Thursday, November 29, 2007

MEMBUKTIKAN KEBERADAAN TUHAN DENGAN NLP

Saya mulai bersentuhan dengan ilmu berpikir sejak tahun 1990. Selain itu saya tipe perenung, sehingga membuat diri saya banyak merenung dan seringkali menggunakan ilmu tentang berpikir untuk menyelesaikan masalah-masalah yang saya hadapi waktu itu. Hal ini kemudian membawa saya sebagai seorang konsultan tentang penanganan berbagai masalah psikologi sejak tahun 1992. Daftar klien saya waktu itu adalah teman-teman saya, yang kemudian meluas kepada temannya teman saya.

Pada tahun 1997, saya kemudian mulai secara serius mendalami ilmu tentang berpikir ini, saya semakin menyukai dan mendalami ilmu tentang logika dan filsafat yang bersifat holistik. Kesukaan saya tentang dunia berpikir dan proses pengembangan diri membuat saya kemudian berkenalan dengan NLP pada tahun 2002, yang saya kenali setelah mempelajari metode belajar-mengajar Accelerated Learning. Ketertarikan saya tentang ilmu berpikir ini membuat saya begitu senang dengan NLP dan mendalaminya, hingga membuat saya sempat belajar kepada Bapak Ronny F.R. seorang praktisi NLP yang juga master practitioner NLP.

Dalam proses itu ternyata saya menemukan bahwa apa yang saya pelajari dalam logika dan filsafat holistik memiliki landasan yang kurang lebih sama dengan NLP yang saya pelajari. Dalam logika dan filsafat, hal pertama yang menjadi fokus perhatian adalah mengetahui secara logis dan realistis tentang parameter kebenaran.

Oleh sebab itu, membuktikan keberadaan Tuhan haruslah dimulai dengan mengetahui kerangka berpikir secara benar. Bagaimana cara kita mengetahui sesuatu benar atau salah, adalah pembahasan utama kerangka berpikir tersebut. Mengenai kerangka berpikir tersebut, insyaAllah akan kita bahas dalam sebuah tulisan tersendiri. Kali ini kita akan mencoba membuktikan keberadaan Tuhan dengan menggunakan salah satu tools NLP.

Sebelum kita membahasnya, pertanyaan paling utama yang pertama kali harus kita lontarkan adalah: Untuk apa sih kita harus membuktikan keberadaan Tuhan? Ngapain harus repot-repot untuk dibuktikan? Sebenarnya jawaban untuk pertanyaan ini akan semakin mudah dimengerti ketika kita telah membahas tentang kerangka berpikir. Namun, terdapat sebuah analogi sederhana yang dapat kita pakai untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Sekiranya saya dan Anda ketemu, tidak peduli pada pertemuan pertama atau pada pertemuan yang sudah berkali-kali, kemudian dalam pertemuan tersebut saya berkata kepada Anda, ”Eh, tahu nggak? Sewaktu tadi saya berjalan kemari, saya ketemu dengan seorang manusia biasa tapi memiliki jumlah kepala sebanyak seratus kepala, jumlah tangannya lima, dan kakinya terdiri dari sepuluh buah kaki.” Apa reaksi Anda? Apapun reaksi Anda, maka cuma ada dua reaksi utama, yaitu percaya dan tidak percaya. Anda pilih yang mana? Dalam masyarakat modern yang kita jalani saat ini, maka sudah tentu reaksi tak percaya itu akan segera muncul. ”Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Coba buktikan kepada saya kebenaran informasi tersebut?” ungkap Anda. Masyarakat modern memiliki sebuah keyakinan bahwa segala sesuatu itu harus dibuktikan kebenarannya baru kemudian dianggap benar secara sah. Nah, bagaimana dengan Tuhan?

Sebelum Anda buru-buru menjawab, saya ingin mengajak Anda untuk melihat hal ini secara lebih luas. Dalam dunia sains dan teknologi, sebuah informasi dapat disebut benar jika sudah terbukti benar, dan biasanya dunia sains dan teknologi akan menggunakan parameter empiris untuk membuktikan sebuah kebenaran informasi. Artinya informasi tersebut haruslah dapat kita lihat secara empiris baru kemudian dapat dibenarkan (sekali lagi, mengenai parameter kebenaran akan kita bahas pada kerangka berpikir, mohon doanya!). Itulah sebabnya dalam dunia sains, khususnya pada masa-masa awal kejayaan sains dalam peradaban manusia, kebenaran akan Tuhan itu dinafikan dan tidak dianggap sebagai mutlak ada, karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Mengenai hal ini, Anda bisa membaca sejarah peradaban sains, setelah berhasil melalui abad kegelapan.

Bagi kita yang sudah beragama, maka keberadaan akan Tuhan sudah tidak dipertanyakan lagi. Namun, sudah tentu hal ini akan sedikit mengganjal di hati, karena begitu banyak hal yang selalu kita pertanyakan kebenarannya, tetapi ketika berbicara tentang Tuhan, maka kebanyakan dari kita bersifat dogmatis. Saya mohon kepada Anda yang membaca untuk tidak segera buru-buru marah kepada saya, karena sedikit pun saya tidak bermaksud untuk mempengaruhi keyakinan Anda tentang keberagamaan Anda. Apa yang saya tulis ini hanya sekedar merupakan jawaban atas tantangan para ilmuwan yang selalu menggunakan empirisme sebagai parameter keabsahan sesuatu. Dan ternyata NLP yang saya pelajari memiliki basic yang sama dengan logika-filsafat holistik yang dulu saya pelajari. Itulah sebabnya saya akan menggunakan salah satu tools NLP untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Sebenarnya ada dua cara umum untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu hushuly dan hudhury. Kedua cara itu adalah dua bentuk metode dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Seandainya saja Anda tidak tahu yang namanya gula pasir, maka ketika Anda mendengar tentang gula pasir, Anda tentu akan menanyakan: ”Apa itu gula pasir?” Kemudian ada seseorang yang kemudian menjelaskan kepada Anda tentang gula pasir dengan cara seperti ini: gula pasir itu warnanya putih, rasanya manis, ia berbentuk seperti pasir sehingga disebut gula pasir. Penjelasan seperti ini sudah cukup menggambarkan kepada Anda tentang ”apa itu gula pasir” hanya saja belum sampai pada kejelasan sempurna. Nah, penjelasan seperti ini disebut dengan hushuly, yaitu menjelaskan sesuatu dengan menggunakan media atau perangkat penghubung, bukan dengan ”merasakan” langsung gula pasir tersebut.

Bagaimana kalau Anda bertanya, ”Apa itu gula pasir?” Kemudian seseorang menjelaskan kepada Anda dengan langsung ”menghadirkan” gula pasir di hadapan Anda. Anda ”melihat” secara langsung gula pasir tersebut, bahkan dapat ”merasakan” gula pasir tersebut. Dengan cara seperti ini, maka tidak perlu susah-susah lagi menjelaskan secara argumentatif tentang gula pasir, karena gula pasir tersebut telah langsung ”hadir” kepada Anda. Metode ini disebut dengan hudhury, yaitu ”menghadirkan” langsung sebuah pengetahuan kepada diri sendiri. Mengenai cara hudhury ini, Jalaluddin Rumi mempunyai sebuah metafora yang menjelaskan kepada kita bagaimana membuktikan Tuhan dengan cara ”kehadiran”. Metafora tersebut digambarkan Rumi dalam bentuk sebuah cerita berikut ini:

Pernah dua orang, Cina dan Yahudi, menghadap Sultan. Kedua orang tersebut mengakui kehebatan diri mereka masing-masing di hadapan sang Sultan. Orang Cina mengatakan, ”Kami perupa yang lebih utama.” Orang Yahudi pun tak mau mengalah dan berkata, ”Punya kamilah semua yang istimewa.”

Akhirnya sang Sultan pun memberikan perintah kepada mereka untuk membuktikan mana diantara hiasan mereka yang paling indah. Akhirnya mereka diberikan dua buah ruangan yang berhadapan satu dengan yang lainnya. Kesepakatan yang terjadi adalah bahwa mereka berdua harus menghias ruangan mereka masing-masing. Ruangan mana yang paling indah maka itulah pemenangnya. Orang cina berkata kepada Sultan, ”Berikan kepada kami seratus warna!” Sultan pun membuka gudangnya dan berkata, ”Apapun yang kau butuhkan untuk menghias ruanganmu ada di sana. Ambillah apapun yang kau butuhkan.” Di pihak lain, orang Yahudi itu berkata kepada Sultan, ”Kami tidak butuh warna, tidak perlu cat. Untuk karya kami, kami hanya butuh kaus penghilang karat.”

Maka dimulailah perlombaan menghias ruangan itu. Keduanya menutup ruangan mereka masing-masing, agar mereka bisa menghias ruangan dan memberikan kejutan kepada Sultan. Orang Cina pun menghias ruangan dengan berbagai perhiasan yang Sultan sediakan kepada dirinya. Begitu cantik dan mempesona seluruh hiasan dalam ruangan orang Cina tersebut. Sedangkan dalam ruangan orang Yahudi, setiap hari ia hanya menggosok ruangan itu dengan penuh telaten. Ia membersihkan seluruh bagian dari ruangan itu dan menggosoknya hingga tampak mengkilap seperti layaknya cermin.

Akhirnya tiba jualah hari yang mendebarkan itu. Kedua orang tersebut telah selesai menghias ruangan mereka masing-masing. Pada kesempatan pertama, Orang Cina pun kemudian menyibak tirai yang menutupi ruangannya sehingga nampak oleh Sultan sebuah pemandangan yang begitu indah dan luar biasa. Belum pernah dalam hidup Sultan, ia melihat ruangan yang secantik dan seindah itu. Sultan begitu takjub dengan keindahan ruangan orang Cina tersebut. Dan kini tibalah giliran orang Yahudi tersebut untuk menyibakkan tirai yang menutupi ruangannya. Pada saat orang Yahudi itu menyibak tirai ruangannya, tidak nampak satu pun perhiasan dalam ruangan tersebut, namun karena begitu mengkilapnya ruangan tersebut sehingga seluruh keindahan yang ada pada ruangan sebelah (ruangan orang Cina) terpantul dengan sangat indah pada ruangan orang Yahudi. Apa yang terlihat indah dalam ruangan orang Cina menjadi semakin indah dalam pantulan sempurna pada ruangan orang Yahudi. Hal inilah yang kemudian membuat Sultan memberikan kemenangan kepada orang Yahudi, yang ternyata adalah seorang sufi yang telah membersihkan hatinya dari berbagai kotoran sehingga dapat memantulkan cahaya Ilahi.

Apa yang digambarkan oleh Rumi adalah bahwa untuk membuktikan keberadaan Tuhan yang paling sempurna adalah dengan cara membersihkan hati, agar Tuhan menjadi ”nampak” pada diri kita. Anda dan saya adalah makhluk yang nyata, tetapi kita tidak akan bisa melihat ”penampakan” diri kita sendiri kecuali dengan dua cara: hushuly atau meminta kepada orang lain untuk menceritakan kepada kita bagaimana rupa kita. Mereka bisa menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk mata, hidung, mulut, dan rupa kita. Atau bisa juga dengan hudhury atau ”melihat” sendiri ”penampakan” diri kita sendiri melalui cermin. Dengan cermin kita bisa ”melihat” sendiri ”penampakan” diri kita. Tapi bagaimana mungkin kita bisa ”melihat” diri kita kalau cermin yang kita pakai adalah cermin yang penuh dengan debu, karat, dan kotoran. Kita harus membersihkan cermin itu terlebih dahulu.

Ini pulalah yang menjadi inti dari membuktikan keberadaan Tuhan secara hudhury, yaitu melalui pembersihan cermin hati, sehingga Tuhan menjadi ”nampak” oleh kita, karena Tuhan itu sangatlah nyata bahkan lebih nyata dibandingkan diri kita sendiri. Hanya dengan cermin hati yang bersih, kita dapat membuktikan keberadaan Tuhan secara hudhury. Alasan ini pulalah yang membuat sebuah kalimat berikut ini menjadi sangat bermakna: Satu-satunya yang harus kita ubah di muka bumi ini adalah diri kita sendiri. Karena jalan menuju Tuhan adalah dengan mengenali diri sendiri, membersihkan cermin hati, agar Tuhan menjadi ”nampak” bagi kita.

Kita sudah melihat metode hudhury, maka mari kita melihat metode hushuly. Kalau Anda mempelajari NLP, maka sudah tentu Anda akan mempelajari tentang CHUNKING. Terdapat dua jenis chunking, chunking up dan chunking down. Dalam logika dan filsafat holistik yang pernah saya pelajari juga terdapat pembahasan tentang chunking ini, hanya saja memiliki penamaan yang berbeda. Chunking up biasa juga diistilahkan dengan pahaman universal, sedangkan chunking down diistilahkan dengan pahaman partikular.

Apa itu chunking? Mari kita lihat dengan contoh berikut ini: misalkan kita mengambil sebuah kata, yaitu ”mobil”. Jika chunking down kata ”mobil” tersebut, maka akan akan semakin banyak derivat dan perbedaannya, yaitu mobil warna biru, mobil warna merah, mobil warna hitam, dan mobil warna lainnya. Semakin chunking down maka semakin banyak jumlahnya dan perbedaannya. Dengan kata lain akan semakin plural dan majemuk. Mobil warna merah saja jika di chunking down memiliki jumlah yang semakin banyak lagi, yaitu mobil merah merk X, mobil merah merk Y, dan mobil merah merk lainnya.

Karena semakin ke bawah semakin banyak dan berbeda, maka chunking down ini juga disebut sebagai meta model. Kita hanya bisa mengklarifikasi sebuah masalah hanya jika kita bisa semakin membuat perbedaan diantara masalah yang disebutkan. Semakin berbeda juga akan membuat kita semakin mudah melihat apa yang dimaksud. Sebagai contoh: Anda diminta untuk mencari mobil teman Anda yang hilang. Akan sangat susah jika teman Anda itu hanya memberitahu kepada Anda bahwa mobilnya yang hilang itu adalah mobil berwarna merah. Anda pasti pusing kan, karena dalam hati Anda akan berkata, ”Mobil merah yang kayak bagaimana? Mobil warna merah itu kan banyak.”

Anda dan saya juga adalah makhluk yang berbeda jika kita semakin chunking down. Menurut saya chunking down sebaiknya hanya digunakan untuk meta model atau mengklarifikasi sebuah masalah, dan tidak digunakan untuk membuat sekat dan perbedaan antara sesama manusia, karena semakin down semakin berbeda dan majemuk.

Jika chunking down akan semakin meta model, semakin berbeda, dan majemuk; maka chunking up akan semakin Milton, semakin sedikit, dan semakin abstrak (tapi nyata). Saya kira kita tidak perlu memberi contoh lagi, karena Anda sudah bisa membuat chunking up hanya dengan contoh chunking down di atas. Kenapa juga disebut semakin ke atas semakin Milton? Alasan sederhanya, ya karena kata-kata yang semakin chunking up adalah kata-kata yang memiliki kesamaan makna untuk setiap orang. Semakin ke atas kita justru semakin sama. Merk apapun sebuah mobil, mereka memiliki kesamaan yaitu sama-sama berwarna merah. Dan kata-kata jenis inilah yang paling sering digunakan untuk menghipnosis seseorang. Cara ini seringkali dipakai oleh seorang pakar hipnosis, Milton Erickson. Itulah sebabnya sering juga disebut semakin up (ke atas) semakin Milton.

Kita sudah membahas secara sederhana tentang chunking up dan chunking down. Dengan tools ini dapat pula kita buktikan keberadaan Tuhan. Anda sudah melihat bukan, bahwa semakin down maka semakin berbeda dan majemuk. Anda bisa mulai dengan apa saja, yang kemudian Anda lakukan chunking down, maka akan semakin terlihat perbedaan dan memiliki tingkat jumlah yang banyak. Tadi kita sudah memakai contoh mobil, Anda bisa memulai dengan contoh apa saja. Jika kita sedikit merenung, maka dapat pula kita katakan bahwa setiap perbedaan di antara kita dan apapun yang ada di alam semesta ini adalah gambaran dari kemajemukan kita di alam semesta ini.

Dan begitu juga sebaliknya, kemajemukan ini akan menuju ketunggalan jika kita melakukan chunking up. Di mulai dari mana saja setiap detil perbedaan, ketika dilakukan chunking up maka akan selalu menuju yang sedikit. Jika kita melakukan chunking up pada setiap detil perbedaan yang ada di alam semesta ini, maka kita pada akhirnya akan berjalan dari perbedaan dan kemajemukan menuju pada kesamaan dan ketunggalan.

Ternyata setiap perbedaan dan kemajemukan ini berujung pada kesamaan dan ketunggalan. Kita semua berasal dari yang sama, dan yang sama itu ternyata tunggal. Dalil tentang ketunggalan ini dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Mudah bukan? Terserah orang mau menyebut apa pada sumber ketunggalan ini, yang jelas semakin kita ikuti chunking up ini, maka pasti akan berujung pada satu sumber ketunggalan. Ini juga merupakan argumentasi, kenapa bisa dari satu Tuhan bisa melahirkan kemajemukan.

Jika semakin down kita akan semakin menemukan pembanding, maka semakin up kita akan menemukan kesamaan dan ketunggalan, yang pada akhirnya kita tidak akan menemukan pembanding. Adakah pembanding bagi Tuhan? Tentu saja tidak, karena tidak ada satu pun yang serupa dengan diri-Nya.

Argumentasi ini merupakan argumentasi sederhana dalam membuktikan keberadaan Tuhan, karena secara rasional dan argumentatif kita mengetahui dengan pasti dan benar bahwa ketika kita melakukan chunking up, maka pasti berujung hanya pada yang sedikit dan akhirnya pada ketunggalan semata. Argumentasi ini mirip dengan sebuah silogisme induktif. Kita tahu bahwa Si A telah mati. Si B juga telah mati. Si A sama dengan Si B, sama-sama manusia, sama dengan manusia lainnya; maka kita tahu jika Si A dan Si B bisa mati maka manusia yang lainnya pun pasti mati. Dan ini benar secara rasional dan argumentatif, sehingga kita tidak perlu lagi harus membuktikan secara empiris satu per satu manusia di muka bumi ini bahwa mereka bisa mati atau tidak. Artinya jika semakin down semakin berbeda dan majemuk, maka secara rasional dan argumentatif kita juga tahu bahwa semakin up pasti semakin sedikit dan menuju ketunggalan.

Walhasil, ini adalah salah satu argumentasi sederhana dalam membuktikan Tuhan secara hushuly. Argumentasi ini sudah cukup kuat untuk membuktikan keberadaan Tuhan, walau masih memiliki satu kelemahan mendasar, yaitu kita masih menggunakan logika induktif, kita masih membuktikan Tuhan dengan menggunakan makhluk. Kita melakukan chunking up tentunya dimulai dengan adanya perbedaan dari setiap makhluk, dan terdapat pula satu argumentasi sederhana bahwa Tuhan itu tidak memerlukan makhluk sedikit pun; jadi bagaimana mungkin keberadaan Tuhan harus didasari dari keberadaan makhluk. Karena jika argumentasi ini digunakan, maka secara logis harus kita katakan bahwa makhluk harus ada terlebih dahulu baru Tuhan itu ada. Sebab kita telah membuktikan keberadaan Tuhan melalui chunking up terhadap makhluk terlebih dahulu. Dan ini tentu saja tidak benar karena adalah mustahil makhluk ada terlebih dahulu baru ada pencipta-Nya. Oleh sebab itu kita harus menggunakan argumentasi yang lain lagi, yang lebih kuat lagi, dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Dan semoga itu bisa kita bahas pada lain waktu.

Monday, November 19, 2007

AMBILLAH KEPUTUSAN SAAT BAHAGIA

Kemarin saya baru saja berbicara di hadapan anak-anak sebuah SMA Islam di Makassar. Saya berbicara tentang Holistic Learning kepada mereka. Terdapat satu hal menarik yang saya sempat sharing dengan mereka, yaitu sebuah teknih sederhana yang sangat ampuh untuk melakukan sebuah perubahan ke arah yang positif. Saya berbagi dengan mereka mengenai teknik afirmasi yang dahsyat untuk meningkatkan citra diri mereka.

Sebenarnya teknik ini bukanlah sebuah teknik yang baru dan bahkan sering dilakukan juga oleh kebanyakan orang. Namun ada hal yang sangat berbeda ketika dilakukan oleh kebanyakan orang, yaitu teknik ini sering dilakukan tanpa disadari dan yang kedua, teknik sering dipakai untuk hal-hal yang negatif dan tidak bermanfaat untuk perkembangan diri.

Teknik apakah itu? Sabar dong, nanti Anda juga akan mengatakan bahwa itu sih teknik yang sering saya lakukan. Ok, mari kita lihat teknik ini. Tapi saya ingin mengajak Anda untuk melihat pemakaian teknik ini pada kebanyakan orang, yang pemakaiannya untuk hal-hal yang negatif.

Saya sering sekali melihat seorang laki-laki atau seorang perempuan yang lagi mengalami masalah dengan pacarnya, atau ada yang malah putus dengan pacarnya. Apa yang sering mereka lakukan? Dalam kondisi emosi marah, kesal, jengkel, dan sakit hati yang memuncak, mereka sering mengambil sebuah keputusan yang keliru dan negatif. Sang laki-laki sering mengatakan, ”Perempuan suka ngatur” dan perkataan yang sejenisnya. Seringkali malah over generalisasi dengan mengatakan, ”Semua perempuan sama menjengkelkan”. Sang perempuan sering tak mau kalah dengan mengatakan, ”Laki-laki suka bikin sakit hati” atau over generalisasi ”Semua laki-laki ndak ada yang bisa dipercaya”.

Perkataan-perkataan seperti itu bukan hanya sekedar sebuah kata-kata, seringkali adalah sebuah keputusan. Yang lebih parah lagi adalah keputusan itu sering diambil pada level bawah sadar, keputusan itu sering diambil tanpa disadari. Hal ini bukan saja terjadi terhadap orang yang lagi pacaran, tapi juga sering terjadi pada pasangan suami-istri. Banyak pasangan suami-istri yang hubungannya menjadi semakin tidak harmonis, karena seringnya mengambil kesimpulan-kesimpulan dari adanya beberapa konflik. Dan kesimpulan itu tanpa disadari telah menjadi sebuah keputusan, dan kemudian menjadi belief system. Jika sudah demikian, maka tak heran, selalu saja ada beberapa perubahan perilaku tertentu yang terjadi ketika berhadapan lagi dengan suami atau istri. Dan ini akibat dari sebuah keputusan yang diambil di saat emosi negatif yang memuncak, dan kemudian menjadi belief system.

Jika kita melihat dalam skala yang lebih luas lagi, keputusan negatif ini sering terjadi bukan saja pada sebuah hubungan lain jenis, tapi juga terjadi pada banyak keadaan. Keadaan itu biasanya mempunyai ciri yang sama, yaitu terjadinya suatu peristiwa yang mengakibatkan terjadinya rasa sakit hati, marah, jengkel, rasa bersalah, dan kepedihan yang memuncak. Di saat inilah kebanyakan orang mengambil sebuah kesimpulan atas peristiwa tersebut, dan kesimpulan tersebut tanpa mereka sadari adalah sebuah keputusan yang kemudian terjadi peng-instalan dibagian belief system mereka. Walhasil, dari hal inilah terjadi sebuah perubahan perilaku tertentu yang tentu saja akan bersifat alami bagi sang pengambil keputusan.

Saya katakan perilaku tersebut bersifat alami, karena perubahan perilaku itu tidak disadari oleh sang pengambil keputusan. Mari kita lihat sebuah contoh! Begitu banyak orang yang ketika melakukan sesuatu sering mengalami kegagalan. Seringnya kegagalan yang dialami mengakibatkan emosi negatif terpicu dan mencapai kondisi puncak. Di saat inilah sering diambil sebuah kesimpulan dan kemudian menjadi sebuah keputusan yang tidak disadari, yaitu ”Apapun yang saya lakukan pasti gagal lagi.” Keputusan ini sering diambil tanpa disadari, dan karena tidak disadari maka perubahan perilakunya pun akan tidak disadari dan dianggap sebagai sesuatu yang alami dan wajar. Apa perubahan perilaku yang terjadi? Seringkali sang pengambil keputusan akan melakukan respon menolak jika menghadapi lagi sebuah usaha. Respon menolak ini sering dilakukan secara wajar dan alami. Entah kenapa, selalu saja muncul rasa takut gagal, yang kemudian memicu respon menolak. Dan jika ada yang mengatakan, ”Kenapa sih, kamu takut gagal?” Maka akan sering dijawab dengan jawaban yang bersifat pembelaan terhadap diri sendiri dan tidak mengakui bahwa sudah terjadi sebuah perubahan perilaku pada dirinya.

Inilah keputusan-keputusan yang diambil dari berbagai rangkaian peristiwa yang memicu emosi negatif yang memuncak. Jika ada keputusan negatif dan tidak bermanfaat, adakah keputusan yang positif dan bermanfaat? Jawabannya adalah ada. Sederhana saja, jika ada sebuah peristiwa yang memicu emosi negatif yang memuncak, tentu saja dalam kehidupan kita juga ada peristiwa yang memicu emosi bahagia yang memuncak. Dan jika selama ini begitu banyak orang yang jarang mengambil keputusan disaat bahagia, maka cobalah untuk membuat sebuah kebiasaan baru, yaitu mencoba mengambil keputusan penting dan bermanfaat disaat merasakan kebahagiaan yang memuncak. COBALAH!

Wednesday, November 14, 2007

TIDAK MELEKAT KEPADA TUJUAN

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengaktifkan ”the secret” adalah bersikap pasrah. Ketika berbicara tentang pasrah ini saya banyak sekali mendapatkan defenisi yang agak keliru. Pasrah pada umumnya selalu diartikan sebagai ”Yah, sudahlah. Mau bagaimana lagi?” Selalu saja diartikan sebagai suatu keadaan ketika kita menemui jalan buntu, keadaan dimana sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat.

Oleh sebab itu, banyak orang kemudian mengusung sebuah defenisi baru tentang pasrah, yaitu tidak melekat kepada tujuan. Sering juga diartikan sebagai ”tidak memikirkan apa yang menjadi tujuan ketika tujuan itu sudah ditetapkan”. Dengan kata lain, ketika Anda sudah menetapkan sebuah keinginan, maka usahakanlah agar Anda tidak lagi memikirkan keinginan itu, Anda harus melepaskannya, atau tidak melekat kepada tujuan.

Saya sendiri ingin mengartikan defenisi pasrah itu dengan menguraikan sebuah kisah sufi yang luar biasa. Kenapa demikian? Dalam ilmu logika untuk mencapai defenisi sempurna itu adalah sangat sukar. Oleh sebab itu, ada cara lain untuk mendefenisikan sesuatu dengan cara yang relatif mudah, yaitu melakukan analogi. Nah, analogi ini bisa saja dalam bentuk cerita. Dan inilah defenisi saya tentang pasrah yang saya coba analogikan dalam bentuk cerita di bawah ini:

Pada suatu hari, Nabi Musa a.s. bermaksud menemui Tuhan dibukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, ”Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!”

”Baik”, kata Musa. Ketika melanjutkan perjalanannya, dia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. ”Mau kemana? Tolong tanyakan kepada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah shalat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.

Ketika kembali dari bukit Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, ”Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, ”Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, ”Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar hal itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.

”Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.

Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: ”Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apapun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan Aku senang kepadanya.”

Coba Anda bayangkan jika Anda memiliki seorang teman. Teman Anda sudah merasa terlalu banyak menolong Anda, sehingga membuat teman Anda merasa bahwa ia layak mendapat bantuan Anda jika diperlukan. Dan ternyata Anda hanya bisa memberikan bantuan seadanya kepada teman Anda tersebut. Apa yang biasa terjadi? Teman Anda kemungkinan besar akan merasa dongkol karena bantuan yang Anda berikan tidak impas dengan pertolongannya selama ini. Ketika Anda mendengar keluhan teman Anda tersebut, maka kemungkinan besar pun Anda akan marah dan jengkel sambil berkata, ”Ini orang, syukur sudah saya tolong. Masih belagu lagi. Memangnya hanya dia yang sering menolong saya. Saya pun sudah terlalu sering menolong dirinya.”

Tapi, jika teman Anda tersebut tidak mempersoalkan seberapa besar bantuan yang Anda berikan, maka hati Anda pun akan merasa tenang dan semakin suka dengan teman Anda tersebut.

Jika pada diri kita saja, sering kali kita merasa jengkel jika seseorang yang kita tolong merasa tidak cukup jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukannya selama ini, maka masa kita harus merasa bahwa Tuhan harus membayar semua amal yang telah kita lakukan. Emangnya siapa diri kita ini?

Andaikan pun kita tidak pernah beramal saleh sedikit pun, Tuhan selalu memberikan sesuatu kepada kita. Kita masih bisa hidup dan bernafas saja merupakan salah satu anugerah Tuhan yang paling besar, yang jika kita bayar dengan apapun kita tidak akan sanggup. Kenapa tidak akan sanggup? Coba Anda cari orang di muka bumi ini yang menjual ruh dan jiwa, dimana Anda akan membayar Tuhan sebagai pengganti ruh dan jiwa yang telah Tuhan berikan kepada Anda. Tapi kalau bisa onderdil ruh dan jiwa yang akan Anda bayar harus sama ya dengan yang Tuhan berikan. Mau cari dimana???

Begitu banyak orang yang merasa telah berbuat segalanya, sehingga merasa pantas mengharapkan sesuatu kepada Tuhan. Ia ingin memaksa Tuhan untuk melayani segala keperluannya karena merasa telah berbuat amal kepada Tuhan. Padahal kita juga tahu bahwa tidak ada satu pun amal yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkan sesuatu dari kita. Amal yang kita lakukan adalah semata-mata hanya untuk kita. Jadi, atas dasar apa bahwa Tuhan harus melayani kita karena merasa telah berbuat amal baik.

Inilah makna pasrah yang tergambarkan dalam kisah sufi di atas. Pasrah dapat kita gambarkan sebagai perbuatan baik yang terus-menerus, tidak peduli bahwa ada balasan atau tidak terhadap perbuatan baik kita, kita selalu merasa senang dan bahagia, kita bersyukur atas apapun balasan yang kita terima.

Jika kita telah menetapkan sebuah tujuan, maka berbuatlah untuk menggapainya, tapi jangan sampai kita merasa telah berbuat segalanya sehingga kita merasa pantas untuk mendapatkan tujuan tersebut, kita merasa harus untuk mendapatkan tujuan tersebut, kita diperbudak oleh tujuan tersebut. Karena jika kita merasa bahwa tujuan tersebut harus kita dapatkan karena merasa telah berbuat segalanya, maka hanya stres dan frustasilah yang akan menimpa kita. Mungkin inilah makna pasrah, yang merupakan bagian penting dari the secret.

Tuesday, November 13, 2007

CITRA DIRI ANAK DAN ORANG TUA

Citra diri sering juga disebut sebagai cermin diri atau apapun persepsi seseorang terhadap dirinya. Ketika berbicara tentang citra diri maka pasti selalu berhubungan dengan diri ideal dan harga diri. Diri ideal adalah penetapan seseorang terhadap apa yang akan terjadi nanti. Diri ideal adalah apa yang diharapkan atau dicita-citakan. Diri ideal, selain ditentukan sendiri oleh sang anak, lebih sering ditentukan oleh orang tua atau lingkungan keluarga dan sekitarnya. Sedangkan harga diri adalah kondisi emosi yang dirasakan oleh seseorang sehubungan dengan citra dirinya sendiri.

Semakin positif citra diri seorang anak, semakin positif pula kondisi emosi yang dirasakan (harga dirinya positif). Jika diri ideal yang diharapkan misalnya adalah mendapatkan nilai 100, maka ketika seorang anak berhasil mendapatkan nilai 100, maka ia akan melihat dirinya sebagai anak yang pandai (citra diri positif). Ketika ia melihat dirinya sebagai anak yang pandai, maka secara otomatis pula ia akan merasa hebat, percaya diri, dan mampu menghadapi persoalan yang sama dengan mudah.

Bagaimana kalau sebaliknya? Jika ia ternyata tidak mendapatkan nilai 100, maka ketika ia melihat teman-teman yang lainnya mendapatkan nilai 100 maka ia akan melihat dirinya sebagai anak yang bodoh. Semakin ia sering memikirkan dirinya yang bodoh, semakin negatif pula emosi yang dirasakannya (harga diri negatif). Ia akan merasa minder, malu, frustasi, dan tidak percaya diri.

Terus apa hubungannya dengan orang tua? Kebanyakan orang tua tidak pernah di didik untuk melihat kegagalan sebagai suatu proses untuk meraih kesuksesan. Kegagalan dipandang sebagai hal yang tabu dan memalukan. Pada dasarnya orang tua yang seperti ini adalah orang tua yang juga memiliki citra diri dan harga diri yang negatif. Karena ia tidak ingin dipermalukan dan merasa malu, maka kebanyakan orang tua akan cenderung menetapkan diri ideal yang terlalu tinggi bagi anak-anaknya. Sang anak akan cenderung diharapkan (lebih tepat dipaksa) untuk selalu memenuhi semua harapan prestasi orang tuanya. Dan sangat sering penetapan diri ideal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya adalah diri ideal yang terlalu tinggi. Semua anaknya harus memenuhi target yang telah ditetapkan setinggi-tingginya.

Apa yang terjadi kemudian? Ketika sang anak berhasil memenuhi target yang ditetapkan, maka orang tua pasti akan merasa bangga. Ia ingin menutupi harga dirinya yang negatif dengan berlindung dibalik prestasi anaknya. Harga dirinya pun akan menjadi positif. Anak-anak yang demikian pastilah anak-anak yang menjadi kebanggaan orang tua, dan sangat disayangi. Jika orang tua bercerita kepada orang lain tentang anak-anaknya, maka dapat dipastikan bahwa hanya anak yang membuat bangga dirinya saja yang paling sering diceritakan. Dengan bercerita kepada orang lain tentang prestasi anaknya, ia ingin menunjukkan bahwa citra diri dan harga dirinya pun menjadi lebih positif.

Ketika sebaliknya yang terjadi, sang anak ternyata belum mampu memenuhi target yang ditetapkan orang tua. Apa yang akan terjadi? Karena pada dasarnya sang orang tua juga memiliki citra diri dan harga diri yang negatif, maka sangat besar kemungkinan semua kesalahan itu akan ditimpakan kepada anaknya. Sang orang tua merasa malu dengan melihat prestasi anaknya yang pas-pasan. Sang orang tua tidak melihat hal itu sebagai bagian dari proses mencapai kesuksesan, tetapi dilihat sebagai penyebab malu di keluarga. Maka sudah dapat dipastikan, sang orang tua akan memarahi anaknya habis-habisan.

Sang anak yang sudah dari awal memiliki citra diri negatif karena melihat prestasinya sendiri yang pas-pasan, kini semakin diperparah dengan omelan dan hinaan yang diberikan oleh orang tuanya. Jenis-jenis omelan yang dilakukan orang tua dapat kita kategorikan sebagai berikut:

  1. Memberi label bodoh pada anak.

Hal pertama yang paling sering diomelkan oleh orang tua kepada anaknya adalah menyebut dirinya bodoh. Semakin sering label bodoh ini disebutkan, maka semakin sering pula penegasan ”bodoh” pada diri sang anak terjadi. Sang anak lama-lama akan semakin percaya bahwa dirinya memang bodoh.

  1. Melakukan perbandingan.

Ketika sudah mengomel habis-habisan dengan memberi label bodoh, maka sering pula diikuti dengan membandingkan anak sendiri dengan anak tetangga, atau anak keluarga sendiri, atau saudara anaknya sendiri. Bisa Anda rasakan bagaimana hancurnya hati seorang anak ketika selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain. Saya sendiri yakin, sang orang tua pun tak suka dibanding-bandingkan oleh anaknya dengan orang tua yang lain.

  1. Membuat kesan tidak mengakui sang anak sebagai anaknya.

”Kamu anak siapa sih? Dulu mama dan papa tidak seperti kamu.” Jenis kalimat ini juga sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya. Tanpa orang tua sadari, jenis kalimat ini akan diartikan oleh pikiran bawah sadar sang anak sebagai tidak diakui dirinya sebagai anak.

Saya hanya menyebutkan tiga jenis gambaran besar omelan yang sering dilakukan orang tua, yang paling sering menjatuhkan citra diri sang anak. Dan kita sudah tahu bahwa ketika citra diri sang anak menjadi negatif, maka harga dirinya pun akan semakin negatif. Sang anak akan semakin tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Tanpa disadari oleh orang tua, kondisi emosi negatif ini justru membuat sang anak semakin tidak dapat ber-prestasi di sekolah. Karena bagaimana mungkin sang anak semakin ber-prestasi di sekolah, jika kepercayaan dirinya sendiri terhadap kemampuannya menjadi hancur.

Friday, November 9, 2007

Citra Diri Sebagai Motivasi Belajar Pada Anak


Sebuah penelitian dari banyak pakar pendidikan terkenal di dunia menyebutkan bahwa citra diri adalah faktor sangat penting dalam dunia pendidikan. Sayangnya, hampir setiap sekolah tidak mengajarkan bagaimana cara menjaga dan meningkatkan citra diri setiap anak di kelas. Bahkan penelitian di Spanyol menyebutkan bahwa prestasi akademik berbanding lurus dengan citra diri yang baik.

Mungkin kabar yang sangat memprihatinkan adalah bahwa ternyata hampir setiap anak memiliki citra diri yang kurang baik, dan ini seringkali dihancurkan oleh para guru dan orang tua. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa citra diri anak, kebanyakan hancur ketika anak menginjak usia pendidikan Sekolah Dasar.

Sungguh ironis bukan? Di satu sisi, para guru dan orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang berhasil, tapi di sisi yang lain, kebanyakan para guru dan orang tua justru menghancurkan citra diri anak mereka.

Citra diri dapat kita gambarkan sebagai cermin diri. Yaitu apa saja gambaran seorang anak terhadap dirinya sendiri. Setiap persepsi anak tentang dirinya, selain berasal dari pendapatnya sendiri juga sangat dipengaruhi oleh pendapat orang lain tentang dirinya, khususnya para guru dan orang tua mereka. Kebanyakan anak memandang dirinya sebagai anak yang bodoh karena lebih sering mendengarkan kata-kata dan penilaian bodoh dari para guru dan orang tuanya.

Apalagi jika sang anak sudah mendapatkan label tidak mampu, maka sang anak pun akan cenderung memandang dirinya sebagai anak yang tidak mampu. ”Yah sudahlah, mau bagaimana lagi. Saya ini kan bodoh”, demikian batin hampir kebanyakan anak.

Kecenderungan memandang rendah diri sendiri tidak terlepas dan sangat erat kaitannya dengan sistem emosi pada diri. Padahal sistem emosi inilah yang menjadi penggerak bagi proses belajar anak. Jika seorang anak memandang rendah dirinya, maka sudah pasti ia akan memiliki harga diri yang rendah. Secara emosional ia akan merasa minder dan malu. Emosi ini kemudian akan memandu dirinya untuk berhenti berusaha ketika melakukan proses belajar. Padahal sebuah proses belajar adalah proses yang bersifat pengulangan dan senantiasa menuntut kita untuk selalu mencoba hal-hal yang baru dan belajar dari setiap kegagalan. Artinya semakin sering kita melakukan pengulangan terhadap objek tertentu (tanpa berhenti berusaha atas setiap kendala yang dihadapi), maka koneksi di otak kita akan semakin menguat, yang pada akhirnya membuat kita menjadi anak yang cerdas.

Namun, bagaimana mungkin proses pengulangan ini akan terjadi jika motivasi dalam dirinya tidak ada. Dan ketiadaan motivasi ini disebabkan karena sistem emosi negatif yang berada dalam dirinya, yang disebabkan oleh citra diri yang buruk.