Thursday, March 13, 2008

BRAINSTORMING VS BELIEF SYSTEM


Beberapa waktu yang lalu, ada seorang klien yang datang ke rumah untuk diterapi. Ia bekerja di sebuah bank terkenal di Indonesia, dan ia di ditempatkan di bagian marketing. Ia datang mengeluh kepada saya dengan sejumlah permasalahannya. Mulai dari ia kurang puas dengan pekerjaannya, ia juga merasa seperti ada yang mengganjal dalam karir kesuksesannya, dan ia datang dengan membawa sejumlah gangguan fisik akibat dari faktor X yang dialami oleh jiwanya. Ia merasakan kepalanya seperti mau pecah dan terasa sakit di bagian belakang kepala, dan ia juga merasa badannya seperti mau sakit-sakit semua. Jika kita menggunakan skala 0 hingga 10, dimana angka 0 menunjukkan bahwa semua hal yang mengganjal hilang sama sekali dan angka 10 mewakili intensitas yang teramat tinggi atas apa yang dialaminya, maka ia berada pada skala 9. Lumayan tinggi juga intensitas masalah yang dialaminya.

Setelah melakukan interview awal dan melakukan analisis awal atas apa yang dialaminya, saya kemudian melakukan terapi dengan memanfaatkan kondisi hypnosis pada dirinya. Dengan menggunakan Jembatan Perasaan, saya mencoba melacak akar permasalahan yang dialaminya. Ternyata yang menghambat karir kesuksesan dan pekerjaannya adalah ia merasa kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Pada umur 3 tahun ayah dan ibunya telah bercerai. Pada umur ini ia belum mengetahui apa-apa, hingga pada usia 4 tahun ibunya kemudian memberitahu kepada dirinya bahwa ibunya telah berpisah dengan ayahnya. Hingga ia dewasa boleh dihitung jari ia bertemu dengan ayah kandungnya, itupun lebih sering ia diberi uang kemudian meninggalkan dirinya lagi. Ibunya menikah lagi dan ayah tirinya menolak ia untuk tinggal bersama mereka di rumahnya. Akhirnya ia dititipkan sama neneknya yang kemudian merawat dirinya.

Karena kurangnya kasih sayang dari ayah dan ibu, ia lebih sering bermain bersama dengan teman-temannya. Hanya sang nenek yang masih sering menasehatinya dan memperhatikan dirinya. Namun hal ini pun menjadi tidak cukup karena neneknya meninggal dan ia akhirnya merasa tak punya siapa-siapa lagi. Mungkin karena hanya sering bergaul dengan teman-temannya, ibunya memandang remeh dan nakal kepada dirinya. Hingga suatu ketika ia pulang ke rumah dan meminta kepada ibunya untuk kuliah, namun ditanggapi oleh ibunya dengan ucapan yang pesimis. Ia bahkan diberi label “anak yang tidak akan bisa berubah” oleh ibu dan tantenya.

Merasa tidak diperhatikan dan sikap ibunya yang sering pesimis terhadap dirinya dan bersikap dingin terhadap kawan-kawannya yang datang ke rumah, akhirnya menciptakan emosi yang menghambat dirinya. Perasaan ini kemudian telah menjadi belief system dalam dirinya. Ia ingin membuktikan dirinya bahwa ia bisa, tetapi belief system ini sering mengganggunya dengan perasaan-perasaan yang tidak nyaman.

Hal ini kemudian memicu dirinya untuk pesimis dalam memandang hidup ini dan bingung tidak tahu harus melakukan apa, ditambah dengan suasana kerja yang menurut dia tidak kondusif. Ia ingin pindah tapi takut jangan sampai tidak ada lagi yang mau menerimanya bekerja dalam kondisi saat ini.

Akhirnya saya berhasil me-release dirinya. Selain menggunakan kondisi ter-hypnosis sebagai terapi, saya juga menggabungkannya dengan metode EFT. Akhirnya dari skala 9, sekarang telah menjadi 0. Saya ikut bahagia dengan kebahagiaan yang dialaminya. Setelah diterapi, ia mengaku bahwa rasa sakit kepalanya hilang, dan seluruh badannya menjadi lebih segar lagi. Ia menjadi lebih yakin dalam menatap masa depannya. Ia mampu me-release emosi pada dirinya ketika berbicara tentang suasana kerja yang tidak kondusif.

Sebenarnya kisah klien yang saya hadapi ini menjadi pengantar untuk sebuah kisah lain yang saya alami dengan sebuah bank terkenal di Indonesia. Waktu itu saya dihubungi oleh bagian manajemen bank tersebut untuk melakukan workshop di bank tersebut. Alasan saya dipanggil adalah karena standar layanan di bank tersebut kurang memuaskan. Walaupun dari sisi keuntungan bank tersebut masuk dalam jajaran atas, namun kualitas layanan customernya justru masuk dalam jajaran bawah.

Sudah berbagai cara mereka lakukan untuk meningkatkan standar layanan, mulai dari sosialisasi standar layanan ke seluruh cabang hingga memberikan reward kepada frontliners. Bahkan mereka sering mengundang pembicara motivasi papan atas untuk memberikan motivasi agar setiap frontliners mau meningkatkan standar layanannya. Anda bisa membayangkan berapa banyak biaya yang telah mereka keluarkan. Belum lagi pembicara motivasi papan atas ini bayarannya lumayan tinggi. Namun, kata mereka, peningkatan yang terjadi hanya sedikit sekali.

Karena saya adalah pembicara yang baru bagi mereka, maka saya diminta untuk memberikan presentasi materi kepada middle manajemen terlebih dahulu baru kemudian kepada top manajemen untuk disetujui atau tidak. Sebenarnya presentasi ke middle manajemen hanya untuk menemukan satu kata yang harus dibicarakan nanti kepada top manajemen. Jadi presentasi yang sebenarnya adalah kepada top manajemen nantinya. Setelah presentasi kepada middle manajemen, saya kemudian dijanji akan dihubungi secepatnya untuk melakukan presentasi kepada top manajemen. Tetapi apa yang terjadi? Hingga saat ini saya belum dihubungi untuk melakukan presentasi kepada top manajemen seperti yang mereka janjikan. Kenapa? Hal inilah yang akan saya kupas dalam artikel sederhana ini.

Sebagai seorang yang mendalami mindset, saya mempelajari dunia pikiran dengan segala macam tools untuk melakukan perubahan. Saya percaya bahwa ketika kita merubah persepsi kita atau merubah mindset kita terhadap sesuatu, maka kita pun bisa berubah. Dan setelah mendalami dunia pikiran untuk waktu 10 tahun lamanya, ternyata untuk merubah mindset itu gampang-gampang susah atau susah-susah gampang. Susah kalau tidak tahu caranya, dan gampang kalau tahu caranya. Nah, untuk mengetahui caranya ini, kebanyakan orang masih belum mengetahuinya. Kebanyakan pembicara motivasi hanya mengandalkan sebuah kisah inspirasi untuk membantu membentuk kesadaran baru. Sebuah inspirasi, apalagi kisah inspirasi yang mirip dengan kejadian yang kita alami memang membantu membentuk mindset kita (dan ada yang betul-betul berubah dengan mendengarkan sebuah kisah inspiratif), namun bagaimana jika permasalahan yang kita hadapi sangat kompleks seperti kisah klien yang saya ceritakan di atas.

Semua kebiasaan, persepsi, dan belief system yang kita pegang teguh tersimpan sangat rapi di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar ini seperti pilot otomatis, jika kita sudah menentukan koordinat terbang, maka pilot otomatis ini akan terbang menuju titik koordinat yang telah ditentukan. Kalau arah terbangnya sesuai dengan keinginan terbaik kita, ya tidak masalah. Tapi bagaimana jika koordinat yang telah terpasang itu adalah arah yang tidak sesuai dengan harapan-harapan kita. Jika sudah begini, maka sudah pasti kita ingin merubah arah koordinatnya, tapi ternyata fungsi pilot otomatis sudah terkunci sehingga kita tidak bisa lagi untuk mengarahkan arah terbang kita. Kita hanya bisa membuka pengunci pilot otomatis jika kita tahu kunci kombinasi untuk membukanya.

Seperti analogi di atas, kebanyakan orang susah merubah kebiasaannya karena sudah terpasang sebuah software tertentu di belief system mereka yang berada pada level bawah sadar. Itulah sebabnya, ada orang mau berubah tapi kebiasaan tersebut hanya bertahan sejenak dan kemudian kembali lagi ke kebiasaan lama. Ini sama persis dengan kisah klien di atas.

Hal inilah yang saya coba jelaskan dalam presentasi saya kepada middle manajemen. Berbicara tentang standar layanan dapat kita lihat dari dua sisi. Pertama, standar layanan kita lihat sebagai sebuah skill. Artinya kita perlu mengetahui bagaimana melakukan sebuah standar layanan yang terbaik. Bagaimana menghadapi customer dan lain-lain. Setahu saya mengetahui dan mempelajari skill ini pun ada jasa pelatihan yang menawarkan pelatihan standar layanan. Dan saya pikir, hal ini sudah dilakukan oleh bank tersebut, karena merupakan skill wajib yang harus dikuasai oleh frontliners. Selain kita melihat hal ini dari sudut pandang pertama, kita juga perlu melihat dari sudut pandang yang kedua, yaitu sisi kemanusiaan setiap frontliners (mungkin dari sisi inilah saya dipanggil untuk memberikan workshop). Hampir setiap orang sangat termotivasi dalam bekerja ketika ia pertama kali berhasil diterima dan bekerja di sebuah tempat yang menjanjikan. Hal ini mirip ketika kita bergitu bersemangat untuk merubah kebiasaan diri kita, namun biasanya seiring dengan waktu kita kembali lagi ke kebiasaan lama. Dengan kata lain, ketika kita sudah cukup lama bekerja di tempat tersebut, maka motivasi kita pun menjadi down.

Nah, apa yang terjadi dalam sebuah bank jika setiap frontliners sudah menguasai skill standar layanan namun kurang termotivasi untuk melakukannya. Anda bisa membayangkan betapa setiap frontliners membutuhkan kebesaran jiwa untuk menghadapi setiap customer yang beragam. Bahkan apa yang dilakukan setiap frontliners adalah hal yang hampir setiap orang dalam bagian lain di bank tersebut susah melakukannya.

Nah, dari sisi kemanusiaan inilah kita tidak bisa membuat mereka bekerja seperti layaknya mesin. Kita perlu me-release emosi-emosi yang menghambat kinerja mereka, dan untuk melakukan hal ini tidak cukup dengan hanya memaparkan kisah inspiratif. Adanya perbedaan pendekatan inilah yang membuat saya agak sedikit berdiskusi panjang lebar dengan middle manajemen.

Setiap orang tahu bahwa melakukan hal-hal baik itu bagus dan berguna, tapi betapa susahnya kebanyakan orang dalam melakukannya. Terus kita paparkan kisah-kisah inspiratif yang menggugah. Hal ini sangat bagus, tapi berapa banyak orang yang betul-betul berubah dan melakukan hal-hal baik dalam hidupnya. Setiap frotnliners tahu bahwa standar layanan itu sangat penting bagi mereka dan perusahaan, tapi berapa banyak frotnliner yang melakukannya. Misalkan saja kita memaparkan kepada mereka kisah inspiratif dengan mengangkat kisah pelayanan di perusahaan yang lain, apa yang terjadi? Berapa banyak yang berubah?

Pihak middle menginginkan saya melakukan branstorming untuk menggali akar masalah mereka dan kemudian melakukan workshop seperti layaknya jenis-jenis pelatihan yang pernah mereka ikuti. Saya berniat melakukan brainstorming, tapi metode yang saya pakai adalah bagaimana seorang terapis melihat sebuah masalah. Saya bertahan bahwa kita harus mengubah belief system, dan ini berada pada level bawah sadar, tetapi mereka menginginkan pelatihan seperti layaknya pelatihan sebuah skill yang mereka inginkan.

Brainstorming adalah sebuah teknik curah-gagasan yang luar biasa, namun ketika kita sudah berbicara manusia dan permasalahannya, maka kita harus mengacu kepada belief system yang mereka yakini dalam kehidupan mereka. Dan ini membutuhkan workshop yang tidak biasa. Mungkin karena hal inilah saya belum dihubungi, atau ada alasan lain yang belum saya ketahui. Seperti layaknya kisah klien di atas yang juga bekerja di sebuah bank, ketika kita berbicara tentang manusia, maka kita tidak berbicara tentang sebuah robot yang tinggal menerima perintah dari atasan.