Wednesday, June 17, 2009

BENARKAH IMPIAN ITU PENTING?


Sudah berapa banyak Anda mendengar bahwa impian itu sangat penting dalam mencapai kesuksesan? Sudah berapa banyak buku yang Anda baca yang menyarankan untuk membuat impian tertulis, karena kata mereka impian tertulis itu begitu penting dalam mencapai kesuksesan? Benarkah impian itulah yang menggerakkan kita untuk bekerja mencapai kesuksesan?

Mungkin Anda pernah mendengar tentang sebuah survey mengenai impian. Jujur saja, saya juga belum tahu sumber asli survey tersebut. Saya hanya membaca survey itu dari buku-buku yang saya baca, dimana penulis buku-buku tersebut hanya mencantumkan mengenai survey tersebut dan tidak menyebutkan asal survey tersebut. Dan hal ini menyebabkan beberapa buku yang berbeda menyebutkan angka prosentasenya dengan sedikit berbeda. Kata survey tersebut, banyak orang gagal dan tidak sukses karena mereka tidak memiliki impian. Dan bagi mereka yang mempunyai impian itu hanya mengalami kesuksesan dengan jumlah prosentase yang semakin sedikit, dan lebih sedikit lagi adalah orang-orang yang sangat sukses dan terkaya karena mereka adalah orang-orang yang memiliki impian dan menulis impian tersebut. Dengan kata lain, jumlah orang-orang sangat sukses dan terkaya itu sangat sedikit karena mereka termasuk jumlah orang-orang yang sangat sedikit yang menuliskan impiannya.

Tapi benarkah demikian? Mari kita mengambil sebuah contoh! Kita semua mungkin sepakat bahwa salah seorang terkaya di dunia adalah Bill Gates. Pertanyaannya adalah: Apakah Bill Gates mempunyai impian yang tertulis? Kalau Anda menanyakan kepada saya, maka jawaban saya yang pasti adalah: BELUM TAHU. Dari berbagai literatur yang saya baca mengenai Bill Gates, belum ada yang menyebutkan bahwa keberhasilan Bill Gates disebabkan karena Bill Gates menuliskan impiannya. Kebanyakan yang ada adalah Bill Gates menyukai dunia komputer dan pemograman, dan ia menawarkan sebuah ide kepada IBM kala itu. Bahkan dalam buku Outliers yang ditulis oleh Malcolm Gladwell menyebutkan bahwa orang-orang yang sangat sukses adalah orang-orang yang begitu menyukai dan mencintai apa yang mereka kerjakan. Begitu cintanya sehingga mereka rela melakukannya hingga 10.000 jam.

Aha...apakah Anda menemukan kata kuncinya? Sebelum kita melihat lebih tajam mengenai kata kuncinya, ijinkan saya menceritakan sebuah kisah yang mungkin juga tidak asing bagi Anda. Ada dua orang pekerja kasar yang bertugas memikul keranjang batu untuk dibawa ke sebuah tempat. Batu tersebut dipergunakan untuk membangun sebuah katedral yang sangat megah. Walau mengerjakan pekerjaan yang sama, kedua pekerja itu menunjukkan gejala kerja yang sangat berbeda. Pekerja pertama begitu bersemangat dan bergairah memikul keranjang batu tersebut. Sedangkan pekerja kedua sebaliknya. Pekerja kedua itu merasa sangat bosan dan jenuh dalam mengerjakan tugasnya.

Hingga suatu ketika ada yang bertanya kepada kedua pekerja itu. Ketika pekerja kedua yang tidak bergairah itu ditanya: Apa yang Bapak kerjakan? Pekerja kedua itu hanya menjawab singkat: Mengangkat batu. Namun jawaban yang sungguh berbeda keluar dari mulut pekerja pertama ketika ia ditanyakan pertanyaan yang sama: Apa yang Bapak kerjakan? Maka pekerja pertama itu menjawab dengan sangat bergairah: Saya ingin membangun katedral yang sangat indah dan megah.

Aha...apakah Anda menemukan kata kuncinya? Saya mohon kepada Anda untuk mengijinkan saya menceritakan sebuah kisah nyata ketika saya membaca buku “I Am Gifted, So Are You! Buku ini ditulis oleh Adam Khoo, seorang pemuda yang sangat sukses di Singapura. Dalam bab pertama Adam Khoo menuliskan tentang kisahnya sendiri, bahwa bagaimana ia awalnya berada dalam prestasi terendah dan kemudian bergerak menuju prestasi puncak. Ada satu hal yang sangat menarik ketika ia menceritakan dirinya. Ketika Adam Khoo selesai mengikuti sebuah program remaja yang luar biasa, ia berkata: “Saat itu saya sangat bersemangat dan bergairah menyongsong masa depan. Saya merasa dapat melakukan apapun. Hal pertama yang saya lakukan adalah menentukan tiga tujuan pertama.”

Baiklah, apa kata kunci dari kisah-kisah tersebut di atas? Benar...mencintai, bergairah, bersemangat, dan sangat menyukai. Ada begitu banyak orang yang saya temui dan belum sukses, tapi mereka telah menulis impian-impian mereka. Bahkan ada yang bukan hanya sekedar menulis, tapi juga mencari gambar impiannya dan menempelkannya dalam sebuah album impian. Tapi masalahnya adalah mereka belum sukses. Apa yang terjadi?

Saya melihat satu pola dalam hal ini. Mereka-mereka yang menuliskan impiannya bahkan menempelkan gambar impiannya dan belum sukses, ternyata belum terikat secara emosional terhadap impiannya. Mereka belum mencintai impian mereka, mereka belum bergairah, bersemangat, dan menyukai impian mereka. Mereka menuliskannya hanya sekedar berharap impian itu akan terwujud. Mereka menulis impiannya hanya sekedar merasa senang jika nanti terwujud. Mereka menulis impiannya karena begitulah yang diajarkan oleh para motivator. Tapi pertanyaan mendasar adalah: Apakah mereka secara emosional betul-betul terikat dengan impiannya? Apakah mereka begitu mencintai apa yang mereka lakukan sehingga dengan melakukannya maka impiannya akan segera terwujud? Apakah mereka begitu bergairah dengan apa yang mereka kerjakan sehingga dengan mengerjakannya impian mereka akan segera terwujud? Apakah mereka menyukai apa yang mereka lakukan sehingga dengan melakukannya impiannya akan segera terwujud. Dengan kata lain, mereka belum terikat secara emosi positif dengan impian mereka. Mereka hanya sekedar berharap hal itu bakal terwujud.

Dan apa yang terjadi jika hanya sekedar memiliki impian? Anda mungkin masih ingat kisah dua pekerja batu di atas? Pekerja kedua menjadi sangat tidak bergairah dan bersemangat karena ia tidak terikat secara emosional dengan impiannya (katedral yang akan dibangun). Karena ia tidak terikat secara emosional dengan impiannya, ia pada akhirnya hanya fokus pada rasa capek yang dialaminya ketika mengangkat batu. Ia menjadi sangat fokus pada penderitaan yang dialaminya. Berbeda dengan pekerja pertama. Ketika ia menjadi sangat terikat secara emosional dengan impiannya untuk membangun dan melihat katedral yang megah dan indah, maka secara otomatis fokus pekerjaanya adalah rasa semangat dan gairah untuk segera menyelasaikan tugasnya. Ia mungkin mengalami rasa capek, ia juga mungkin mengalami sedikit kejenuhan. Tapi ada begitu banyak emosi positif yang dirasakannya karena secara emosi positif pula ia begitu terikat dengan impiannya. Penelitan juga menyebutkan bahwa seseorang yang merasa feel good (bahagia) akan cenderung melihat peluang dibandingkan melihat masalah.

Oleh sebab itu, sebuah impian haruslah impian yang betul-betul bermakna bagi kita. Di mana ketika kita melihat, membayangkan, dan merasakannya, maka kita akan merasakan sebuah gairah dan emosi positif yang luar biasa. Dan percayalah, pekerjaan halal apapun yang kita lakukan, akan menjadi sangat ringan karena fokus kita adalah gairah, kecintaan, dan semangat yang membara.

Sunday, June 7, 2009

DI MANAKAH ANDA BERGAUL?


Selama kekuatan hati Anda belum “jernih”, maka kemana pun Anda bergaul, Anda cenderung akan mudah dipengaruhi – Syahril Syam

Mashab behaviorisme, ditahun 70-an, merupakan mashab yang paling mendominasi pemikiran orang-orang di negeri Paman Sam. Mashab ini mendasari pemikirannya bahwa setiap orang belajar karena faktor stimulus dari lingkungannya. Walau mashab ini tidak mampu menjelaskan motivasi internal pada manusia, namun apa yang digagas oleh behaviorisme memberikan andil yang besar bagaimana manusia itu belajar.

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat dan merasakan bagaimana Prof. Philip Zimbardo melakukan sebuah eksperimen yang kontroversial. Prof. Zimbardo bersama-sama dengan rekannya ingin mengetahui apakah perilaku para tahanan dan penjaganya disebabkan oleh situasi penjara atau karena karakter mereka sendiri. Akhirnya, diseleksilah sekitar 75 orang mahasiswa yang diperiksa secara klinis, dan 21 orang dipilih karena kepribadiannya dianggap dewasa dan sehat.

Agar para mahasiswa tersebut mau mengikuti eksperimen tersebut, mereka akan dibayar $15 sehari. Eksperimen tersebut rencananya akan dilakukan selama dua minggu, dan secara acak, sebagian peserta akan menjadi tahanan dan sebagiannya lagi akan menjadi penjaga tahanan. Dan eksperimen ini dilakukan dengan suasana yang persis betul dengan kenyataannya.

Para “tahanan” dijemput polisi dari rumah-rumah mereka, dan mereka dituduh sebagai pencuri dan digeledah, dibelenggu, diambil sidik jarinya, dan kemudian diinterogasi. Di ruang bawah tanah gedung Psikologi Stanford, yang dijadikan sebagai penjara, para tahanan tersebut dibawa kesana, dan kemudian diperlakukan dengan semena-mena. Para tahanan kemudian ditelanjangi, disemprot dengan pembasmi kutu, diberi pakaian napi, dan ditempatkan pada sel sempit bersama dua “napi” lainnya. Semua yang mau dilakukan oleh para “napi” harus mendapat izin dari para penjaga.

Para “penjaga” bekerja secara bergiliran dalam menjaga para “napi”. Seragam yang digunakan oleh para “penjaga” pun adalah seragam penjaga penjara lengkap dengan kaca mata hitam, pentungan karet, peluit, dan borgol. Para “penjaga” dilarang melakukan kekerasan, tapi boleh melakukan apa saja untuk menjaga ketertiban dan keamanan.

Dan inilah akhir eksperimen tragis itu. Hanya dalam tempo 6 hari saja, para “tahanan” menjadi sangat depresif dan pasif. Sedangan para “penjaga” menjadi sangat otoriter, brutal, dan memaksa tahanan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh. Para mahasiswa yang tadinya normal dan sehat, telah menjadi “psikopat”.

Di hari kelima eksperimen, empat orang “tahanan” dibebaskan karena berteriak-teriak histeris, menderita kecemasan, dan gejala-gejala depresi lainnya. Seorang diantara mereka dikeluarkan karena menunjukkan gejala psikosomatis. Eksperimen yang rencananya akan dilakukan selama dua minggu, harus diakhiri setelah seminggu berjalan. Para “tahanan” merasa sangat gembira, sedangkan para “penjaga” merasa kecewa.

Eksperimen tersebut, merupakan penelitian Zimbardo bahwa perilaku sadis para “penjaga” dan perilaku pasif para “tahanan” bukanlah perilaku “bawaan” mereka. Perilaku tersebut terjadi karena mereka dipengaruhi oleh kelompok rujukan yang diidentifikasi oleh mereka. Dengan kata lain, budaya sebuah kelompok cenderung mempengaruhi perilaku individu-individu di dalam kelompok tersebut.

Jika Anda sering bergaul dengan orang-orang yang pesimis, besar kemungkinan Anda akan ikut pesimis. Hal tersebut tidak akan terjadi jika saja Anda memiliki kekuatan hati yang jernih, dimana bukan Anda yang dipengaruhi tapi Anda yang mempengaruhi. Dan ketika Anda bergaul dengan kelompok pembelajar, maka besar kemungkinan Anda pun akan menjadi seorang pembelajar. Oleh sebab itu, pilihlah secara bijak kemana Anda ingin bergaul!