Friday, April 24, 2009

KEBIASAAN OPTIMIS DALAM BELAJAR


Hampir semua kenakalan remaja terjadi karena mereka merasa kurang diperhatikan dan disayangi oleh orang tua mereka

- Syahril Syam

Apa yang menyebabkan kebanyakan siswa tidak menyukai belajar? Atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran? Jika pertanyaan ini kita tanyakan kembali pada orang-orang tua, sewaktu mereka masih belajar dulu, apakah masih pantas? Dengan kata lain, kebanyakan orang-orang tua pun tidak menyukai belajar, bukan hanya semasa sekolah dulu, mungkin masih sampai sekarang.


Lantas, apa yang menjadi penyebabnya? Peter Kline mengemukakan sebuah pernyataan menarik: Belajar Akan Efektif Jika Dilakukan Dalam Suasana Menyenangkan. Ini berarti, kegiatan belajar-mengajar akan membosankan dan tidak menarik, kalau tidak tercipta suasana yang menyenangkan. Dari sini dapat kita telusuri lagi dengan sebuah pertanyaan: Kenapa suasana belajar tersebut tidak menyenangkan? Atau kenapa sebuah mata pelajaran bahkan semua itu tidak menarik dan tidak menyenangkan? Buckminster Fuller memberikan jawabannya. Kata beliau, “Setiap anak terlahir jenius, tetapi kita memupuskan kejeniusan mereka dalam enam bulan pertama.” Lho, kok bisa demikian? Bukankah setiap orang tua menginginkan anaknya itu jenius. Lantas apa sebabnya?


Dalam buku The 10 Basic Principles of Good Parenting, Laurence Steinberg menulis tentang sepuluh prinsip dasar dalam mengasuh anak. Pada prinsip yang kedua berbunyi: Anda Tak Bisa Terlalu Mencintai. Prinsip ini banyak dipakai oleh kebanyakan orang. Arti prinsip ini adalah: Anda tak boleh terlalu mencurahkan kasih sayang pada anak, karena hal itu akan membuat dirinya menjadi manja, dan nanti akan sulit diatur. Menurut Steinberg, ini adalah pengasuhan “aliran keras”.


Padahal dalam penelitian ilmiah yang dilakukan dibidang psikologi dan neurosains menunjukkan sebaliknya. Anda tak perlu ragu dalam menunjukkan kasih sayang kepada anak. “Jika anak merasa benar-benar dicintai, mereka mengembangkan rasa aman yang kuat sehingga tidak lagi terlalu menuntut. Sebagai hasilnya, orang dewasa yang paling besar kebutuhan emosionalnya adalah mereka yang tidak menerima cukup cinta orangtua saat kecil atau yang cinta orangtuanya kurang konsisten atau kurang tulus. Orang dewasa tersehat, dan mereka yang mampu mengungkapkan cinta mereka pada orang lain, pastilah mereka yang tumbuh dengan perasaan dicintai secara penuh dan tanpa syarat oleh orangtuanya, bukan mereka yang dipaksa menerima kasih sayang yang kurang lengkap”, demikian ungkap Steinberg.


Ini berarti, bayi belajar paling baik dalam sebuah kondisi ideal, dengan kasih sayang, kehangatan, dorongan, dan dukungan. Bila sikap yang sama berlanjut di sekolah, kecepatan dan kesenangan belajar tadi akan terus berlanjut.


Mari kita lihat lagi, penemuan tak sengaja oleh Harry Balkwin. Beliau menemukan hal yang menakjubkan di Rumah Sakit Bellevue tahun 1931. Semula, sebagaimana kebiasaan rumah sakit waktu itu, bayi dilarang disentuh karena alasan higienis. Balkwin menghapuskan larangan itu dan menyuruh para perawat menyentuh dan menggendong bayi. Ajaib, tingkat infeksi menurun dengan drastis. Sebetulnya bukan sentuhan itu sendiri yang menyembuhkan tetapi rasa bahagia dan cinta yang dirasakan oleh bayi-bayi kecil itu.


Dari sini dapat kita ketahui bahwa, terciptanya rasa bahagia sangat penting, bukan saja terhadap perkembangan fisik anak, tapi juga terhadap perkembangan otak dan emosi anak. Gordon Dryden dan Jeannette Vos mengatakan, “Dalam setiap sistem yang terbukti berhasil – yang kami pelajari di seluruh dunia – citra diri ternyata lebih penting daripada materi pelajaran”. Citra diri yang positif menunjukkan bahwa suasana menyenangkan akan melahirkan optimisme dalam belajar. Selama ini, kebanyakan dari kita terperangkap oleh keyakinan lama dalam mendidik anak, sehingga pertumbuhan emosi anak dalam masa pertumbuhannya terganggu.


Hal inilah yang melahirkan sikap pesimis atau tidak percaya diri dalam belajar, yang melahirkan keengganan untuk memulai suatu pelajaran. Dengan kata lain, kehilangan perasaan bahagia. Coba perhatikan penelitian berikut ini:

Ahli psikologi Al Siebert menjadi berminat pada kepribadian orang-orang yang bertahan hidup ketika ia bergabung dengan pasukan payung setelah baru lulus dari pendidikan tingginya pada tahun 1953. Kelompok latihannya terdiri atas beberapa orang yang bertahan hidup dari sebuah unit yang bisa dibilang musnah di Korea. Ia menemukan bahwa veteran-veteran ini ulet tetapi lebih sabar daripada yang diduganya. Dalam menanggapi kesalahan, mereka biasanya menjadikannya sebagai lelucon bukannya menjadi marah.


Yang lebih penting, tulis Siebert, “Saya mengamati bahwa mereka mempunyai kesadaran yang santai. Mereka masing-masing tampaknya mempunyai semacam radar pribadi yang terus-menerus melacak.” Ia menyadari bahwa bukan hanya nasib mujur yang membuat orang-orang ini mampu mengatasi nasib buruk.


Sepanjang karirnya, Siebert secara kontinyu mengamati mereka yang bertahan hidup. Ia menemukan bahwa salah satu karakteristik mereka yang paling menonjol adalah kompleksitas karakter, suatu paduan dari banyak sifat yang berlawanan yang disebutnya sifat bifasik (berfase dua). Mereka itu serius sekaligus suka melucu, keras sekaligus lembut, logis sekaligus intuitif, suka bekerja keras sekaligus pemalas, pemalu sekaligus agresif, introspektif sekaligus suka bergaul, dan seterusnya. Mereka adalah orang-orang yang penuh pertentangan yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori-kategori psikologis yang lazim. Ini membuat mereka lebih luwes daripada kebanyakan orang, dengan serangkaian sumber-sumber yang lebih luas yang dapat mereka manfaatkan.


Melalui penelitian panjang, Siebert menemukan bahwa mereka yang bertahan itu mempunyai hierarki kebutuhan dan bahwa, berbeda dengan kebanyakan orang, mereka mengejar semua kebutuhan itu. Di mulai dari kebutuhan yang paling dasar, kebutuhan-kebutuhan itu adalah: kelangsungan hidup, rasa aman, penerimaan oleh orang lain, harga diri, dan aktualisasi diri. Namun, salah satu kebutuhan utama yang membedakan mereka dari orang-orang lain adalah lebih dari aktualisasi diri: kebutuhan akan sinergi. Siebert mendefenisikan kebutuhan akan sinergi itu sebagai kebutuhan untuk membuat segala sesuatunya berjalan lancar bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Oleh karena itu, mereka yang bertahan hidup bertindak bukan atas kepentingannya sendiri saja melainkan juga atas kepentingan orang lain, bahkan dalam situasi yang sangat membuat stres. Kadang-kadang mereka tampak tidak terlibat, tetapi mereka adalah “sahabat dalam keadaan yang buruk”. Mereka muncul apabila timbul masalah. Orang-orang seperti ini, biasanya, menafsirkan masalah sebagai pengarahan ulang, bukan kegagalan. Dengan melihat penelitian Siebert ini, memberi pemahaman kepada kita untuk selalu optimis dalam hidup dan senantiasa tidak mementingkan diri sendiri, apalagi jika ada sebuah masalah yang dihadapi. Sebagai penutup, saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah pengalaman nyata yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah:

Ketika Dr. Dan Yunk datang menjabat sebagai kepala sekolah baru di SD Northview di Manhattan, Kansas, pada 1983, dia mendapati rendahnya nilai ujian, lemahnya disiplin, dan loyonya staf pengajar. Tujuh tahun kemudian, seorang kru televisi PBS menemukan perubahan mendasar dalam hal lingkungan dan hasil belajar. Anak-anak kelas empat belajar pembagian dengan memotong-motong pizza; belajar bahasa Spanyol sambil bernyanyi; belajar sejarah Amerika melalui permainan dan lagu. Anak-anak kelas empat itu dipasangkan dengan murid TK, mereka bertindak sebagai guru, dan menggunakan kata-kata tertulis menjadi cerita untuk anak umur lima tahun.


Anak-anak aktif di gedung olahraga sejak pukul 7 pagi. Di kelas, guru-guru melayani seluruh gaya belajar mereka: dengan melibatkan penglihatan, pengucapan, dan tindakan; sebuah sekolah yang memungkinkan kebanyakan muridnya bermain alat musik, dan kurikulumnya diperkaya dengan seni. Dengan cara kerja yang mungkin sulit dimengerti oleh kebanyakan guru di negara-negera lain, pada 1983 Yunk menemukan bahwa guru-guru “dalam 20 tahun tidak pernah bertukar ruang kelas”. Lalu dia menetapkan norma kerjasama antarguru.


Ketika dia datang pertama kali, “orangtua tidak menyukai dirinya. Sekarang mereka bertindak sebagai tutor, pembantu, dan mentor; bahkan salah satunya menjadi ketua klub komputer". Dari semua sekolah dasar di negara bagian itu pada 1983, hanya sepertiga dari anak kelas empat di SD Northview yang meraih tingkat kompetensi yang diharapkan. Pada 1990: 97 persen – di tiga persen teratas. Dan di beberapa daerah, di atas satu persen teratas. Resep keberhasilan Yunk? Sama seperti Bill Hewlett dan Dave Packard di dunia bisnis: Manajemen Kebersamaan”. “Berdayakan para siswa, orangtua, dan guru, mereka harus merasa ikut memiliki.”

Thursday, April 23, 2009

KEBIASAAN PESIMIS



Perhatikanlah percakapan singkat antara ibu dan anaknya berikut ini. Namun sebelumnya saya akan menceritakan secara singkat latar belakang percakapan mereka. Sang ibu ternyata sedang berbelanja bersama anaknya yang berumur 8 tahun. Mereka berdua, setelah berbelanja, menuju ke tempat parkir, dimana mobil mereka diparkir. Dan inilah percakapan mereka:



Anak: Ibu, sisi mobil ini yang penyok.

Ibu: Sial, Bob (suaminya) pasti marah besar.

Anak: Ayah menyuruh ibu untuk selalu memarkir mobil barunya jauh dari mobil-mobil yang lain.

Ibu: Sial, hal-hal seperti ini selalu saja menimpaku. Aku sangat malas, aku hanya tidak ingin membawa barang belanjaan dari tempat yang jauh. Bodoh sekali aku ini.


Seperti yang Anda lihat dan rasakan, kejadian seperti ini terkadang menimpa seseorang, tapi bukan kejadiannya yang akan kita fokuskan pada artikel kali ini. Tapi pada percakapan sederhana dan yang terus berulang, yang kebanyakan orang lakukan ketika menghadapi sebuah masalah.


Penelitian menyebutkan, anak-anak yang belum masuk usia pubertas jauh lebih optimis daripada orang dewasa. Hal tersebut dapat kita lihat pada percakapan sang anak di atas. Sang anak dan ibunya melihat masalah yang sama, tapi sang anak lebih memfokuskan pembicaraan kepada hal-hal yang bersifat spesifik pada masalah dan bagaimana agar terhindar dari masalah tersebut. Coba perhatikan kata sang anak: “Sisi mobil ini yang penyok”. Anak langsung memfokuskan pembicaraan pada “masalah apa yang sedang terjadi”. Bahkan sang anak berbicara juga tentang pencegahannya: “Ayah menyuruh ibu untuk selalu memarkir mobil barunya jauh dari mobil-mobil yang lain”.


Apa yang dipikirkan oleh sang anak, yang bersifat lebih optimis, sangat berbeda dengan sang ibu (bahkan hampir semua orang dewasa) ketika menghadapi masalah tersebut. Sang ibu terlihat lebih fokus pada: “Hal-hal seperti ini selalu saja menimpaku”. Ini adalah kalimat ambigu karena kata “hal-hal seperti ini” tidak jelas mengacu pada apa atau sesuatu yang spesifik. Masalahnya adalah mobil yang penyok (kasusnya jelas dan spesifik) tapi perhatiannya justru terfokus pada sesuatu yang bersifat universal, seolah-olah semua kejadian buruk selalu menimpanya.


Kalimat tersebut juga bersifat permanensi. Artinya akan selalu terjadi hal-hal yang buruk pada dirinya. Karena di dalam kalimat tersebut sang ibu menggunakan kata “selalu”. Ini berarti semua hal buruk (bersifat universal) akan terus terjadi pada dirinya (dengan menggunakan kata “selalu” pada kalimat tersebut di atas). Sang ibu ketika berucap secara spontan pada kejadian tersebut, tidak memberikan syarat terhadap kemalangan yang baru saja menimpanya atau menetapkan batasan tentang masalah-masalah yang selalu dialaminya. Selain itu, ucapan tersebut sangat bersifat pribadi: “menimpaku”. Hal ini mengisyaratkan bahwa semua kejadian buruk hanya menimpa dirinya saja dan sepertinya tidak menimpa orang lain, hanya dirinya saja. Jika seseorang sudah berasumsi bahwa setiap kejadian buruk hanya menimpa dirinya, maka dengan mudah dia akan melihat dirinya sebagai korban penderitaan.


Kalimat berikutnya membuat kondisi sang ibu lebih parah lagi: “Aku sangat malas”. Seperti halnya kalimat yang tadi kita bahas, kalimat ini juga bersifat permanensi atau penetapan penilaian terhadap diri sendiri. Dan kalimat ini pun bersifat ambigu karena tidak mengacu pada hal spesifik tertentu. Seharusnya yang dikatakan sang ibu tadi adalah: “Tadi aku sedang malas”. Namun karena kalimatnya yang bersifat non spesifik, maka penetapan “malas” akan mengacu pada semua situasi pada diri sang ibu tersebut.


“Aku hanya tidak ingin membawa barang belanjaan dari tempat yang jauh”. Kalimat bersifat “menarik kenyataan yang tidak diinginkan”. Seharusnya kalimatnya menjadi lebih positif dengan berkata: “Tadi aku ingin membawa barang belanjaanku dari tempat yang lebih dekat”. Dan kalimat terakhir menutup kesimpulannya sendiri bahwa dirinya memang selalu seperti itu: “Bodoh sekali aku ini”. Kalimat ini bersifat permanensi, ambigu, dan menyerang diri sendiri.


Itulah serangkaian kalimat pendek, yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa (khususnya para orang tua) dalam menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Kebiasaan ini akan didengar oleh anak-anak dan kemudian anak-anak akan menggunakan kemampuan alaminya, yaitu meniru apa yang dilakukan oleh orang tuuanya. Dan akhirnya jadilah sebuah mata rantai kebiasaan pesimis.