Thursday, September 17, 2009

Behaviorisme dan Otak



J. B. Watson pernah melakukan sebuah eksperimen bersama Rosalie Rayner di John Hopkins. Tujuannya untuk menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Subyek eksperimennya adalah Albert B, bayi sehat berusia 11 bulan yang tinggal di rumah perawatan anak-anak invalid, karena ibunya menjadi perawat di situ. Albert menyayangi tikus putih. Sekarang takut ingin diciptakan. Ketika Albert menyentuh tikus itu, lempengan baja dipukul keras tepat di belakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Proses ini diulangi: kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras. Akhirnya, kalau tikus itu muncul – walaupun tidak ada suara keras – Albert mulai menangis, membalik, dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut pada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin, tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui.

Eksperimen Albert bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik. Pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (tikus putih) dengan stimuli tertentu (yang tak terkondisikan) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respon terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan batangan baja (yang tak terkondisikan).

Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Kali ini subyeknya burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil pada dinding kotak. Makanan keluar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. Sejenak kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol, makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati ingin makan, ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu pula. Proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan.

Dalam bahasa otak, percobaan yang dilakukan oleh Watson dan Skinner, hanyalah menyentuh bagian otak kecil pada manusia, atau yang sering disebut sebagai otak reptil. Di katakan otak reptil karena binatang reptil memiliki otak reptil yang sama dengan manusia. Otak reptil ini merupakan batang otak yang terletak di dasar otak, yang berhubungan dengan tulang belakang. Otak ini mewadahi pusat kendali, sistem saraf otonomi, dan untuk mengatur fungsi tubuh seperti denyut jantung dan napas. Otak reptil ini juga mengatur reaksi seseorang terhadap bahaya atau ancaman: misalnya lari atau lawan.

Otak reptil dirancang untuk bertindak atau bereaksi secara otomatis atau tanpa direncanakan. Bagian ini memberikan perlindungan dari serangan atau bahaya fisik. Saat otak reptil aktif, orang tidak akan bisa berpikir. Yang berperan dalam keadaan ini adalah insting atau cara berpikir dan bertindak berdasarkan hasil latihan. Otak reptil akan aktif bila seseorang merasa takut, stres, terancam, marah, kurang tidur, atau kondisi tubuh dan pikirannya lelah. Proses pembelajaran dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan kelanjutan hidup.

Jika Anda memperhatikan seekor binatang – misalkan anjing – yang ketakutan, maka binatang tersebut akan lari terbirit-birit begitu melihat Anda. Ini terjadi disebabkan rasa takut yang tercipta dan ketidakberdayaan begitu melihat diri Anda. Lain halnya jika binatang tersebut memiliki kemampuan untuk melawan, maka kemungkinan besar binatang tersebut akan merespon dengan perlawanan begitu melihat Anda yang (seperti) mengancam kehidupannya.

Hal ini juga menjelaskan kenapa ada siswa yang begitu takut terhadap guru tertentu, (kalau bukan takut, melawan) dan pada guru yang lain merasa tenang. Respon pertama yang diberikan kepada siswa akan berperan penting pada perilaku yang ditimbulkan. Suasana nyaman akan tercipta ketika siswa berhadapan dengan guru yang baik hati, dan sebaliknya, suasana tegang akan tercipta ketika berhadapan dengan guru yang berlaku “kejam”.

Walaupun respon pertama (takut atau melawan) yang diberikan terhadap kondisi eksternal pada seseorang sering terjadi. Hal ini tidak menyebabkan bahwa seluruh perbuatan manusia hanya dikendalikan oleh otak reptil semata (takut atau melawan) dalam menghadapi kondisi eksternal tersebut. Selain otak reptil, manusia memiliki – dan tidak dimiliki oleh binatang – otak limbik yang mengatur emosi pada manusia, dan neo-corteks untuk berpikir.

Seperti yang kita lihat bersama, behaviorisme punya wawasan mendalam pada aspek otak reptil. Memang benar bahwa ada sebagian diri kita yang bersifat mekanis dan ritualistis, yang secara otomatis merespon berbagai rangsangan luar, yang dapat belajar cara memasukkan dan mengulang-ulang berbagai perilaku yang telah diprogram. Masalah behaviorisme adalah bahwa paham ini berlagak (sering secara sangat dogmatis) seolah membahas seluruh otak, padahal sesungguhnya hanya satu aspeknya.

Kita ini lebih dari sekedar fungsi mekanistis, reptilian, dan rangsangan/respon semata. Akan tetapi, behaviorisme tidak menyinggung hal ini. Sedikit sekali yang dibahasnya tentang kecerdasan sosial dan emosional (sistim limbik), dan lebih sedikit lagi tentang pikiran kreatif dan inovativ (neo-korteks). Dan paham ini sama sekali tidak tertarik menyelami kearifan yang tersembunyi di dalam jiwa.

Selain itu, keberhasilan Daniel Goleman dalam mengibarkan Emotional Intelligence (EI) telah membuktikan beberapa hal. Pendekatan EI ini mebuat manusia mampu untuk menggali potensinya lebih dalam dan lebih luas lagi. Kecerdasan emosi ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendeteksi dan mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain. Dengan kata lain, kecerdasan emosi membuat manusia dapat berikap pro aktif, yaitu kemampuan untuk memilih respon. Dan seperti yang telah kita bahas, bahwa binatang justru tidak memiliki sifat pro aktif ini. Binatang berespon secara langsung terhadap rangsang (stimulus) dari luar. Manusia berbeda. Dengan kecerdasan emosi manusia mampu mengelola respon. Ketika dipukul manusia juga merasa takut atau marah, namun bisa memilih respon untuk bersikap berbeda. Pura-pura berani padahal takut. Pura-pura takut padahal berani. Atau bahkan menunjukkan sikap bahagia dengan tersenyum. Merdekalah dalam memilih respon!