Monday, October 1, 2007

FOR WHAT/WHAT NEXT


Apa yang kamu butuhkan dari dunia adalah sesuatu yang sah untuk memuaskan laparmu, sesuatu yang dengannya kau mencukupi dirimu, dan sebuah atap di atas kepalamu. Biarkan ini semua menjadi sesuatu yang hanya diminta dari dunia ini

- Ibn al-‘Arabi -

Jangan biarkan kenangan menjadikanmu berpuas diri. Apa yang engkau temukan selama pencarian adalah hadiah-Nya bagimu. Tapi saat hadiah-Nya engkau buka, jangan jadikan ia sebagai tujuan

- Da’ud ibnu Ibrahim al Shawni -

Seorang darwis melapor pada polisi bahwa seluruh harta dunianya dicuri. Para polisi mengecam bahwa orang yang mencuri seluruh harta darwis itu pastilah jahat sekali. Mereka bekerja keras dan akhirnya menemukan pencurinya yang membawa selembar selimut milik darwis tersebut. Mereka mengambil selimutnya dan kemudian memberikannya kepada sang darwis. “Ini baru awal. Kami tak akan berhenti mengejarnya sebelum menemukan seluruh harta Anda lainnya.”

“Tapi, kalian telah menemukan seluruhnya,” kata sang darwis.

“Cuma selembar selimut compang-camping ini? Anda bilang seluruh harta Anda dicuri,” ujar para polisi.

“Ya, hanya ini yang aku punya. Ini menjadi permadani tempatku duduk, selimut di malam yang beku, mantelku pada siang yang dingin, dan payungku dari sengatan sinar matahari,” imbuh sang darwis.

Khalil A. Khavari yang menulis kisah tersebut kemudian menjelaskan: darwis itu mengajarkan kepada kita sebuah nasihat adiluhung, yaitu milikilah barang-barang yang benar-benar kita butuhkan saja, dan sisihkanlah daftar barang yang kita inginkan. Kebutuhan kita sedikit, sedangkan keinginan kita tak berhingga. Memuaskan keinginan kita berarti memburu ilusi yang takkan pernah dapat digapai. Manakala kita memiliki sesuatu, uang dan barang, semboyannya adalah: apa yang kau gunakan dengan baik itu milikmu; dan apa yang kau tumpuk-tumpuk bukan milikmu.

Khavari telah mengajarkan kepada kita satu hal: untuk apa semua keberhasilan, prestasi puncak, kesuksesan, apapun namanya, yang telah kita raih? Apa yang dapat kita lakukan setelah kita meraih impian-impian kita? Seperti semboyan di atas: apa yang kau gunakan dengan baik itu milikmu; dan apa yang kau tumpuk-tumpuk bukan milikmu.

Yang membuat kita senantiasa berprestasi, bahkan bahagia, adalah kemampuan kita untuk senantiasa berkembang dan berproses untuk memenuhi apa yang kita butuhkan, bukan pada apa yang kita inginkan. Kita butuh kecemerlangan jiwa dengan membantu orang lain. Ini merupakan bagian dari proses untuk menjadi kaya, bukan hanya sekedar keinginan untuk menjadi kaya. Pada akhirnya, semuanya adalah alat untuk membantu memberikan apa yang kita butuhkan: cinta, kasih sayang, jiwa yang tenang, bertahan hidup, dan apapun yang membantu kita untuk tumbuh menjadi manusia yang sempurna.

Hal ini bukanlah dimaksud bahwa kita betul-betul harus hidup miskin, melainkan menemukan maksud dari semua pencapaian yang telah kita raih selama ini. Sebuah kisah berikut menggambarkan dengan jelas akan maksud saya ini:

Ada seorang nelayan miskin yang juga seorang guru sufi. Dia pergi memancing pada suatu hari, dan setiap hari dia membagikan hasil tangkapannya kepada orang-orang miskin di kampungnya, kecuali satu atau dua kepala ikan yang dia pakai untuk membuat sup untuk dirinya sendiri. Muridnya sungguh mencintai dan mengagumi guru mereka dan memberi julukan “syekh kepala ikan.”

Salah satu muridnya adalah seorang pedagang. Sebelum pergi ke Kordoba, guru itu memintanya untuk menyampaikan salamnya kepada gurunya sendiri, Syekh Ibn al-‘Arabi, dan menitip pesan untuk memintakan sejumlah saran untuk membantu dalam urusan-urusan spiritual dirinya, yang dia rasakan berjalan begitu lamban.

Ketika pedagang itu sampai di rumah Ibn al-‘Arabi, dia menemukan banyak hal yang mengagetkan dirinya, sebuah istana yang dikelilingi dengan kebun-kebun. Dia melihat banyak pelayan hilir mudik dan melayani dengan daging mewah di atas panggang emas oleh seorang perempuan muda yang cantik dan pemuda-pemuda yang tampan. Akhirnya dia diantar menemui Ibn al-‘Arabi yang tengah mengenakan pakaian yang cocok sekali untuk seorang sultan. Dia menyampaikan salam gurunya dan menyampaikan permohonan gurunya mengenai panduan spiritual. Ibn al-‘Arabi dengan sederhana mengatakan, “Katakan pada muridku bahwa dia terlalu kadonyan (larut oleh dunia)!” Pedagang itu kaget dan tersinggung oleh saran yang datang dari orang yang hidup dalam kemewahan duniawi seperti itu.

Ketika dia kembali, gurunya segera menanyakan pertemuannya dengan Ibn al-‘Arabi. Pedagang itu menyampaikan ungkapan Ibn al-‘Arabi dan menambahkan bahwa kedengarannya sangat absurd, sesuatu yang datang dari orang yang sangat kaya, seorang yang dibelit oleh dunia.

Gurunya membalas, “Kamu harus tahu bahwa masing-masing dari kita bisa mempunyai kekayaan material sebanyak yang bisa dicapai oleh jiwa tanpa kehilangan penglihatan pada Tuhan. Apa yang kamu lihat bukanlah kekayaan material, tetapi pencapaian spiritual yang besar.” Lalu guru itu menambahkan, dengan air mata di matanya, “Tetapi dia benar. Seringkali ketika malam di saat aku membuat sup sederhana dari kepala ikan, aku menganggapnya seolah-olah ikan yang utuh!”

Anda tidak di larang untuk menjadi kaya. Tapi, sekali lagi, apa yang akan Anda lakukan dengan kekayaan Anda itu?