling penting dan paling disambut untuk berbagi.
“Ke sinilah,” kata si orang tua dengan logat sehari-hari, memberi isyarat pada sang pemabuk. “Kemari dan omong-omong dengan saya.” Dia melambaikan tangan dengan santai.
Lelaki besar itu menurut, seperti ditarik tali. Dia menancapkan kedua kaki dengan pongah di depan lelaki tua, dan berteriak mengatasi bunyi roda kereta, “Mengapa saya harus bicara denganmu?” Sang pemabuk sekarang membelakangi saya. Jika sikunya bergerak satu milimeter saja, saya akan menjatuhkannya ke lantai.
Si orang tua terus menatap sang pekerja. “Kau minum apa?” Tanyannya, matanya bersinar penuh keingintahuan. “Saya minum sake,” balas sang pekerja dengan keras, “dan itu bukan urusanmu!” Bintik-bintik air ludah memerciki orang tua itu.
“Oh, bagus sekali,” kata sang orang tua, “sangat bagus. Kau tahu, saya juga suka sake. Setiap malam, saya dan istri (kau tahu, umurnya tujuh puluh enam) memanaskan sebotol kecil sake dan membawanya ke kebun, dan kami duduk di kursi kayu tua. Kami memandang matahari terbenam, dan kami mengamati perkembangan pohon kesemek kami. Kakek buyut saya menanam pohon itu, dan kita khawatir apakah ia akan bertahan dari badai es yang terjadi musim dingin lalu. Tetapi pohon itu bertahan lebih baik dari yang saya kira, khususnya jika mempertimbangkan kualitas tanah yang buruk. Puas rasanya melihatnya saat kami mengambil sake dan keluar menikmati sore hari – sekalipun saat hujan!” Dia memandang sang pekerja, matanya bersinar-sinar.
Saat sang pekerja berjuang mengikuti percakapan sang orang tua, wajah sang pemabuk mulai melunak. Kepalan tinjunya perlahan terbuka. “Ya,” katanya. “Saya juga suka kesemek .…” Suaranya mengecil.
“Ya,” kata orang tua itu, sambil tersemyum, “dan saya yakin kau punya istri yang baik.”
“Tidak,” jawab sang pekerja. “Istriku meninggal.” Dengan sangat lambat, terguncang oleh gerakan kereta, lelaki besar itu mulai tersedu-sedu. “Aku tak punya istri, tak punya rumah, tak punya pekerjaan. Aku begitu malu pada diri sendiri.” Air mata mengalir ke pipinya; kekejangan oleh keputus-asaan beriak di tubuhnya.
Sekarang giliranku. Berdiri di sini dengan kemurnian muda yang terasah baik dan kebenaran membuat – dunia – aman – demi – demokrasi saya, saya tiba-tiba merasa lebih kotor dari dia.
Kemudian kereta tiba di pemberhentian saya. Saat pintu-pintu terbuka, saya mendengar sang orang tua berdecak dengan simpati. “Hmm,” katanya, “tentu saja itu keadaan yang sulit. Duduklah di sini dan ceritakanlah padaku.”
Saya memalingkan kepala untuk pandangan terakhir. Sang pekerja tergeletak di tempat duduk, kepalanya dalam pangkuan si orang tua. Orang itu sedang mengelus rambutnya yang kotor dan kusut.
Saat kereta berangkat lagi, saya duduk di kursi. Apa yang ingin saya lakukan dengan otot telah diselesaikan dengan kata-kata yang baik. Saya baru saja melihat Aikido diujikan dalam pertarungan, dan intisarinya adalah cinta.


Ingatlah selalu!

BERSYUKUR BUKANLAH BERARTI ANDA MENGINGKARI KENYATAAN HIDUP, MELAINKAN ANDA MEMILIH UNTUK MELIHAT DAN MENAFSIRKAN HIDUP DENGAN LEBIH POSITIF. ANDA SENANTIASA MAMPU MELIHAT HAL BAIK DALAM SETIAP ASPEK KEHIDUPAN, KARENA HAL MENDASAR DARI PENCIPTAAN ADALAH KEBAIKAN.


Saturday, April 7, 2007

PENTINGNYA SEBUAH HAMBATAN

Ketika Tuhan mencintai seorang hamba yang taat, Dia mengirimkan kepadanya cobaan. Jika dia memikulnya dengan sabar, Tuhan mengistimewakan dia; jika dia puas, Tuhan menyucikannya

- Nabi Muhammad saw -

Buah pada pohon ada di ujung dahan! Semua pembelajaran dan perubahan memiliki resiko

- Colin Rose -

Memandang malapetaka sebagai anugerah tidaklah mudah. Kita terbiasa melihat sisi negatif dari malapetaka apa pun, dan tak menangkap sisi positifnya. Intelek cenderung menganggap buruk segala yang tak berjalan dengan kita, tak memenuhi aspirasi kita, atau mengancam kesejahteraan kita. Kecenderungan bawaan ini bisa bermanfaat bagi kita. Ia memotivasi kita mencari strategi-strategi untuk menciptakan perasaan yang lebih nyaman dan melindungi kita dari bencana dan kerugian. Namun, dalam situasi-situasi tertentu, penderitaan bisa menjadi berkah tersembunyi. Penderitaan dapat menjadi seruan untuk bangkit, menggaet perhatin kita, dan memecut kita mengubah arah perjalanan hidup. Dean Ornish menulis, “Banyak pasien bilang pada saya, ‘Serangan jantung adalah hal terbaik yang terjadi pada saya’. Jantung fisik mereka mungkin sakit dan tersumbat, tetapi jantung emosional dan spiritual mereka membuka sehingga menghasilkan kesenangan dan makna hidup.”

Saya tentu tak pernah menari-nari di jalan dengan riang gembira ketika diagnosis dokter menyebutkan bahwa saya, yang kala itu berumur 52 tahun, terkena diabetes. Faktor genetik, kebiasaan duduk dalam waktu yang lama sepanjang hidup, dan stres berat menimbulkan penyakit ini. Dokter memberikan obat-obat yang harus saya minum, dan menyuruh saya menemui perawat khusus penyakit diabetes untuk membuat rencana makan harian dan pergantian makanan yang harus saya patuhi dengan ketat. Bagi saya, segala sesuatu yang ketat senantisa menyulut pemberontakan. Saya menyukai kebebasan yang menuntun hidup saya di jalannya sendiri. Saya dimanjakan oleh kebebasan. Saya menjadi guru besar di program doktoral, mendapat kebebasan yang cukup untuk datang dan meninggalkan kampus sesuka saya, untuk memilih kelas-kelas yang akan saya ajar dan untuk melakukan riset yang saya senangi. Maka, aturan dokter untuk mengikat hidup saya pada sebuah neraca yang selalu menakar makanan dan menghitung pertukaran makanan tampak seperti memenjarakan diri saya dalam sebuah sangkar. Pada saat yang sama, tiada jalan untuk mengabaikan fakta bahwa diabetes merupakan penyakit berat. Diabetes yang tak terkendali dapat menimbulkan gagal ginjal, gangguan sistem saraf tepi, kebutaan, kerusakan anggota badan yang kemudian perlu diamputasi, dan kematian.

Syahdan, saya pun berkompromi. Saya mulai menjalani pengobatan, tetapi tak lagi menemui perawat khusus penyakit diabetes setelah pertemuan pertama. Alih-alih, saya melakukan semua hal semampunya untuk diet tanpa pernah mengikatkan diri pada aturan-aturan ketat dan daftar pergantian makanan, dan saya mengubah pola makan saya sesuai dengan aturan-aturan tersebut. Saya pun mengurangi berat badan, berolah raga, dan meredakan stres. Dengan tinggi badan 177 cm dan berat 98 kg, selama ini saya jarang sekali berolah raga secara sistematis dan tak bisa meredakan stres secara akif. Lalu, saya mulai berolah raga secara terprogram, teratur minum obat, dan mengatur makanan secara teliti, sehingga berat badan saya turun secara berangsur-angsur. Namun, diabetes saya belum terkendalikan dengan baik, bahkan obat dengan dosis maksimal tak berfungsi lagi. Lantas, dokter betul-betul merekomendasikan agar saya disuntik insulin dua kali sehari.

Ini benar-benar keterlaluan – penderitaan yang bertumpuk-tumpuk, saya merasakannya demikian. Saya selalu amat takut dengan jarum suntik. Saya selalu menghindari transfusi darah atau menolak suntikan sebisa-bisanya. Akan tetapi, sekarang saya mau tak mau harus melihat jarum suntik dan menentukan pilihan: disuntik insulin seumur hidup, atau didera segala komplikasi diabetes yang mengerikan. Apa yang akan terjadi? Tak banyak pilihan. Saya mengalami penderitaan yang campur aduk dan sangat berat. Namun, saya mesti memilih, dan pilihannya sudah terang: disuntik insulin.

Suntikan insulin membawa sejumlah kerugian. Saya mempunyai jadwal ceramah dan konsultasi yang padat. Acap kali, saya terpaksa menyuntik sendiri di kamar mandi bandara dan restoran. Orang-orang memerhatikan saya dan mungkin bertanya-tanya siapa pemadat berpakaian perlente ini yang secara sembrono menyuntikkan morfin di kamar mandi umum. Saya tak bisa memberi tahu mereka bahwa saya menderita diabetes dan ini bukan morfin, melainkan insulin, walaupun berkali-kali saya sungguh tergerak untuk memberitahukannya agar mereka urung merendahkan saya.

Kerugian lainnya adalah bahwa suntikan insulin memudahkan saya melanggar diet dan program olah raga. Bila ingin makan sepotong pie, saya tinggal menambahkan satu suntikan insulin lagi. Mendadak, penjara insulin ini membekap tubuh saya kuat-kuat. Parahnya lagi, saya kerap merasakan reaksi-reaksi insulin yang berbahaya ketika kadar gula tubuh saya turun drastis yang menimbulkan akibat lebih buruk, pingsan, koma, dan bahkan kematian. Saat ber-jogging sebagai olah raga sehari-hari sekitar sepuluh blok dari rumah saya, saya ambruk di rerumputan depan sebuah rumah. Syukurlah, ada seorang anak yang sedang bermain di lapangan, dan saya langsung menyuruhnya memanggil ayah atau ibunya. Ibunya keluar, dan saya memintanya menelepon istri saya supaya datang menjemput. Saya juga minta makanan – apa pun – yang manis. Wajah saya pucat pasi. Sesudah menelepon istri saya, ibu itu mengambilkan sebool soda. Saya yakin pasti sudah mati di atas rerumputan itu seandainya tak ada anak yang bermain di sana.

Tentu saja, saya sangat tidak bahagia karena penyakit diabetes ini. Saya merenung benarkah malapetaka ini berkah terselubung sebagaimana bunyi ajaran Bahâ’î: Wahai, anak manusia. Malapetaka yang Kutimpakan adalah anugerah-Ku untuk kalian. Secara lahiriah, ia adalah api dan siksaan, tetapi secara batiniah adalah cahaya dan rahmat. Kemudian, saya melakukan sesuatu yang tak saya anjurkan kepada siapa pun, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter. Saya melakukannya atas keinginan sendiri, sebab saya tahu dokter pasti akan melarang tindakan itu. Saya menghentikan pengibatan dengan insulin setelah secara seksama menempuh pengobatan alternatif. Saya merasa perlu mencobanya. Jika pengobatan ini tak berhasil, saya akan kembali menggunakan insulin, pikir saya. Seluruh langkah pengobatan ini dapat diringkas sebagai berikut:

  • Mengontrol diet
  • Berolah raga setiap hari
  • Menurunkan kelebihan berat badan dan menjaga stabilitasnya
  • Meredakan dan secara efektif mengatasi stres
  • Bedoa dan bermeditasi saban hari
  • Meminum obat-obat hypoglycemic

Hampir lima belas tahun saya menderita diabetes. Nyatanya, terbukti bahwa malapetaka ini adalah berkah. Diabetes menyita perhatian saya. Saya dipaksa untuk melihat kehidupan saya secara komprehensif dan, dengan pelbagai cara, mengubah seluruhnya – saya yakin – demi kehidupan yang lebih baik. Agaknya, saya harus melakukan banyak perbaikan. Sampai sekarang, saya masih terus berusaha keras untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam segala segi.

Segera saja berat badan saya turun 20 kg, dan selama bertahun-tahun berikutnya saya menjaga stabilitas berat badan ini. Penurunan berat badan itu mengurangi jumlah suntikan insulin, dan mendorong pankreas saya bekerja lebih baik bagi sel-sel yang jumlahnya kini telah berkurang. Ini mengingatkan saya akan sebuah pepatah Timur yang lawas: “Sebuah desa yang makmur lebih baik daripada seratus kota miskin”. Tubuh yang lebih langsing dan tak banyak lemak adalah desa makmur saya sekarang, sedangkan tubuh yang gendut adalah seratus kota miskin saya terdahulu.

Secara spiritual, penyakit diabetes saya itu membawa berkah yang luar biasa. Saya diharuskan merenungkan hal-ihwal yang sebelumnya hanya dilihat sepintas lalu atau sedikit terperhatikan. Saya berdoa dan bermeditasi dengan sungguh-sungguh untuk kesehatan dan kehidupan saya. Doa dan meditasi menjadi sumber-sumber kesenangan sejati. Hasil yang bisa langsung dipetik dari doa dan meditasi adlah meredakan stres secara signifikan. Saya juga belajar berdikari, sebuah kearifan yang amat luhur. Tentu saja, Anda harus berobat ke dokter bila menderita diabetes atau penyakit-penyakit lain. Namun, dokter tidak akan menyembuhkan Anda. Dokter bukanlah seorang mekanik yang mengganti onderdil-onderdil rusak dalam mobil Anda, dan Anda juga bukan mobil. Dokter memberi Anda beberapa perkakas dan ketrampilan. Anda sendirilah yang senyatanya akan menyembuhkan tubuh Anda. Apabila Anda melakukannya, berarti Anda sedang bersandar pada diri sendiri, dan hidup berdikari sungguh membebaskan dan menggembirakan. Hidup berdikari adalah sebentuk kebebasan yang penting, memimpin hidup Anda, dan siap menikmati hadiah-hadiah atas segala jerih payah Anda. Bagi saya, seluruh hasil ini luar biasa:

  • Sesudah lima belas tahun menderita diabetes yang cukup parah dan sembuh, saya tak merasakan dampak-dampaknya yang meletihkan
  • Saya berhasil mempertahankan kadar gula yang sempurna selama lima tahun terakhir tanpa bantuan insulin
  • Saya merasa diri saya menjadi sangat matang setelah berhasil mengalahkan musuh (diabetes) dan membuatnya menjadi kawan saya
  • Saya tak pernah merasa sebahagia ini sepanjang hidup

Menangani diabetes, dari dulu hingga sekarang, tidaklah mudah. Akan tetapi, melakoni hidup sehari-hari tanpa penyakit, dengan jerih payah sendiri, luar biasa memuaskan – tak berbeda dari bermain tennis dengan mengerahkan setiap kelihaian dan tenaga Anda sehingga Anda berhasil memenangi sebuah pertandingan alot.

JADILAH DEWASA

Bila seorang tak alami ujian dan cobaan, kapan jadinya; Bila angin dan hujan tak datang, bunga mana yang beraroma

- Nasir Khusru -

Anda sudah cukup berpanjang lebar membaca kisah dari Khalil A. Khavari, Ph.D – seorang guru besar yang juga seorang konsultan dan penulis buku-buku best seller serta seorang peneliti – yang ditulisnya sendiri dalam bukunya yang berjudul: Spiritual Intelligence: A Practical Guide to Personal Happiness. Kisah Khavari di atas menjadi pengantar kita akan pentingnya sebuah hambatan dalam hidup ini, dalam meraih apapun yang Anda inginkan termasuk dalam menjalani hidup ini hingga akhir hayat Anda.

Adakah di dalam hidup ini yang tidak memiliki hambatan? Saya dengan penuh keyakinan menyatakan TIDAK ADA. Kenapa? Karena Anda tak akan pernah dewasa jika tak ada yang namanya hambatan. Hambatan membuat seseorang menjadi dewasa. Ilustrasi cerita tentang kupu-kupu menjelaskan hal ini dengan sangat baik.

Seseorang menemukan sebuah kepompong raja kupu-kupu, kemudian membawanya pulang dan memeliharanya. Beberapa hari berikutnya, tampaklah sebuah lubang kecil, dan selama beberapa jam kupu-kupu di dalamnya berusaha keras untuk keluar, tetapi gagal. Ia terlihat menderita sekali. Orang itu merasa kasihan, dan kemudian membantunya keluar dengan memperlebar lubang kecil tersebut. Akhirnya, kupu-kupu itu bisa keluar dengan gampang, tubuhnya besar dan gemuk, sayap-sayapnya kecil dan masih kisut.

Orang itu berpikiran bahwa beberapa jam lagi sayap-sayap kupu-kupu tadi akan mengembang indah, tetapi nyatanya tidak. Alih-alih berkembang jadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas, binatang itu malah lumpuh dan hanya bisa mengingsutkan tubuhnya yang gendut dan sayapnya yang kisut.

Kepompong yang membelenggu, usaha keras, dan penderitaan yang dibutuhkan untuk keluar dari lubang kecil itu berfungsi untuk mengeluarkan cairan dari tubuhnya lewat sayap-sayapnya. Bantuan orang tadi justru merugikan si kupu-kupu, yakni menghalangi pertumbuhan sayap-sayapnya.

Usaha keras dan “penderitaan” (saya beri tanda kutip, karena sebenarnya tidak ada yang disebut dengan penderitaan. Karena penderitaan hanyalah persepsi keliru terhadap hambatan hidup) ternyata dibutuhkan oleh kita untuk menjadi dewasa. Kata “dewasa” dalam pengertian ini mengandung dua makna sekaligus. Makna yang pertama adalah dewasa secara fisik; artinya Anda tumbuh menjadi manusia berdasarkan ukuran fisik. Dan yang kedua adalah pengertian kata “dewasa” untuk menjelaskan arti dari pertumbuhan jiwa dan spiritual seseorang.

Baik makna pertama dan makna kedua, kita membutuhkan hambatan untuk menumbuhkan diri kita menjadi dewasa. Mungkin Anda pernah mendengar bahwa semua makhluk ketika terlahir ke dunia sudah bisa menjadi mandiri sampai dalam batas tertentu kecuali manusia. Sebagai contoh, kupu-kupu yang saya ceritakan tadi. Begitu muncul ke dunia, maka secara otomatis bisa terbang dengan secara mandiri melatih sayapnya. Jika Anda pernah melihat bayi kanguru yang baru lahir, maka dapat Anda perhatikan bahwa begitu bayi kanguru tersebut lahir, ia sudah bisa berjalan sendiri menuju kantong induknya. Burung atau binatang unggas ketika lahir sudah bisa secara mandiri berlatih untuk berdiri dan mulai berjalan.

Berbeda dengan manusia, ketika lahir ke dunia maka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menggerak-gerakkan dirinya dan menangis. Itulah sebabnya para peneliti menyebutkan bahwa hanya pada diri manusia sajalah terdapat sebuah potensi dasar yang hanya bisa berkembang ketika diberi rangsangan/stimulus. Nah, ketika seorang bayi diberi stimulus, maka secara otomatis dia mulai mengembangkan motorik kasarnya. Jika Anda memperhatikan pertumbuhan seorang anak, maka Anda mengerti bahwa anak membutuhkan banyak stimulus untuk melatih perkembangan tubuh dan otaknya. Anak-anak akan menjelajahi berbagai hal dan hambatan, sebenarnya untuk melatih perkembangan motorik tubuhnya dan otaknya. Dengan kata lain, hambatan-hambatan yang ada pada seseorang justru membuat dirinya tumbuh menjadi dewasa. Memiliki struktur tubuh yang kuat.

Hambatan ini sebenarnya terjadi karena seseorang belum mengetahui atau baru akan melalui sebuah jalan/cara/metode baru. Dengan kata lain, ikatan antar-sel di otak kita baru akan terjadi dan mencoba untuk saling mengikat secara kuat. Walaupun demikian, ada juga hambatan yang lain, yaitu musibah misalnya, dimana hambatan jenis ini merupakan hambatan yang bersifat eksternal. Apapun jenis hambatannya, hambatan ini justru membuat seseorang menjadi dewasa, baik fisik maupun jiwa dan spiritualnya.

Saya ingin memberi sebuah contoh yang lain lagi, akan pentingnya sebuah hambatan. Kalau Anda ingin membuat tubuh Anda berotot maka cara yang terbaik adalah Anda akan pergi ke tempat fitness. Di sana Anda akan diajarkan cara mengangkat berbagai jenis beban. Fungsi dari mengangkat jenis-jenis beban ini sesungguhnya untuk membuat tegangan/kontraksi pada otot Anda, sehingga perlahan tapi pasti akan membuat bagian tubuh yang Anda inginkan berotot. Memang betul bahwa ketika berlatih pada tahap awal akan membuat Anda merasakan kesakitan pada bagian-bagian tertentu di tubuh Anda. Namun dengan kesabaran berlatih, maka lambat laun Anda akan terbiasa dan pada akhirnya hambatan (beban) yang Anda pergunakan justru menjadi lebih ringan dan bentuk ideal tubuh Anda pun menuai hasil. Itulah sebabnya Hafizh Syirazi pernah berkata, “Kesabaran dan keberhasilan merupakan dua sahabat lama. Di mana ada kesabaran, tak jauh dibelakangnya niscaya ada keberhasilan.”

Ilustrasi ini menegaskan kepada kita bahwa apapun yang kita lakukan pasti akan menemui hambatan – besar atau kecilnya hambatan itu. Namun, dengan kesabaran yang terus terjaga maka lambat laun kita pun akan menuai hasil. Fungsi hambatan untuk membuat Anda menjadi dewasa. Selain itu, dengan adanya hambatan, maka Anda akan memiliki segudang pengalaman baru untuk membantu Anda menjadi lebih bijak di masa yang akan datang. Napoleon pun berkata, “Begitu aku mengalami kekalahan kudapati cara untuk mengalahkan.”

Seorang peneliti yang bernama E.M. Gray pernah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari satu faktor yang dimiliki semua orang sukses. Ia pada akhirnya berhasil menemukan satu faktor tersebut. Faktor tersebut adalah bahwa semua orang-orang sukses memiliki visi kesuksesan yang lebih kuat daripada kemalasannya. Dengan kata lain, mereka setia pada tekadnya. Mereka bersabar dengan apa yang mereka lakukan. Dan perlu Anda ketahui, bahwa orang-orang yang tidak sukses, sebenarnya, adalah orang-orang yang tidak bersabar dengan jalannya. Mereka berhenti di tengah jalan. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka. Mereka hanya fokus pada rasa sakit yang mereka derita ketika menemui hambatan, mereka tidak fokus pada visi mereka, mereka berhenti berproses, mereka tidak mencoba untuk mempertahankan kesabaran mereka dalam melakukan sesuatu. “Kehidupan yang belum diuji tidak patut ditempuh,” demikian mutiara dari Plato.

Saya ingin mengutipkan kepada Anda salah satu ciri orang spiritualis, menurut Danah Zohar, yang saya kutip dari bukunya tentang SQ:

Langkah pertama menuju kecerdasan spiritual adalah mengambil kembali tanggung jawab atas kehidupan saya. Saya harus memanfaatkan spontanitas mendalam yang merupakan karunia dari SQ bawaan saya, untuk menanggapi secara jujur dan segar lingkungan saya dan situasi yang saya hadapi sekarang. Dan saya harus mengambil tanggung jawab atas peranan saya di dalamnya. Saya mungkin menemukan diri saya dalam suatu situasi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan, tetapi hanya saya yang dapat mempengaruhi cara saya menanggapinya. Hanya saya yang dapat menentukan sikap saya terhadap hal-hal yang terjadi kepada saya. Hanya saya yang dapat memberi makna pada apa yang terjadi kepada saya. Saya mungkin mempunyai penyakit yang tak dapat disembuhkan, namun sayalah yang memutuskan bagaimana saya menanggapi itu. Hanya saya yang dapat mati untuk saya.

Dan untuk senantiasa mengembangkan diri kita untuk menjadi lebih dewasa kita membutuhkan hambatan. Sampai kapan? Sampai kita meninggal. Kok demikian? Ijinkan saya menjelaskan hal ini dengan menceritakan tentang seseorang yang pernah berkonsultasi kepada saya.

Pernah ada seorang kawan yang datang untuk curhat kepada saya mengenai masalahnya dengan sang kekasih. Setelah cukup panjang kami berbagi ide, maka sampailah kami pada satu kesimpulan bahwa dalam menjalani hidup dengan segala masalahnya diperlukan kesabaran. Terus teman saya ini nyelutuk, “Bagaimana kalau kesabaran saya sudah habis?”

Pertanyaan ini mungkin juga pernah melanda Anda. Oleh sebab itu, ijinkan saya mengemukakan pendapat saya mengenai kesabaran dan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Saya ingin menanyakan satu hal kepada Anda: sewaktu Anda sekolah, kapan Anda dinyatakan lulus atau berhasil sekolah? Jawaban yang mungkin dari pertanyaan ini cuma satu, yaitu ketika Anda berhasil mengikuti ujian-ujian yang diberikan kepada Anda menjelang akhir masa sekolah. Artinya, Anda dinyatakan lulus ketika berhasil lolos dari serangkaian ujian-ujian. Nah, dalam kehidupan ini saya ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepada Anda: kapan Anda dinyatakan berhasil melalui hidup ini? Ya, nanti ketika sudah mati. Ketika Tuhan menentukan nasib kita kelak, dimana akan dinyatakan kepada kita apakah kita berhasil lolos atau tidak dalam ujian-ujian di dunia. Kesabaran itu adalah sebuah ujian. Kesabaran itu adalah sebuah derajat spiritual. Seseorang dinyatakan berhasil sabar ketika ia berhasil melalui serangkaian ujian selama hidup hingga meninggal nanti.

Ini berarti bahwa istilah “saya kehabisan kesabaran” adalah tidak tepat. Yang benar ialah bahwa “saya berhenti untuk menjadi orang yang sabar”. Anda tidak bisa dinyatakan telah bersabar ketika Anda belum berhasil melalui serangkaian ujian/hambatan hingga Anda meninggal kelak. Dengan kata lain, salah satu bagian dari kehidupan inilah adalah bagaimana kita melatih kesabaran. Dan cara terbaik adalah bagaimana kita mampu mengendalikan diri kita di saat kita menghadapi hambatan-hambatan hidup. “Kesabaran adalah penjaga pintu hasrat. Kesabaran menganjurkan kontemplasi ketimbang tindakan reaksioner,” demikian sebuah ungkapan bijak. Virginia Satir pun pernah berkata, “Kehidupan bukanlah seperti yang seharusnya, itu memang seperti adanya. Cara Anda menghadapinya itulah yang membuat perbedaan.” Dan saya ingin menegaskan hal ini dengan suatu kalimat indah dari Al-Qur’an, “Aku uji kalian dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa serta buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang bersabar.” (QS 2:155). Muthahhari kemudian menafsirkan ayat ini bahwa ujian dan kesulitan merupakan hal-hal yang bermanfaat dan berdampak positif bagi orang-orang yang tegar dalam menghadapinya. Karenanya, mereka berhak mendapatkan berita gembira dan kebaikan.

Mari kita lihat kisah nyata yang begitu menarik, sebuah dialog yang dilakukan oleh Adi W. Gunawan – trainer Accelerated Learning – dengan seorang Ibu yang mengikuti lokakaryanya:

Ibu ini menceritakan keadaan anaknya yang duduk di kelas 4 SD. Anak ini pandai memainkan piano. Karena permainannya dirasa cukup baik, oleh kedua orangtuanya anak ini hendak diikutsertakan dalam lomba. Ternyata anaknya menolak untuk ikut. Dengan segala bujuk rayu anak itu tetap tidak mau. Ibu itu bertanya mengapa ini bisa terjadi dan apa yang harus mereka lakukan sebagai orangtua.

Yang pertama saya tanyakan adalah, “Anak Ibu ini di kelas ranking ya?”

“Lho, Bapak kok tahu?” balas si ibu.

“Kalau memang benar di kelas ranking, maka saya tahu alasannya mengapa anak Ibu tidak mau ikut lomba,” jawab saya.

“Lalu apa sebabnya, Pak? Tanya ibu itu lagi.

Ternyata, sesuai dengan analisis saya, kedua orangtua anak ini termasuk orangtua yang menuntut anak untuk selalu ranking atau juara kelas. Telah ditanamkan dalam pikiran anak ini sejak masih kecil bahwa dia harus bisa juara. Untuk menjadi juara tentunya nilainya harus baik. Nilai baik berarti tidak boleh membuat kesalahan. Dan dia hanya akan menjadi juara dengan mengalahkan teman-temannya yang lain. Kalau sampai nilainya kalah dibandingkan dengan temannya maka dia akan gagal.

Coba Anda bayangkan pola pikir yang ditanamkan orangtua tersebut pada anaknya. Dan biasanya, pola pikir ini akan terus merembes dalam kehidupan sang anak selanjutnya. Pola pikir apakah itu? Pola pikir yang berpandangan bahwa membuat kesalahan adalah hal yang jelek. Sehingga kebanyakan orang menghindar untuk berbuat salah. Padahal kesalahan adalah suatu pelajaran untuk memahami apa arti kebaikan. Dan dalam setiap upaya untuk selalu fokus, akan ada saja kesalahan yang kita buat. Hal ini terjadi karena adanya hambatan-hambatan dalam upaya kita menuai kesuksesan. Namun kesalahan inilah yang akan membuat kita untuk selalu bisa tetap fokus dan berlatih kesabaran. Seperti kata seorang bijak, “Anda bisa melakukan apa saja yang Anda mau asalkan Anda melakukannya dengan sepenuh hati.”

Dengan demikian, hambatan senantiasa kita butuhkan untuk membangun diri kita sendiri. Hambatan sebenarnya untuk kebahagiaan kita. Bagi manusia, hambatan adalah tabungan amaliah kehidupan. Di masa mendatang ia menjadi sarana kemajuan dan pengembangan mereka. Maka dari itu, ketika mereka menghadapi berbagai masalah, dengan bermodalkan pengalaman, mereka dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan dengan baik. Ali bin Abi Thalib a.s yang dikenal dengan kekuatan dan keagungan roh serta kokoh di hadapan badai musibah menjelaskan akan pentingnya hambatan ini dengan sangat baik, “Andai aku ditanya, ‘Apakah yang menyebabkan jasmani dan rohanimu menjadi berani dan kokoh, padahal engkau cuma makan gandum, garam, dan cuka?’ Maka aku akan menjawab, ‘Pepohonan sahara yang berada di tanah bebatuan serta di bawah terik mentari yang membakar dan beradu dengan berbagai faktor kepahitan, lebih kuat dan tahan daripada pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang berada di tepi pengairan. Pepohonan di tepi pengairan yang tumbuh dalam buaian kenikmatan dan buaian tukang kebun, tak terbiasa dengan masalah dan musibah. Sedangkan pepohonan sahara tumbuh besar dalam dekapan berbagai masalah. Ia menjadi murid musibah-musibah, pengasuhnya adalah angin panas, mentari menyengat, air yang sedikit dan ketiadaan hujan.”

HAMBATAN MENAMPAKKAN KESUKSESAN

Dengan nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami hilangkan darimu bebanmu yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan sebutan (nama)-mu. Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS 94:1-8)

Kalau Anda mengikuti pelajaran renang, maka adalah suatu kemutlakkan bagi seorang pelatih renang untuk melatih Anda dengan segala usaha dan mengerahkan segala kemampuannya agar Anda bisa berenang. Anda tentu tidak bisa berenang dengan hanya membaca buku panduan renang saja. Tetapi Anda harus menceburkan diri Anda ke dalam air dan mencoba bertarung dengan air agar tidak tenggelam. Bahkan, kadang-kadang, Anda harus menghadapi maut jika Anda berenang jauh meninggalkan pantai. Artinya, tidak bisa tidak, setiap orang harus pernah menghadapi kesulitan di dunia, sehingga ia bisa belajar menyelamatkan diri darinya.

Walaupun Anda telah membaca cukup panjang melihat pentingnya sebuah hambatan, tapi mungkin Anda akan bertanya lebih jauh lagi: Buat apa harus ada hambatan itu? Pertanyaan ini mungkin masih menyisakan rasa penasaran. Karena walaupun sudah sejauh ini kita membahas, mungkin masih saja ada yang masih tidak puas atau berharap yang namanya hambatan atau kesulitan itu tidak ada. Karena masih saja banyak orang-orang yang tidak melihat pentingnya hambatan itu, tapi justru merasa semakin sengsara dan menderita dengan adanya hambatan dan kesulitan hidup.

Jawaban pertama yang akan saya berikan adalah bahwa sesungguhnya kesulitan dan kenikmatan itu relatif sifatnya. Artinya, sewaktu musibah yang dialami seseorang itu dipandang sebagai suatu kenikmatan, maka ia dapat mengambil manfaat darinya, dan sewaktu ia menghadapi guncangan-guncangan yang muncul darinya dengan bersabar, maka sempurnalah jiwanya. Sedangkan bila ia menghindarinya, kemudian menjerit dan berkeluh-kesah, maka musibah itu akan betul-betul menjadi bencana.

Murtadha Muthahhari kemudian menjelaskan bahwa pada dasarnya, kenikmatan duniawi yang besar itu adalah seumpama musibah. Ia bisa menjadi sebab kebahagiaan, dan bisa pula menjadi sebab kesengsaraan. Kemisikinan bukanlah kesengsaraan mutlak, dan kekayaan pun bukan pula kebahagiaan mutlak. Banyak kali suatu kemiskinan menjadi faktor pendidikan yang baik dan dapat menyempurnakan seseorang, dan betapa banyak pula kekayaan yang menjadi sebab bagi kesengsaraan dan penderitaan. Dengan begitu, kenikmatan dan cobaan keduanya bisa menjadi rahmat, karena masing-masing bisa memberikan faedah yang baik. Tetapi mungkin pula menjadi musibah dan malapetaka apabila keduanya menjadi faktor kejatuhan dan kehancuran. Karenanya, kita bisa mencapai kebahagiaan dengan kemiskinan, dan bisa pula dengan kekayaan. Demikian pula halnya, kita bisa sengsara dengan kemiskinan, dan bisa pula dengan kekayaan. Adanya seseorang bisa disebut bahagia, banyak terkait dengan reaksinya terhadap kenikmatan tersebut: apakah ia bersyukur atau tidak? Dan adanya seseorang disebut sengsara juga berkaitan dengan bagaimana reaksinya terhadap kesengsaraan itu: apakah ia bersabar dan tegar, atau lunglai, hancur, dan fatalis?

Dengan demikian, tampaklah bahwa sesuatu yang satu itu berbeda-beda posisinya antara seseorang dengan yang lainnya. Sesuatu yang dalam hubungannya dengan orang tertentu bisa dipandang sebagai kenikmatan, bisa merupakan kesengsaraan dalam nisbatnya dengan orang lain. Inilah yang dimaksud dengan, bahwa kenikmatan dan hambatan itu merupakan dua hal relatif.

Jawaban kedua atas pertanyaan di atas adalah apa yang saya sebut sebagai “dualisme”. Tanda petik saya berikan karena pada dasarnya tidak ada yang disebut sebagai dualisme kehidupan. Kita ambil contoh sederhana, siang dan malam. Banyak juga yang suka mengambil contoh ini untuk menguatkan argumentasi dualisme mereka. Oleh sebab itu, ijinkan saya dalam kesempatan ini mengungkapkan argumentasi saya bahwa dualisme itu pada dasarnya tidak ada. Anda bisa melihat siang, Anda bisa pula melihat malam. Namun jika kita sama-sama memperhatikan dengan seksama, maka pada dasarnya yang ada itu hanyalah siang (terang) saja. Mari kita sederhanakan pembahasan ini dengan bertanya: Adakah sumber siang (terang) itu? Jawaban Anda pasti sama dengan jawaban saya, yaitu ada. Dan sumber terang itu adalah matahari, seperti yang bisa Anda saksikan sendiri. Sekarang pertanyaan yang sama kita tanyakan kepada malam (gelap): Adakah sumber malam (gelap)? Jawaban yang ada adalah: tidak ada. Anda bisa membenarkan argumen saya ini, karena memang tidak ada yang disebut sebagai sumber gelap. Malam (gelap) hanya terjadi ketika suatu objek menjauhi sumber terang. Artinya, semakin suatu objek menjauhi sumber terang, maka akan semakin gelap objek tersebut, dan sebaliknya, semakin mendekati sumber terang, maka akan semakin terang objek itu. Jadi yang ada hanyalah terang saja. Yang ada hanyalah ketunggalan wujud. Pembahasan ini akan kita bahas lebih mendetail pada bab 9 nanti.

Cukuplah sampai di sini penjelasan bahwa “dualisme” itu tidak ada. Namun, kenapa kita melihat hal ini sebagai “dualisme”? Inilah yang akan kita bahas bersama. Dualisme itu berguna untuk menampakkan sesuatu yang lain. Sebagai contoh: gagah dan cantik. Anda tidak akan bisa disebut sebagai seorang yang gagah atau cantik, jika tidak ada yang disebut jelek. Jika semua orang terlahir dengan memiliki paras wajah yang sama, maka tidak ada lagi yang disebut gagah dan cantik, dan juga jelek. Gagah dan cantik itu memperoleh makna dan konsepnya dari sesuatu yang jelek. Sebab, kesadaran tentang gagah dan cantik itu terkait dengan adanya kejelekan dan perbandingan keduanya. Itulah kenapa orang yang gagah atau cantik harus berterima kasih kepada yang jelek, karena berutang budi kepada orang-orang yang jelek.

Nah, jika kita meneruskan argumen ini akan terlihat dengan jelas bahwa sesuatu yang lain akan menampakkan dirinya karena sesuatu yang berlawanan, dan biasa disebut sebagai dualisme. Sekiranya semua orang itu pahlawan, maka tidak ada yang bisa disebut sebagai kepahlawanan. Para pahlawan menerima penghargaan seperti itu dikarenakan mereka adalah manusia-manusia tertentu saja. Rasa estetika seseorang tidak mungkin terjadi kecuali di bawah syarat-syarat tertentu, yaitu apabila terhadap yang indah itu, terdapat sesuatu yang buruk. Dengan demikian, orang tertarik oleh yang indah karena mereka melihat yang jelek yang tidak mereka sukai. Sekiranya tidak ada gunung, niscaya tidak akan ada lembah dan tidak pula ada air yang mengalir darinya. Dan sekiranya tidak ada yang nama hambatan, kegagalan, dan musibah, niscaya tidak akan ada juga yang disebut kesuksesan. Hambatan menampakkan kesuksesan.

Hal ini terjadi karena daya tarik yang dimiliki oleh sesuatu yang indah dikarenakan adanya daya tolak yang dimiliki oleh sesuatu yang jelek. Dari semua ini akan menjelaskan kenapa ada yang disebut dengan dinamika, usaha, cinta, cumbu rayu, penderitaan, kesengsaraan, cemburu, kesuksesan, kehancuran, dan kehangatan. Jadi jika Anda protes kepada Tuhan dan berharap Tuhan menciptakan semua itu sama, maka pada dasarnya akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang baik dan indah, semangat dan dinamika, perjalanan dan transformasi. Karena itu, “Di pabrik cinta harus ada kekufuran,” demikian syair Hafizh. Ini seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda.

MENDAPATKAN INFORMASI BERHARGA

Apakah Anda tahu bahwa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka setiap orang harus belajar dan memenuhi sekian syarat-syarat? Anda mungkin akan menjawab: Kalau itu sih saya juga sudah tahu. Ok. Kalau begitu mari kita lihat bagaimana proses ini terjadi secara lebih mendetail.

Mari kita lihat contoh menanam padi di sawah. Sebelum kita melanjutkan contoh ini, saya ingin mengatakan bahwa saya sendiri pun bukan ahli persawahan, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil contoh dari situ dan membuat contoh tersebut sebagai analogi kehidupan kita. Nah sekarang, apa yang menjadi syarat-syarat agar kita bisa mendapatkan/memanen padi yang bermutu. Syarat-syarat yang mungkin adalah: kita butuh tanah, benih padi unggul, air yang cukup, pupuk, semprotan hama, dan orang yang mau menanam padi.

Jika sudah lengkap semua syarat itu, maka berdasarkan pengetahuan yang kita miliki, kita sudah bisa menghasilkan padi unggul, padi yang terbaik. Namun ternyata, setelah tiba masa memanen, terjadi “kegagalan” memanen. Artinya, banyak padi yang rusak, tidak sesuai harapan, bahkan mengalami kerugian yang cukup banyak. Bagi orang yang suka mengeluh, maka kejadian ini akan dipandang sebagai masalah, dan sudah tentu akan marah-marah dan mengalami stres berat, bahkan mungkin mengalami serangan jantung mendadak hingga akhirnya meninggal (tragis amat, kasihan!!!).

Namun jika kita mau bersikap terbuka dengan berbagai keadaan yang terjadi, maka kita akan melihat “kegagalan” memanen ini sebagai ladang pelajaran untuk mendapatkan informasi berharga. Dengan adanya “kegagalan” memanen, maka kita bisa melihat sebab dari “kegagalan” tersebut. Kita bisa belajar untuk mencari tahu dan akhirnya kita akan mendapatkan lagi pengetahuan baru. Misalkan saja, ternyata setelah melakukan pencarian sebab, ditemukan bahwa hama tikuslah yang menjadi penyebab “kegagalan” panen tahun ini. Ini berarti apa? Ini berarti bahwa kita telah mendapatkan lagi syarat baru agar kita bisa menciptakan sebuah padi yang bermutu dan hasil yang banyak.

Jika kita kembali ke syarat-syarat terbentuknya padi yang diharapkan, maka kita telah memiliki pengetahuan atau informasi baru untuk ditambahkan ke dalam syarat-syarat terciptanya padi yang diinginkan. Jadi, seperti yang telah kita sebutkan di atas, kita butuh tanah, benih padi unggul, air yang cukup, pupuk, semprotan hama, dan orang yang mau menanam padi. Sekarang syaratnya bertambah lagi satu, yaitu kita butuh cara untuk mengusir hama tikus tersebut. Kita telah mendapatkan syarat baru lagi untuk mendapatkan padi yang terbaik.

Seperti analogi padi di atas, dalam kehidupan ini pun juga demikian. Untuk menggapai impian kita butuh sekian syarat agar terwujud. Kita bisa belajar syarat-syarat itu dari orang-orang yang sudah berpengalaman. Kita bisa mendapat informasi tentang syarat-syarat tersebut dari internet, seminar, buku, diskusi, dan berbagai sumber informasi. Namun, jangan lantas mengira bahwa kita sudah pasti memiliki semua syarat yang ada untuk mewujudkan impian kita. Kenapa? Karena di dunia ini tidak ada kepastian dalam mewujudkan impian. Inilah peran dari belajar. Inilah peran dari hambatan. Agar dengan keinginan belajar dan adanya hambatan, kita bisa menemukan syarat baru lagi untuk terwujudnya impian-impian kita.

Begitu banyak orang yang telah belajar dari seminar, buku, orang-orang berpengalaman, dan dari berbagai sumber informasi, tapi ternyata dalam perjalanannya untuk mewujudkan impian, masih saja ada hambatan. Hal ini terjadi karena pengalaman unik yang terjadi pada setiap orang itu berbeda-beda. Inilah pentingnya belajar dari hambatan tersebut. Inilah arti dari hambatan. Dan sudah tentu, hal ini hanya bisa berguna bagi Anda yang mau belajar dengan adanya perubahan hidup terus-menerus.

GANTILAH FOKUS ANDA!

Seperti penjelasan saya di atas, terdapat juga hanya satu simbol dalam bahasa Cina yang mengartikan kata “krisis” dan “kesempatan”. Mengapa? Karena menurut filosofi Cina, krisis adalah kata lain untuk kesempatan. Di balik sebuah krisis ada sebuah kesempatan dan keberuntungan. Di balik malam akan ada terang. Di balik kemarau akan ada hujan (kecuali negara-negara yang memiliki empat musim he…he…he…). Adalah sesuatu yang mustahil sifatnya jika tak ada yang namanya keberuntungan dan kesuksesan kalau ada yang namanya hambatan dan masalah. Ini sudah merupakan sifat alam semesta. Kalau kita mengenal hambatan dan masalah, maka sudah seharusnya kita pun akan mengenal keberuntungan dan kesuksesan. Yang saya maksudkan di sini adalah begitu banyak orang yang ketika menghadapi masalah, menganggap seolah-olah sudah tidak ada lagi keberuntungan, kesuksesan, pencerahan, kegembiraan, keceriaan, dan semua hal-hal yang bersifat positif. Hal ini sesungguhnya terjadi karena, begitu banyak orang yang justru terlalu memfokuskan diri hanya pada masalah.

Cobalah Anda melakukan percobaan berikut ini. Cobalah untuk memikirkan suatu masalah yang pernah Anda alami. Bayangkan dan rasakan perasaan Anda ketika mengalami masalah tersebut! Anda mungkin merasa sakit hati dan menderita. Ok. Hentikan pikiran Anda tersebut sekarang! Sekarang ganti pikiran Anda untuk memikirkan kebahagiaan yang pernah Anda rasakan! Bayangkan dan rasakan perasaan Anda saat itu! Kemungkinan besar Anda akan merasa sangat gembira dan bahagia. Nah sekarang, cobalah membayangkan kedua hal tersebut secara bersamaan. Maksud saya adalah cobalah untuk membayangkan masalah dan kebahagiaan yang pernah Anda alami secara bersamaan! Apakah masih bisa Anda bayangkan? Adalah sangat tidak mungkin membayangkan dan mengalami keduanya sekaligus, karena manusia hanya bisa fokus pada satu keadaan di satu waktu. Ketika Anda fokus dengan masalah Anda, maka secara otomatis Anda mengirimkan signal kepada otak Anda untuk mengakses semua masalah-masalah yang pernah Anda hadapi dan masalah-masalah yang kemungkinan akan Anda hadapi nanti. Semakin dalam fokus Anda kepada masalah, maka semakin banyak data yang akan diberikan otak Anda kepada Anda. Dan semua data itu mendukung fokus Anda saat itu.

Kalau Anda fokus pada kejengkelan Anda kepada pasangan Anda, maka secara otomatis otak Anda pun akan bekerja untuk memberikan data-data yang mendukung fokus Anda, seperti: “Kamu dulu pernah menyakiti hati saya”, “Kamu tidak pernah mau mendengar apa yang saya katakan", “Kamu seorang pembohong”, “Saya tidak akan percaya lagi sama kamu”, dan semua data-data yang berkenan dengan masa lalu dan apa yang akan terjadi nanti. Jika sudah begini, maka pertanyaan yang biasa saya ajukan adalah: Apakah Anda tidak pernah sedikit pun merasakan kebahagiaan? Apakah tidak ada satu pun saat di sepanjang umur Anda, dimana Anda pernah merasakan kebahagiaan walaupun hanya sekali? Jawaban-jawaban dari pertanyaan ini adalah: PERNAH.

Artinya, adalah sesuatu yang sangat mustahil, jika seseorang dalam hidupnya tidak pernah merasakan saat-saat yang membahagiakan. Bukankah kebahagiaan adalah persepsi yang benar terhadap kejadian yang menimpa kita. Anda bisa membaca tentang kisah Viktor Frankl yang dikurung dan disiksa dalam kamp konsentrasi NAZI dalam buku yang ditulisnya Man’s Search for Meaning, tetapi berhasil menemukan makna hidup dan kebahagiaan selama penyiksaannya di sana. Jadi apa yang terjadi ketika menghadapi masalah-masalah ini? Yang terjadi adalah begitu banyak orang yang suka dan cenderung memfokuskan diri hanya pada masalah, dan bukan mengganti fokusnya pada hal-hal yang membantu dirinya menjadi lebih baik. Kita tidak bisa fokus pada masalah dan kebahagiaan sekaligus, jadi ketika Anda mendapat masalah dan mulai fokus pada masalah Anda, maka cobalah untuk mengganti fokus Anda pada hal-hal yang akan membantu Anda keluar dari masalah. Jangan mempertajam fokus Anda pada masalah. Karena jika ini terjadi – seperti yang telah kita bahas tadi – maka akan semakin banyak data pendukung yang mendukung pada fokus masalah Anda. Dan jika terjadi terus-menerus, maka adalah sangat mungkin Anda akan mengambil keputusan yang keliru. Keputusan Anda akan mengacu pada masalah, yang biasanya berujung pada menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah menyalahkan Tuhan.

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat lagi salah satu contoh yang sering terjadi di sekitar kita tentang fokus pada hal negatif. Jika kita terus bertahan pada fokus kita tersebut (negatif atau positif), maka kita akan melihat diri kita dan sekitar kita sesuai dengan arah fokus kita tersebut. Contoh yang saya maksudkan tersebut adalah seringnya kita melihat diri kita sendiri sebagai orang yang negatif dengan berkata: “Bodoh amat saya ini”, “Kok gitu saja saya tidak bisa”, “Saya betul-betul tolol”. Anda bisa melihat kata-kata Anda sendiri mengenai diri Anda baik yang Anda ucapkan secara verbal maupun berupa pikiran-pikiran yang bersifat negatif yang sering terjadi pada level bawah sadar Anda. Dan biasanya hal ini semakin diperkuat dengan suka menonton berita-berita “negatif”, maka sangatlah besar kemungkinan kita akan melihat diri kita dan sekeliling kita sebagai semuanya bencana (tidak ada lagi kebaikan).

Mempertahankan fokus seperti ini pada akhirnya membuat kita untuk susah percaya kepada orang lain. Dan ini sering dilakukan dengan senantiasa berdalih memberikan argumen semasuk akal mungkin untuk mendukung kepercayaan kita bahwa kita susah percaya sama orang lain. Pada orang-orang tertentu ada yang kemudian secara ekstrim mulai meramalkan kiamat dengan memberikan argumen-argumen yang menurut dirinya masuk akal. Padahal, kalau Anda menyimak sejarah, ramalan tentang kiamat ini sudah dilakukan oleh orang-orang sejak ribuan tahun lalu. Salah satu ramalan tentang kimat ini pernah dilakukan pada tahun 2800 SM. Dan ramalan ini selalu dilengkapi dengan argumen tentang fenomena bahwa di muka bumi sudah terlalu banyak terjadi kekacauan dan kedurhakaan. Coba Anda renungi! Menurut saya, argumen ini dilandasi oleh terlalu seringnya seseorang fokus pada masalah dan hal-hal yang negatif, sehingga tampak keseluruhan dunia ini kacau-balau. Kebanyakan dari kita terlalu merekayasa diri dan sekelilingnya dengan arah fokus yang negatif. Dan jika kita menyimak penelitian-penelitian dibidang komunikasi, maka hal ini bukanlah sesuatu yang aneh. Karena semakin sering sebuah berita dipublikasikan/diberitakan, semakin orang-orang meyakini kebenarannya tak peduli apakah berita tersebut benar atau salah.

Saya ingin mengajak Anda untuk mengganti fokus Anda. Masih banyak hal-hal positif di dunia ini. Bahkan menurut saya, Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan keseluruhannya bernilai positif. Kalau Anda suka melihat segalanya negatif, maka sebenarnya Anda secara tidak langsung telah menghina Tuhan dengan segala kesempurnaan ciptaan-Nya. Mungkin perkataan saya barusan agak kurang diterima oleh Anda. Saya tidak ingin membahasnya lebih lanjut karena akan menjadi satu bab tersendiri jika kita membahasnya. Cukuplah bagi Anda untuk mengikut anjuran yang diberikan oleh Wallace D. Wattles dalam bukunya The Science of Getting Rich:

Jangan membaca buku yang mengatakan bahwa dunia akan segera berakhir, dan jangan membaca tulisan dari para pembuka kasus-kasus korupsi dan para filosof yang pesimistis yang mengatakan bahwa dunia akan dikuasai setan. Dunia tidak akan dikuasai setan; dunia akan dikuasai oleh Tuhan. Dan dunia akan menjadi tempat yang indah.

Memang dalam kondisi seperti sekarang ini, mungkin sangat banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita atau tidak kita setujui, tetapi apa gunanya mempelajari hal itu jika ternyata semuanya ini pasti akan berlalu, dan tak ada gunanya juga mengkaji hal itu jika malah cenderung akan memperlambat berlalunya keadaan itu dan terus membuatnya selalu ada diantara kita?

Mengapa kita harus menghabiskan waktu dan perhatian terhadap sesuatu yang akan terhapus oleh pergerakan evolusi, kapan Anda akan dapat segera melenyapkannya hanya dengan memberikan dukungan yang terlalu kecil?

Ingatlah selalu akan “dualisme” hidup ini. Ada gelap dan ada terang, ada masalah dan pasti juga ada kesempatan. Begitu Anda memindahkan fokus Anda pada hal-hal yang lebih baik, maka secara otomatis pula Anda mengirim signal kepada otak Anda untuk mengakses semua data-data yang berkenan dengan apa yang Anda fokuskan.

Oleh sebab itu, mulailah untuk memperhatikan fokus Anda. Ubahlah persepsi Anda terhadap suatu hambatan. Karena ketahuilah bahwa ketika menghadapi hambatan, manusia mengerahkan kekuatan otak lalu menemukan sejumlah solusi. Sebenarnya, masalah-masalah itu memotivasi mereka untuk mencari jalan keluar, maka dari itu motivasi merupakan tangga sebuah peningkatan. Napoleon pernah berkata, “Berbagai cobaan dan kepedihan membuat kecerdasan manusia semakin tumbuh dan tajam.” Nietzsche malah menyukai adanya hambatan itu dengan berkata, “Saya suka kalau Anda mendapat ujian, guncangan, dan kegagalan. Dengan semua ini, saya tidak merasa iba karena saya menyukai Anda. Tahukah Anda kenapa sebabnya? Saya berharap potensi-potensi yang tersimpan di dalam diri Anda keluar, sehingga meskipun ada cobaan-cobaan yang berat menghadang hidup Anda, Anda bangkit bersama jiwa yang berkekuatan.”

Saya ingin menutup bab ini dengan mengajak Anda merenungi sebuah syair dari R.W. Servis:

Dan begitu pula dalam perjuangan, dari pertempuran hidup,

Mudah untuk bertarung bila Anda sedang menang.

Mudah untuk banting tulang, dan lapar, dan menjadi berani

Bila fajar kesuksesan mulai.

Namun orang yang dapat bertemu dengan keputusasaan dan kekalahan

Dengan keceriaan sekarang terdapat orang yang Allah pilih.

Orang yang dapat bertarung dengan ketinggian surgawi adalah

orang yang dapat bertarung sewaktu ia sedang kalah.

Ingatlah!!!

Badai cobaan menguatkan moral dan spiritual.

- Goethe -

Sesungguhnya, semakin susah kita, semakin mendalam dan banyak kecakapan dan sifat mulia yang kita miliki sebagai bekal untuk perjalanan abadi kita.

- Khalil A. Khavari -

Kami yang pernah hidup di kamp konsentrasi masih ingat orang-orang yang berjalan dari barak ke barak menghibur sesama, memberikan kepingan roti terakhir mereka. Jumlah orang semacam itu memang hanya sedikit, tetapi mereka membuktikan bahwa ada satu hal yang tidak bisa di rampas dari seorang manusia: kebebasan manusia yang paling dasar – kebebasan untuk memilih sikap kita, bagaimanapun situasinya. Memilih cara kita sendiri.

- Viktor Frankl -

Anda tidak akan dapat mempertahankan visi yang jelas mengenai kemakmuran jika Anda selalu mengarahkan perhatian pada gambaran yang berlawanan, entah itu gambaran nyata atau hanya dalam imajinasi.

- Wallace D. Wattles -