Thursday, August 30, 2007

FREQUENCY FOLLOWING RESPONSE

Jika pada dua buah benda atau lebih bisa terjadi resonansi, maka apakah resonansi (ikut bergetar) bisa juga terjadi pada otak manusia? Menurut Anda bagaimana? Pernahkah Anda mendengar istilah Binaural Beat? Teknologi binaural beat ditemukan dan diselidiki pertama kali oleh Heinrich Wilhelm Dove. Sekarang kita akan melihat apa yang dimaksud dengan binaural beat!


Jika Anda mendengarkan suara musik stereo, dimana pada telinga kanan berfrekuensi 500Hz dan pada telinga kiri berfrekuensi 510Hz, maka antara kedua frekuensi tersebut akan ada suara yang dihasilkan oleh selisih dari kedua frekuensi tersebut. Selisih ini disebut dengan binaural beat (pelayangan 2 sinyal). Beat (pelayangan) ini dihasilkan oleh dua buah suara yang memiliki frekuensi berbeda. Hal ini dapat kita lihat pada persamaan berikut:


fbeat = f2 – f1; dimana f1 = 500Hz dan f2 = 510Hz

sehingga diperoleh fbeat = 10Hz


Dengan adanya dua frekuensi yang berbeda ini, maka pusat syaraf kita akan merekam tiga jenis frekuensi yang berbeda sekaligus, yaitu 500Hz, 510Hz, dan frekuensi beat yang dihasilkan oleh selisih kedua frekuensi tersebut, yaitu 10Hz. Perlu juga diketahui bahwa telinga manusia hanya mampu mendengar suara pada rentang 20Hz sampai dengan 20KHz. Jadi, suara beat (pelayangan) tersebut tidak akan didengar oleh kedua telinga manusia, tetapi akan langsung menstimulus pusat syaraf di otak manusia.

Sistem syaraf otak kemudian akan ber-resonansi (mengikuti) frekuensi beat ini. Dengan kata lain, pusat syaraf otak manusia pun dapat mengalami resonansi. Resonansi yang terjadi pada pusat syaraf otak ini disebut FFR (Frequency Following Response). Jadi dapat kita simpulkan bahwa FFR ini dapat terjadi pada sistem syaraf otak dengan memberikan stimulus berupa teknologi yang mampu menghasilkan suara dengan frekuensi tertentu (sesuai dengan tingkat frekuensi otak yang ingin dicapai, Beta; Alpha; Theta; atau Delta) yaitu binaural beat frequency. Dengan demikian, binaural beat frequency dapat kita defenisikan sebagai berikut: frekuensi yang dihasilkan melalui perhitungan matematika kompleks sehingga mampu menginterfensi dan menstimulasi gelombang otak untuk memasuki kondisi tertentu.


Frekuensi binaural beat ini memiliki pengaruh yang sangat kuat (bahkan lebih kuat dari musik klasik) karena gelombang yang dihasilkan langsung memberi stimulasi pada pusat syaraf otak. Frekuensi beat ini akan langsung masuk melalui kedua telinga (Anda harus menggunakan headphone stereo kiri dan kanan atau menggunakan speaker yang diletakkan di samping kiri dan kanan agar otak merespon cukup baik) dan langsung menstimulasi sistem syaraf limbic (pusat emosi) manusia.


Penting juga untuk diketahui bahwa stimulasi gelombang otak agar terjadi FFR ini, bisa juga terjadi dengan stimulasi melalui visual (mata), dan melalui alat peraba/perasa (tangan dan tubuh). Dengan kata lain, FFR ini dapat terjadi melalui indera manapun.


Terdapat sebuah eksperimen menarik yang menjelaskan adanya FFR ini melalui interaksi dengan manusia lainnya. Seperti yang telah Anda lihat di atas, frekuensi beat akan langsung menstimulasi sistem syaraf limbic (pusat emosi), sehingga terjadi FFR seperti yang diinginkan (Beta, Alpha, Theta, atau Delta; atau kondisi santai, rileks, hipnosis, meditasi, dan lainnya). Dengan kata lain, FFR ini dapat terjadi dengan mudah melalui stimulasi sistem emosi manusia. Nah, eksperimen ini mengacu pada sistem emosi tersebut.


Dalam eksperimen ini melibatkan beberapa sukarelawan yang terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan berdiskusi secara empat mata dengan Tuan Bahagia, dan kelompok kedua akan melakukan hal yang sama juga tetapi mereka akan berdiskusi secara empat mata dengan Tuan Menjengkelkan. Pembicaraan yang mereka lakukan adalah pembicaraan yang sering dibicarakan sehari-hari, mulai dari hobi, kegiatan sehari-hari, tentang film, tentang musik, dan lain-lain. Baik Tuan Bahagia maupun Tuan Menjengkelkan diminta untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu selama pembicaraan empat mata tersebut berlangsung.


Apa yang terjadi kemudian? Tanpa disadari, para sukarelawan yang asyik berbincang dengan Tuan Bahagia ini melakukan gerakan yang sama persis yang dilakukan oleh Tuan Bahagia. Jika Tuan Bahagia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, maka beberapa detik kemudian sang sukarelawan akan mengikutinya. Jika Tuan Bahagia menggaruk kepala, maka beberapa detik kemudian sang sukarelawan akan melakukan hal yang sama. Ternyata tanpa mereka sadari, perbincangan yang menyenangkan ini membuat mereka saling terikat pada satu ikatan emosional, sehingga membuat mereka mengikuti (tanpa disadari) semua gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan oleh Tuan Bahagia. Sistem emosi mereka mendapat stimulus BAHAGIA, sehingga otak mereka mengalami FFR (ber-resonansi) dengan Tuan Bahagia; dan resonansi ini dialirkan ke seluruh tubuh sehingga mulai menirukan gerakan yang dilakukan oleh Tuan Bahagia. Dalam dunia NLP, menirukan gerakan ini disebut dengan Mirroring.


Lantas bagaimana dengan sukarelawan yang berbincang-bincang dengan Tuan Menjengkelkan? Anda sudah bisa menebak. Tidak satu pun dari para sukarelawan tersebut yang mengikuti gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan oleh Tuan Menjengkelkan. Dengan kata lain, sistem emosi mereka tidak mengalami FFR (resonansi).


Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa jika resonansi terjadi karena adanya kesamaan frekuensi, maka resonansi (FFR) dapat juga terjadi karena kesamaan emosi bahagia yang dirasakan. Oleh sebab itu, selain pentingnya kita mengandalkan kekuatan pikiran kita, kita juga harus mengandalkan kekuatan emosi kita. Dan cobalah simak perkataan Rhonda Byrne (penulis buku The Secret) berikut ini: “Jalan pintas ke segala sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup adalah MENJADI dan MERASA BAHAGIA sekarang juga”.


Apa itu kebahagiaan? Dan bagaimana agar seseorang bisa menemukan kebahagiaan? Hal ini akan kita diskusikan pada bagian lain. Semoga kita semua bahagia selamanya!

Saturday, August 25, 2007

The map is not the territory: SIAPA BILANG?


Judul di atas adalah salah satu dari asumsi NLP. Bahkan judul di atas, biasanya, ditempatkan dalam asumsi NLP urutan pertama. Namun saya menolak asumsi itu. Penolakan saya bukan berarti bahwa saya tidak tahu tentang NLP (karena dalam ilmu filsafat hikmah, jangan pernah membuat penolakan jika kita tidak tahu tentang ilmunya terlebih dahulu), juga bukan berarti bahwa asumsi itu tidak benar (justru sangat benar). Tapi, saya ingin mengajak Anda untuk melihat dari sisi yang agak berbeda, namun memiliki muara yang sama.

Asumsi NLP ini, secara sederhana dapat diartikan sebagai: peta mental seseorang tentang dunia (realitas internal) bukanlah dunia itu sendiri (realitas eksternal). Saya tidak perlu menguraikan defenisi di atas secara panjang lebar lagi, karena Anda bisa membaca buku-buku atau artikel-artikel di internet yang berkenaan dengan pembahasan tersebut. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk melihat tentang bagaimana filsafat memandang ilmu itu sendiri, biasanya disebut sebagai epistemologi, sedangkan orang barat menyebutnya sebagai teknik berpikir (ilmu dari ilmu itu sendiri). Namun kali ini saya tidak akan menggunakan pendekatan barat, karena ada beberapa hal utama yang tidak di bahas dalam teknik berpikir ini.

Mari kita mulai untuk membahasnya. Secara sederhana, peta (persepsi) seseorang terhadap kejadian (realitas) itu tidaklah persis sama dengan kejadian yang sesungguhnya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa setiap kejadian itu bersifat netral. Kita-lah sebagai manusia yang kemudian memberikan makna terhadap kejadian tersebut. Apapun makna yang kita berikan terhadap kejadian tersebut itu disebut sebagai peta dalam NLP. Dan peta setiap orang itu berbeda-beda. Boleh jadi dalam satu kejadian, setiap orang memiliki peta (persepsi/pemberian makna kepada kejadian) yang berbeda-beda. Setiap peta yang dipegang oleh seseorang tentu juga menentukan bagaimana orang tersebut. Dan untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan, maka setiap orang perlu merubah peta-nya yang tidak sesuai dengan tujuan hidupnya. Secara sederhana, dapat kita gambarkan juga bahwa peta itu menentukan seberapa sukses dan bahagianya seseorang. Terlepas dari penjelasan yang baru saja saya berikan, terdapat satu hal yang sedikit bertolak belakang, yaitu bahwa tidak selamanya sebuah peta (persepsi/pemberian makna) itu tidak sama dengan wilayah (kejadian/peristiwa). Anda mungkin kaget?

Memang benar bahwa ada satu atau beberapa peta yang sama persis dengan wilayahnya. Sebelum kita membahasnya lebih jauh, saya ingin menjelaskan dulu latar belakang pemikiran ini.

Sejak dulu manusia ingin mengetahui siapa dirinya, ingin mengetahui darimana ia berasal, dan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Dalam perjalanan pencarian tersebut, maka lahirlah begitu banyak aliran pemikiran yang membahas mengenai hal tersebut. Salah satu yang sangat terkenal di dunia barat (bahkan menjadi tonggak lahirnya dunia modern), yaitu aliran pemikiran yang dibawa oleh Rene Descartes. Descartes banyak dikenal orang dengan kalimat bijaksananya: Cogito Ergo Sum atau Saya berpikir, maka saya ada. Asumsi ini terlahir setelah melalui perjalanan panjang dalam meragukan diri sendiri. Descartes awalnya meragukan segala hal, hingga akhirnya ia sampai pada satu pemikiran bahwa terdapat satu hal yang tidak bisa diragukannya, yaitu dirinya sendiri. Maka lahirlah ungkapan itu. Dari asumsi sederhana itu, maka lahirlah landasan pemikiran dunia modern yang berdiri di atas tonggak pemikiran ilmiah (eksperimental). Itulah sebabnya, Rene Descartes disebut sebagai Bapak Dunia Modern.

Berbeda dengan pemikiran di dunia barat, di dunia timur pun mengalami perkembangan pemikiran. Perlu untuk diketahui bahwa setiap orang melakukan komunikasi, setiap orang memiliki pemikiran tentang sesuatu, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan pun menggunakan hasil pemikiran kita; maka dari situlah awal dari pencarian untuk mengetahui bagaimana pemikiran kita ini ada, atau bagaimana kita bisa memiliki pengetahuan ini. Manusia ingin mengetahui bagaimana pemikirannya ini bisa muncul dalam dirinya. Inilah yang disebut ilmu tentang ilmu atau epistemologi (teori pengetahuan). Perkembangan pemikiran di dunia timur ini, yang awalnya dari epistemologi kemudian berkembang tentang pemikiran dalam pembuktian Tuhan, bahkan berkembang hingga pemikiran tentang “kehadiran”. Apa itu “kehadiran”? Saya akan menjawabnya dengan menggunakan contoh saja ya. Jika sebelumnya Anda belum pernah melihat gula pasir, maka ketika Anda bertanya: Apa itu gula pasir? Maka orang-orang yang mencoba menjelaskan kepada Anda tentang gula pasir itu akan menggunakan kalimat-kalimat, atau contoh-contoh, atau analogi untuk menjelaskan tentang gula pasir. Nah, cara mentransfer pengetahuan seperti ini disebut hushully atau mentransfer pengetahuan dengan menggunakan media (kalimat, alat peraga, atau analogi). Tapi, jika seseorang mendatangkan kepada Anda gula pasir, dan kemudian Anda melihat, meraba, bahkan merasakannya, maka pengetahuan Anda tentang gula pasir itu disebut hudhury atau pengetahuan yang hadir atau Anda mengetahui tentang sesuatu tanpa menggunakan media lagi, karena sesuatu tersebut telah “hadir” kepada Anda secara langsung.

Kembali ke pembahasan kita; dalam filsafat barat ketika berbicara tentang epistemologi, sebuah pengetahuan masuk kepada seseorang itu melalui kelima indera. Dalam dunia NLP, kelima indera itu disebut sub-modalitas. Setelah masuk melalui indera, selanjutnya pengetahuan tersebut diproses dan diberi makna. Dari sinilah dasar dari asumsi NLP tersebut, yaitu peta tidak sama dengan wilayah. Namun, seperti yang telah saya kemukakan bahwa ada pengetahuan/peta yang sama dengan realitas/wilayah. Apa itu? Sabar dong ya!

Sekarang, coba Anda perhatikan penjelasan saya barusan tadi. Sebuah pengetahuan masuk kepada seseorang itu melalui kelima indera. Setelah masuk, maka diproses dan kemudian diberi makna. Pertanyaan saya adalah: Berarti ada pengetahuan sebelumnya (sebelum pengetahuan yang masuk melalui indera itu masuk kepada kita), yaitu pengetahuan yang kita pakai untuk menilai (memberi makna) pada pengetahuan yang masuk melalui indera kita, betul kan? Karena jika tidak ada pengetahuan sebelumnya yang telah ada dalam pikiran kita, maka mustahil kita akan memberi makna pada pengetahuan yang baru saja masuk melalui kelima indera kita itu, benar kan? Sekarang pertanyaannya adalah: Darimana pengetahuan sebelumnya itu berada dalam pikiran kita? Mungkin Anda akan menjawab: Ya… pengetahuan sebelumnya itu kan ada karena hasil dari pengalaman kita? Ok, jawaban ini sedikit benar. Mengapa? Karena pertanyaan yang lebih lanjut adalah: Apa yang Anda pakai untuk menilai pengetahuan sebelumnya itu? Mungkin Anda agak bingung; kalau begitu mari kita pakai contoh saja.

Misalkan sebuah pengetahuan yang masuk melalui kelima indera Anda itu disebut X, maka perlu ada pengetahuan yang telah Anda ketahui sebelumnya, yang dipakai untuk menilai/memberi makna pada X. pengetahuan yang telah ada pada Anda ini kita sebut saja Y. Dan seperti jawaban atas pertanyaan di atas, Y ada dalam pikiran Anda karena dari pengalaman; dengan kata lain, pengetahuan Y juga sebelumnya hadir dalam pikiran Anda melalui indera, karena pengalaman berarti melibatkan kelima indera. Nah, pertanyaan saya adalah: Apa yang Anda pakai untuk menilai/memberi makna pada pengetahuan Y? Dan dari mana pengetahuan tersebut hadir untuk menilai pengetahuan Y. Mungkin Anda akan menjawab lagi dari pengetahuan sebelumnya, kita misalkan Z. Sekarang, dari mana lagi Anda menilai/memberi makna pada Z. Jika pertanyaan ini kita pertanyakan terus-menerus, maka kita akan sampai pada satu kesimpulan, yaitu: Terdapat sebuah pengetahuan yang hadir dalam diri kita, yang kehadirannya tidak melalui indera sama sekali. Kenapa? Karena indera hanya terbatas pada pengalaman, dan ada suatu masa dimana seseorang belum memiliki pengalaman sama sekali. Argumen ini pun, walau masih kurang kuat, dapat membuktikan keberadaan Tuhan atau apapun sebutan yang ingin Anda pakai untuk menyebut Yang Mahakuasa. Karena, mustahil bagi Tuhan untuk menghidupkan kita semua di dunia ini tanpa adanya pengetahuan sama sekali, yang menjadi bekal bagi kita untuk berjalan dimuka bumi ini. Bukankah pengetahuan itu menjadi bekal bagi kita, dan bagaimana kita menggunakan pengetahuan itu akan membuat kita sukses dan bahagia. Jadi, mustahil seseorang terlahir tanpa pengetahuan sama sekali. Pengetahuan awal, yang kita pakai untuk memberi makna pada pengetahuan-pengetahuan baru yang masuk melalu kelima indera kita.

Nah, pengetahuan awal inilah (pengetahuan yang hadir dalam diri kita dan tidak melalui pengalaman/indera) yang sesungguhnya merupakan pengetahuan yang sama persis dengan wilayah/realitas. Karena jika tidak, maka kebuntuanlah yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan ini adalah sesuatu yang sangat mustahil. Tuhan pasti telah memberikan kepada kita sebuah pengetahuan yang benar dan sesuai dengan realitas, dimana dengan pengetahuan ini kita berjalan di muka bumi. Dalam ilmu filsafat, pengetahuan awal (pengetahuan yang sesuai dengan realitas, dan menjadi pengetahuan awal kita untuk memberi makna pada realitas) ini disebut dengan NON-KONTRADIKSI.

Non-kontradiksi dapat kita sebut sebagai PEMBEDA. Sebuah pengetahuan awal bagi manusia untuk melakukan suatu pembedaan. Anda hanya sama dengan Anda sendiri, dan Anda mustahil sama dengan saya. Batu hanya sama dengan batu, dan mustahil sama dengan air. Inilah pengetahuan pembeda. Secara realitas, setiap yang ada adalah sesuatu yang berbeda. Kalau semuanya sama, maka mustahil bagi seorang bayi bisa meminum susu ketika baru pertama kali lahir. Kemampuan seorang bayi membedakan antara mana susu dan yang bukan susu telah membuatnya dapat tumbuh menjadi lebih besar. Pengetahuan pembeda adalah pengetahuan yang sama persis dengan realitas, karena setiap realitas itu berbeda-beda.

Pengetahuan pembeda ini juga sering disebut sebagai tashdiq (pembenaran). Jadi dalam Filsafat Timur, sumber pengetahuan itu dibagi atas dua, yaitu tashdiq dan tashawwur. Tashdiq (pembenaran) adalah sebuah pengetahuan awal yang berfungsi untuk memberi makna dan kehadirannya tidak melalui indera (pengalaman), sedangkan tashawwur adalah pengetahuan sekunder yang berasal dari pengalaman inderawi. Mari kita lihat proses kerjanya!

Ketika indera mendapatkan pengetahuan, misalkan “bunga”; maka “bunga” adalah pengetahuan yang belum memiliki makna, karena indera tidak bisa memberikan makna bagi sesuatu. Bahkan pengetahuan “bunga” pun belum memiliki realitas. Pengetahuan “bunga” ini disebut tashawwur atau pengetahuan yang berasal dari indera. Ketika pengetahuan “bunga” masuk melalui indera, maka kemudian akan diberi nilai (pembenaran) terhadapnya, misalkan “bunga itu indah”. Penunjukkan pada jenis bunga tertentu (kata “itu”) dan penilaian terhadapnya (kata “indah”) dilakukan oleh pengetahuan yang berfungsi memberikan makna dan realitas yang telah ada sebelumnya dalam pikiran kita, dan disebut sebagai tashdiq (pembenaran). Jika sebelumnya pengetahuan “bunga” belum memiliki realitas, maka dengan adanya penunjukkan terhadap “bunga” tertentu dan penilaian terhadapnya, telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa bunga tersebut memiliki realitas seperti yang telah ditunjukkan dan dinilai sebelumnya. Penunjukkan terhadap “bunga” tertentu mengisyaratkan kepada kita akan adanya suatu kemampuan pembeda pada diri manusia, karena dengan kemampuan tersebut, maka seorang manusia bisa menunjukkan yang manakah realitas sesungguhnya.

Dan, seiring dengan waktu, pengetahuan tashdiq ini pun berkembang dan semakin kompleks, seiring dengan semakin banyaknya pengetahuan pada diri manusia.

Jadi, Anda dapat melihat bahwa sesungguhnya – menurut filsafat timur – ada penjelasan sebelumnya ketika menjelaskan tentang masuknya sebuah pengetahuan dalam diri manusia. Karena penjelasan barat hanya membagi sumber ilmu itu ke dalam satu bagian saja, yaitu melalui indera; dan inilah pandangan dunia modern setelah melalui abad kegelapan dalam tradisi barat.

Kenapa harus ada penjelasan tambahan akan adanya sumber ilmu yang lain, seperti yang dibahas dalam filsafat timur? Karena jika kita kembangkan penjelasan dari barat tersebut, maka ujung-ujungnya manusia akan masuk ke dalam wacana atheis. Mengapa? Karena jika sumber ilmu itu hanya satu sumber saja, yaitu indera (pengalaman), maka akan sangat sulit untuk menjelaskan segala sesuatu yang bersifat meta-fisik. Itulah sebabnya pandangan dunia modern menolak akan adanya meta-fisik. Bukankah Tuhan itu diluar jangkauan fisik (indera).

Namun, perlu diingat bahwa tulisan ini tidak bermaksud membuat dikotomi antara barat dan timur, namun lebih kepada saling melengkapi atas apa yang ditemukan di barat dan apa yang ditemukan ditimur. Saya sendiri pun belajar banyak atas apa yang telah ditemukan oleh dunia barat. Inilah yang menjadi penyebab kenapa saya begitu mendalami NLP. Hal ini disebabkan karena ternyata dasar dari NLP telah saya pelajari sebelumnya ketika mempelajari Logika dan Filsafat Timur sejak tahun 1997. Apa yang saya utarakan barusan hanyalah penambahan sedikit dari masuknya pengetahuan ke diri manusia ala NLP. Karena menurut hemat saya, sebuah keyakinan itu ada yang berdasarkan pengetahuan, selain berdasarkan pada penyaksian (kehadiran, hudhuri). Nah, logika dan filsafat timur yang saya pelajari adalah sebuah sumber keyakinan berdasarkan pada pengetahuan. Dengan mempelajarinya, seseorang bisa yakin akan keberadaan Tuhan, dan seluruh manifestasi-Nya (ciptaan-Nya). Saya juga melihat bahwa dasar dari NLP ini merupakan dasar yang jika dilakukan beberapa penambahan tertentu bisa dipakai sebagai argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan, selain dipakai untuk ilmu meraih kesuksesan. Bukankah kesuksesan yang holistik adalah kesuksesan yang berlandaskan pada keyakian yang kuat terhadap Tuhan, dan bagaimana memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Semoga tulisan ini menambah khazanah berpikir!

Tuesday, August 21, 2007

RESONANSI

Apapun yang kita pikirkan dan rasakan akan selalu beresonansi dengan segala sesuatu yang ada di sekeliling kita bahkan dengan alam semesta
- Syahril Syam -

Hal paling utama untuk mengetahui rahasia di balik hukum ketertarikan (Law of Attraction) adalah RESONANSI. Apa itu resonansi? Saya ingin mengajak Anda untuk melakukan sebuah percobaan sederhana di rumah Anda. Belilah 2 (dua) buah garpu tala yang memiliki frekuensi yang sama (dasar). Anda bisa mencari garpu tala tersebut di toko-toko yang menjual alat-alat laboratorium dan kesehatan. Setelah Anda sudah mendapatkan kedua garpu tala yang memiliki frekuensi yang sama, maka lakukanlah percobaan berikut ini: Ketuklah garpu tala yang pertama dengan memukulkan garpu tala tersebut pada sebuah benda yang keras. Secara otomatis garpu tala itu akan langsung bergetar; begitu bergetar maka sesegera mungkin dekatkan garpu tala yang bergetar tersebut pada garpu tala yang satunya lagi. Dekatkan sedekat mungkin, dan jagalah agar kedua garpu tala tersebut tidak saling bersentuhan satu sama lain.

Apa yang terjadi? Anda dapat melihat dan merasakan dengan jelas bahwa garpu tala yang kedua (garpu tala yang tidak bergetar) begitu berdekatan dengan garpu tala yang pertama (garpu tala yang diketuk sehingga bergetar) akan ikut bergetar mengikuti getaran yang ditimbulkan oleh garpu tala yang pertama. Fenomena ini disebut dengan RESONANSI. Garpu tala yang kedua beresonansi (ikut bergetar) dengan garpu tala yang pertama.

Hal ini bisa terjadi karena kedua garpu tala tersebut memiliki frekuensi yang sama. Anda juga mungkin pernah melihat fenomena seperti ini di sekeliling Anda. Pernahkah Anda melihat ketika sebuah pesawat terbang melintas agak rendah di atas rumah Anda, dan kemudian Anda melihat jendela rumah Anda tiba-tiba bergetar? Seiring dengan semakin dekat pesawat tersebut melintas di atas rumah Anda, getaran jendela rumah pun semakin kuat bergetar. Dan ketika pesawat terbang menjauh dari rumah Anda, maka perlahan-lahan getaran jendela pun mereda dan akhirnya berhenti bergetar.

Fenomena ini juga disebut dengan resonansi. Hal ini dapat terjadi karena frekuensi suara pesawat yang dihasilkan dari mesin pesawat memiliki frekuensi yang sama dengan kaca jendela rumah Anda. Kedua fenomena ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa JIKA DUA BUAH BENDA ATAU LEBIH YANG MEMILIKI FREKUENSI YANG SAMA, MAKA GETARAN BENDA YANG SATU DAPAT MEMPENGARUHI BENDA YANG LAINNYA SEHINGGA IKUT BERGETAR. Kedua buah benda atau lebih tersebut tidaklah harus benda yang sama, tapi yang paling penting adalah memiliki frekuensi yang sama.

Fenomena resonansi juga dapat Anda lihat ketika Anda ingin menyetel radio di rumah Anda. Anda hanya bisa mendengar suara radio dari sebuah stasiun radio jika Anda menyetel frekuensi yang sama di radio Anda dengan frekuensi yang dipancarkan oleh stasiun radio tersebut. Jika Anda mengubah frekuensinya, maka Anda akan berpindah pada stasiun radio yang lain, yang memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi yang telah Anda setel pada radio Anda.

Begitu juga ketika Anda ingin menonton sebuah saluran televisi. Frekuensi tertentu yang Anda setel, Anda dapat menonton sebuah stasiun televisi yang sesuai dengan frekuensi yang Anda setel itu. Biasanya frekuensi setiap stasiun televisi telah diatur dan disimpan sedemikian rupa pada angka-angka tertentu, sehingga cukup dengan menekan angka tertentu maka Anda bisa menikmati siaran televisi yang Anda inginkan.

Anda juga bisa melihat fenomena resonansi pada diri Anda sendiri. Sekarang juga, coba pikirkan tentang diri Anda dan teman jalan Anda saat ini. Jika Anda berada dalam satu group pertemanan (memiliki beberapa teman baik sekaligus yang berada dalam satu kelompok), maka perhatikanlah tinggi badan Anda dengan mereka? Atau perhatikan selera humor Anda dengan mereka? Atau perhatikan selera makan Anda dengan mereka? Atau perhatikan hobi Anda dengan mereka? Atau perhatikan gaya bicara dan topik pembicaraan Anda dengan mereka? Bahkan, cobalah Anda perhatikan tingkat kekayaan Anda dengan mereka? Dan atau-atau yang lain? Anda bisa melihat bahwa tinggi badan Anda serupa dengan tinggi badan mereka. Anda juga bisa melihat gaya bicara dan topik pembicaraan Anda serupa dengan mereka. Anda juga memiliki tingkat kekayaan yang mirip dengan mereka. Dan Anda bisa memperhatikan semua kemiripan Anda dengan mereka.

Kenapa hal ini terjadi? Karena adanya kesamaan frekuensi pada pikiran dan perasaan Anda dengan teman-teman Anda tersebut. Hal ini bisa terjadi karena hampir setiap orang merasa nyaman dengan keadaan mereka saat ini, dan semakin nyaman ketika ada yang mirip dan serupa dengan mereka. Hal ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa hampir setiap orang memiliki keadaan pikiran dan perasaan yang berada pada frekuensi netral. Frekuensi netral ini sering juga disebut sebagai frekuensi dasar. Ketika seseorang berada pada frekuensi dasar (netral), maka kemungkinan besar ia akan mudah dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya. Jadi, jangan heran jika Anda dan teman-teman Anda akan selalu berada pada lingkungan pertemanan yang itu-itu saja, sebab Anda dan teman-teman Anda merasa nyaman dengan keadaan saat ini. Oleh sebab itu, jika seseorang berada pada frekuensi dasar, maka hanya ada satu pilihan, yaitu akan selalu beresonansi (ikut bergetar/dipengaruhi) terhadap sesuatu yang lain, dan akan beresonansi pada zona kenyamanan yang Anda rasakan saat ini (frekuensi dasar). Dan jika sudah berada pada zona kenyamanan, maka seseorang akan selalu mendapatkan yang itu-itu saja, Anda akan cenderung mendiskusikan topik yang itu-itu saja dengan teman-teman Anda.

Berbeda jika Anda memiliki fokus pikiran dan perasaan pada tujuan tertentu. Jika ini terjadi pada Anda, maka Andalah yang menjadi pusat resonansi. Dengan kata lain, segala sesuatunya akan ikut beresonansi (ikut bergetar/dipengaruhi) dengan tujuan yang Anda inginkan. Anda selalu bergerak keluar dari zona kenyamanan, dan orang-orang di sekeliling Anda akan mengikuti Anda, tentunya dengan kecepatan mereka masing-masing dalam mengikuti Anda. Yang jelas, Anda akan menemukan orang-orang yang serupa dengan Anda dan memiliki tingkat kecepatan bergerak yang serupa dengan Anda, dan Anda juga akan mempengaruhi orang-orang yang berada pada frekuensi netral, yang secara perlahan-lahan mengikuti pola kecepatan bergerak Anda keluar dari zona kenyamanan.

Jadi hal paling utama akan terjadinya resonansi adalah kesamaan frekuensi. Apa itu frekuensi? Dan bagaimana kita sebagai manusia menyetel frekuensi kita agar beresonansi (menarik) apapun yang kita inginkan? Hal ini akan kita bahas pada tulisan yang akan datang, ok!

Friday, August 10, 2007

BERHATI-HATILAH DENGAN MAKNA-MAKNA POSITIF

Mashab psikologi yang memperhatikan perilaku yang nampak saja sering disebut sebagai mashab behaviorisme. Berbeda dengan mashab psikonalisis, yang hanya memperhatikan perilaku manusia hingga kedalaman jiwa manusia, hingga alam bawah sadarnya; maka behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behaviorisme kemudian lebih dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar adalah perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Dan teori ini masih saja menjadi pedoman oleh hampir semua pendidik di dunia.

Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin”. Mashab ini kemudian menjadi mashab yang sangat terkenal. Behaviorisme lahir di negeri Paman Sam, dan menjadi mashab yang juga mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Bahkan banyak buku-buku psikologi seringkali hanya mencerminkan pendekatan ini.

Kita tidak akan membicarakan lebih jauh penjelasan tentang behaviorisme ini, karena saya ingin mengajak Anda untuk fokus pada dua penelitian yang berasal dari mashab ini untuk menjelaskan judul dari tulisan ini. Percobaan pertama adalah percobaan yang dilakukan oleh tokoh utama mashab ini, yaitu J.B. Watson.

Suatu ketika Watson melakukan sebuah eksperimen bersama Rosalie Rayner di John Hopkins; tujuannya menimbulkan dan menghilangkan rasa takut yang dihasilkan oleh faktor lingkungan. Subyek eksperimennya adalah Albert B., bayi sehat berusia 11 bulan yang tinggal di rumah perawatan anak-anak invalid, karena ibunya menjadi perawat di situ. Albert menyayangi tikus putih. Sekarang takut ingin diciptakan. Ketika Albert menyentuh tikus itu, lempengan baja dipukul keras tepat di belakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Proses ini diulangi: kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras. Akhirnya, kalau tikus itu muncul – walaupun tidak ada suara keras – Albert mulai menangis, membalik, dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut pada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui.

Mari kita lihat lagi percobaan yang lain, sebuah percobaan yang sering diceritakan oleh para motivator dan pembicara publik tentang kerja pikiran. Percobaan ini sering juga disebut sebagai percobaan Pavlov (1849-1936). Suatu ketika Pavlov meletakkan daging di depan anjing lapar yang hanya dapat menciumi dan melihatnya tetapi tidak dapat menyentuhnya. Daging ini menjadi rangsangan yang kuat bagi anjing merasakan rasa laparnya. Segera anjing-anjing itu mengeluarkan air liur berlebihan. Sementara anjing-anjing ini sedang dalam keadaan sangat lapar, Pavlov tetap membunyikan bel dengan nada tertentu. Segera ia tidak membutuhkan daging lagi – ia hanya perlu membunyikan bel dan anjing segera merasa lapar seolah ada daging di depan mereka. Ia telah menciptakan hubungan saraf antara bunyi bel dan keadaan lapar atau keluarnya air liur. Sejak saat itu, ia hanya perlu membunyikan bel dan anjing segera berada dalam keadaan lapar.

Eksperimen Watson dan Pavlov (keduanya adalah tokoh behaviorisme) sering juga disebut dengan pelaziman klasik. Pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (tikus putih dan bunyi bel) dengan stimuli tertentu (yang tak terkondisikan) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respon terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus putih yang netral berubah mendatangkan rasa takut atau pada bunyi bel yang netral menjadi sebuah rangsangan yang mendatangkan rasa lapar pada anjing-anjing. Hasil dari pelaziman klasik juga sering disebut sebagai hasil belajar. Albert dan anjing-anjing itu telah belajar, bagaimana tikus putih mendatangkan ketakutan dan bunyi bel mendatangkan rasa lapar. Begitu juga jika kehadiran Anda selalu berbarengan dengan sebuah malapetaka, maka setiap kali Anda hadir akan selalu membuat orang berdebar-debar; ada kemungkinan Anda akan dicap sebagai pembawa sial. Orang-orang di sekeliling Anda telah belajar bahwa Anda adalah pembawa sial.

Dua contoh ekpsperimen di atas juga menggambarkan perilaku manusia pada umumnya. Apa yang kita kenal sebagai phobia (ketakutan yang berlebihan dan tak terkendali terhadap sesuatu) adalah hasil dari sebuah pelaziman klasik. Dalam dunia kerja pikiran, pelaziman klasik disebut dengan anchor (jangkar). Anchor ini seringkali terjadi pada seseorang, dan orang itu sendiri jarang menyadarinya. Proses pemasangan sebuah stimuli netral terhadap suatu kondisi tertentu seringkali terjadi secara berulang-ulang pada seseorang, yang pada akhirnya menjadi sebuah hasil belajar (anchor, pelaziman klasik). Kalimat: “Saya pasti bisa" jika selalu diiringi dengan kegagalan dan terjadi berulang kali akan menjadi sebuah hasil belajar yang seringkali tidak disadari; dan hasilnya adalah: setiap kali seseorang melakukan afirmasi “Saya pasti bisa" akan selalu terjadi kondisi dan perasaan yang negatif, takut gagal, dan seringkali rasa malas.

Itulah sebabnya, tidak semua hal-hal yang dianggap positif oleh masyarakat memiliki makna yang positif juga. Sebuah kata atau kalimat yang berubah makna ini dalam ilmu logika disebut dengan perpindahan makna. Contoh kata-kata yang sudah mengalami perpindahan makna itu banyak sekali. Dapat Anda temukan contohnya pada merek-merek sebuah produk. Ada merek sebuah produk mie instan, yang jika disebut sudah mengandung makna semua mie instan yang ada; begitu juga dengan merek air mineral. Jika menyebut mereknya, maka dalam pikiran masyarakat mengandung makna semua jenis air mineral yang ada.

Proses perpindahan makna (anchor, pelaziman klasik) terjadi karena banyak rangsangan yang terjadi pada manusia, dan seringkali sebuah rangsangan dibarengi oleh sebuah peristiwa tertentu. Proses belajar pun akan terjadi dan seringkali tanpa disadari. Itulah sebabnya, Anda perlu berhati-hati dengan semua kata atau kalimat atau apapun yang awalnya mengandung makna positif, tetapi pada akhirnya menjadi sebuah makna negatif yang terjadi pada diri Anda. Contoh yang lain adalah kata: “Ayo! Belajar”. Kalimat ini sungguh bermakna positif, tetapi pada hampir sebagian dari anak-anak dan orang dewasa, kalimat ini menjadi makna negatif yang melahirkan perasaan negatif dan malas.

Saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang sementara melakukan konsultasi dengan saya. Saya mendengarkan penuturannya yang panjang, dan semuanya adalah masalah. Pada suatu waktu saya pun mulai berbicara dan memancing pikirannya dengan sedikit berterus terang akan keadaan dirinya. Saya kemudian menjelaskan percobaan Watson di atas, dan berkata bahwa ada beberapa bagian dari kehidupannya yang sudah menjadi anchor negatif pada dirinya. Apa yang dia katakan? Dia mengatakan bahwa apa yang saya jelaskan itu hanyalah teori belaka, dan sangat berbeda dengan keadaan yang dihadapinya saat itu. Saya tidak memaksa penjelasan saya waktu itu, tetapi keadaan ini juga menjelaskan kepada kita bahwa karena proses belajar ini terjadi pada tingkat bawah sadar, maka hampir semua anchor negatif itu tidak akan kita sadari. Jadi berhati-hatilah!

Jika ada anchor negatif, maka adakah anchor yang positif? Ada. Anda bisa dengan sengaja menciptakan anchor yang positif pada diri Anda sendiri. Seperti halnya percobaan Watson yang sengaja menciptakan sebuah anchor negatif, maka Anda bisa juga menciptakan anchor yang positif. Sampai di sini mungkin masih ada yang bertanya: Jika sudah terlalu banyak anchor yang negatif, maka bagaimana caranya untuk menghilangkannya? Jawaban untuk pertanyaan ini ada pada kritikan para pendukung mashab psikologi setelahnya terhadap mashab behaviorisme ini.

Behaviorisme hanya berhubungan dengan perilaku yang terjadi akibat rangsangan dari luar diri atau lingkungan, maka mashab psikologi kognitif mulai memberikan penjelasan yang tidak dapat dijelaskan oleh behaviorisme. Salah satu yang agak sukar untuk dijelaskan oleh behaviorisme adalah motivasi yang terjadi dari dalam diri. Psikologi kognitif memberikan jawaban bahwa manusia adalah manusia yang berpikir, manusia memiliki kesadaran. Dengan menyadari keadaan Anda, maka Anda bisa melakukan perubahan. Banyak sekali jenis-jenis terapi yang berasal dari mashab kognitif ini. Teknik-teknik terapi yang sering dilakukan dalam NLP juga banyak berasal dari mashab ini. Ada juga jenis terapi yang menggabungkan mashab psikoanalisis (menggali akar masalah hingga tingkat bawah sadar) dengan melakukan perubahan dengan pendekatan kognitif. Dan masih banyak lagi teknik-teknik terapi yang lahir dari mashab-mashab psikologi setelah itu. Anda tinggal memilih yang mana saja. Carilah seseorang yang professional untuk membantu keadaan Anda!

Energi Psikis Sebagai Akselerator Keberhasilan

Oleh: Adi W. Gunawan

Kecepatan pencapaian keberhasilan, di bidang apa saja, berbanding lurus dengan tingkat dan intensitas kemurnian energi psikis seseorang. - Adi W. Gunawan

Pertama-tama, melalui artikel ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada sahabat saya Dr. Bumbunan Sitorus di Pontianak. Melalui sharing dan buku yang saya baca, sesuai yang beliau sarankan, saya mengalami lompatan pemahaman dan perluasan cakrawala pikir tentang spiritualitas.

Dalam salah satu buku tersebut saya menemukan pemahaman luar biasa yang, menurut saya, merupakan rahasia pencapaian keberhasilan yang selama ini tidak pernah dijelaskan secara ilmiah dan terstruktur. Pemahaman ini yang ingin saya bagikan pada anda.

Buku itu berisi hasil penelitian selama lebih dari 20 tahun mengenai level energi yang berhubungan dengan spiritualitas (Peta Kesadaran). Dalam artikel ini saya menarik benang merah antara level energi psikis dengan proses materialisasi (baca: pencapaian keberhasilan).

Sebelum lebih jauh menjelaskan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada anda:

  1. Pernahkah anda, setelah berusaha sangat keras untuk mencapai sesuatu, setelah habis-habisan, pokoke sudah melakukan segala hal dengan penuh antusiasme dan keyakinan, tetap tidak bisa berhasil. Namun setelah anda pasrah, sudah nggak begitu bernafsu, menerima apapun hasilnya, tidak memaksa kemauan anda, pokoke terserah Yang Atas, eh... malah anda dapat lebih mudah berhasil?
  2. Pernahkah anda mendengar bahwa kebanggaan/pride adalah awal dari kejatuhan?
  3. Pernahkah anda melihat atau merasakan aura seseorang berwarna gelap saat ia mengalami emosi negatip, misalnya rasa malu, rasa bersalah, kesedihan mendalam, dan takut?

Saya yakin anda pasti menjawab "ya" pada ketiga pertanyaan di atas. Lalu, apa hubungannya dengan sukses? Oh, sangat erat.

Level energi ini, setelah dikalibrasi, mempunyai skala 0?1.000. Baseline-nya ada pada skala 200. Naiknya level energi bersifat logaritma. Maksudnya? Kalau level energi ada pada skala 2 ini berarti kekuatannya adalah 10 pangkat 2 (10x10) sama dengan 100. Kalau 3 maka kekuatannya adalah 10 pangkat 3 (10x10x10) sama dengan 1.000.

Segala sesuatu yang berada di bawah baseline 200 bersifat negatip dan men-drain energi psikis kita. Semakin kecil angkanya maka semakin jelek akibatnya.

Berikut adalah hasil pengukuran level energi berbagai kondisi emosi manusia (ingat, segala sesuatu di bawah baseline 200 adalah bersifat buruk):

rasa malu (20), rasa bersalah (30), apatis (50), kesedihan mendalam (75), takut (100) keinginan (125), marah (150), bangga (175), berani (200), netralitas (250), kemauan (310), penerimaan (310), berpikir (400), cinta (500), bahagia (540), damai (600), pencerahan (700-1.000).

Sekarang mari kita lihat contoh kasus di atas. Pada pertanyaan pertama, saat kita sangat ingin mencapai target maka saat itu kita berada pada level energi 125 (di bawah 200). Semakin kita bernafsu maka semakin kita melekat atau terikat pada keinginan itu dan semakin drop energi kita.

Mengapa justru pada saat kita pasrah dan menyerahkan semua hasil kepada Yang Atas kita malah dapat mencapai hasil dengan sangat cepat dan maksimal? Jawabannya, coba anda lihat skala di atas. Saat kita menerima apapun hasilnya, saat kita tidak melekat pada target dan keinginan, saat kita pasrah, maka level energi kita langsung naik ke netralitas (250), selanjutnya ke penerimaan (310). Artinya kita menerima apapun hasil yang kita capai.

Untuk pertanyaan kedua, mengenai rasa bangga/pride, dengan melihat pada skala di atas maka anda tahu bahwa bangga berada pada skala 175. Juga berada di bawah 200.

Bagaimana dengan pertanyaan ketiga. Sami mawon atau sama saja. Semua emosi itu berada di bawah skala 200. Karena emosi ini adalah emosi negatip maka sudah tentu pikiran kita akan kacau dan selanjutnya mempengaruhi medan energi tubuh kita (aura).

Bagaimana kalau kita bisa mengendalikan diri dan berusaha untuk bisa berada pada skala di atas 200? Ini akan sangat baik bagi peningkatan level kesadaran kita. Dan sudah tentu akan sangat meningkatkan level spiritual kita.

Saat saya menjelaskan mengenai Peta Kesadaran kepada seorang kawan , ia langsung berujar, "Sekarang saya mengerti. Mengapa setelah mengikuti workshop baru-baru ini kondisi pikiran saya justru semakin kacau. Secara emosi dan spiritual saya justru merasa semakin kering. Rupanya selama mengikuti workshop itu kami, para peserta, dimotivasi atau lebih tepatnya dipaksa berkembang dengan menggunakan emosi negatip yaitu perasaan takut, rasa bersalah, rasa malu, dan marah. Makanya hasil workshop itu justru kontraproduktif".

"Maksud mu?", kejar saya karena masih penasaran dengan apa yang baru saya dengar.

"Begini lho. Waktu di workshop kami kan diminta untuk merenungi apa yang telah kita lakukan selama ini. Kami diminta untuk mengingat semua kesalahan atau dosa kita. Hal ini menimbulkan rasa bersalah yang mendalam dalam diri kita. Apalagi kita diingatkan, lebih tepatnya ditakuti dan diancam, bahwa kita akan masuk neraka. Ini kan mengaktifkan perasaan takut yang berlebihan. Dan kita akhirnya menjadi marah dengan diri sendiri karena telah berperilaku "bodoh" selama ini. Proses perubahan atau peningkatan level kesadaran atau spiritual kami didorong bukan oleh perasaan cinta, penerimaan, netralitas atau melihat segala sesuatu apa adanya, rasa bahagia, dan kedamaian pikiran. Gimana, udah jelas?", jelas kawan saya panjang lebar.

"Iya, sudah ngerti", jawab saya agak kaget karena kok ya ada pelatihan yang menggunakan emosi negatip untuk menciptakan perubahan.

"Trus, apa hubungan level energi ini dengan sukses secara materi?", tanya kawan saya lagi.

Hampir saja saya lupa menjelaskan maksud awal saya menceritakan Peta Kesadaran karena sibuk memikirkan workshop yang diceritakan kawan saya.

"Siap nggak kalo saya cerita sedikit agak rumit? Mungkin kamu nggak akan percaya apa yang saya jelaskan. Kalo nggak ngerti dan nggak mau nerima penjelasan saya ya nggak apa-apa. Paling nggak dibuat bahan untuk berpikir kalo pas lagi ngganggur", ujar saya menyiapkan pikiran kawan saya.

"So, apa yang mau kamu ceritakan? Saya siap", jawab kawan saya cepat.

Pembaca yang budiman. Akan sangat panjang jika saya ceritakan semua penjelasan saya dan diskusi kami. Saya sempat berdiskusi mengenai Unified Field, Quantum Physics, kitab suci, ajaran para master dan guru spiritual, dan masih banyak lagi. Berikut saya ceritakan intisarinya saja.

Pikiran dan materi saling terkait. Pikiran menciptakan materi. Segala sesuatu diciptakan dua kali. Pertama di pikiran. Selanjutnya, setelah melalui proses dan sudah tentu membutuhkan waktu, baru akan menjadi realitas fisik. Untuk bisa mempercepat proses manifetasi maka kita perlu menyelaraskan pikiran kita dengan Supra Sadar. Salah satu caranya adalah dengan berusaha meningkatkan energi psikis kita.

Skala level energi yang saya jelaskan di atas, bila diperhatikan dengan sungguh-sungguh, sebenarnya merupakan level perkembangan spiritual seseorang. Semakin tinggi level energinya, yang sudah tentu hanya bisa dicapai bila seseorang mempunyai tingkat spiritual yang baik, maka akan semakin mudah untuk memanifestasi suatu keinginan. Sudah tentu keinginan ini harus sejalan dengan prinsip-prinsip hukum alam.

Hal ini menjawab fenomena mengapa saat kita minta bantuan doa dari orang yang level spiritualnya tinggi maka doa itu akan sangat cespleng alias manjur. Sebaliknya biar yang doain itu orang satu kampung, kalo level spiritualnya nggak bagus maka nggak akan ada hasilnya.

Selanjutnya kita perlu menyadari bahwa alam mempunyai mekanisme sendiri dalam memanifestasikan apa yang ada di pikiran kita. Kita nggak bisa dan nggak boleh memaksa kemauan kita. Kalo kita memaksa maka kita berada pada level energi 125 (keinginan yang menjadi kemelekatan). Sebaliknya kita harus yakin dan pasrah. Semakin yakin dan pasrah kita maka akan semakin cepat terciptanya realita fisik.

Dalam kesempatan itu saya juga mengajarkan kawan saya untuk bisa, dengan mata telanjang, melihat perubahan medan energi tubuh sesuai dengan kondisi emosi atau pikiran seseorang pada saat pengamatan dilakukan. Semula ia tidak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Namun setelah ia bisa melihat sendiri akhirnya ia percaya dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Sambil bercanda ia berkata, "Edan, hari ini kamu berhasil menyesatkan saya ke jalan yang benar".

Namun ia masih tetap penasaran dan membantah, "Tapi kan ada orang yang bisa sukses finansial dengan cara yang nggak benar. Kalo begini apa komentarmu?".

Saya tahu ia pasti akan menanyakan hal ini. Jadi saya sudah siap dengan jawabannya. "Orang yang sukses, tidak hanya di bidang finansil, bisa bidang apa saja, apabila sukses ini dicapai dengan cara yang tidak benar maka pasti ia akan mengalami hal-hal negatif pada aspek lain dari hidupnya. Bisa saja dia sangat kaya. Namun coba lihat kehidupan keluarganya, bagaimana kondisi mental dan emosinya, bagaimana relasinya dengan keluarga dan orang di sekitarnya, bagaimana dengan ketenangan batin/hatinya, bagaimana dengan kesehatan fisiknya? Singkat kata, segala sesuatu yang dicapai tidak dengan cara yang benar maka pasti akan ada efek samping yang tidak baik. Tidak ada satupun orang yang bisa lepas dari hukum alam semesta baja, Hukum Sebab Akibat", jawab saya sedikit memberikan wejangan dan mengakhiri diskusi kami.

Para pembaca, bila kita mencermati level energi pada Peta Kesadaran yang telah diuraikan di atas maka kita bisa mengerti mengapa suatu tujuan bila didasarkan pada perasaan cinta yang tulus demi kebahagiaan orang lain maka tujuan itu akan jauh lebih mudah tercapai. Kita akan mengalami sangat banyak "kebetulan" membawa kita ke pencapaian tujuan mulia itu. Seakan-akan semua telah ada yang mengatur.

Setelah Anda membaca tulisan Adi W. Gunawan di atas, cobalah untuk memperhatikan tabel energi di bawah ini agar lebih jelas memahami apa yang dimaksud dalam tulisan ini: