Monday, November 9, 2009

MENTAL BLOCK TERBESAR DALAM HIDUP



Suatu ketika ada seorang perempuan muda, sebut saja Nidar, datang untuk berkonsultasi kepada saya. Ia merasa ada sebuah penghalang besar yang menghalangi dirinya, sehingga ia tidak bisa meraih sukses atau pekerjaan yang layak bagi dirinya.

Akhirnya setelah melakukan beberapa interview, saya pun melakukan proses hypnotherapy kepada dirinya. Saya membawanya ke kondisi profound somnambulism, dan kemudian melacak problem sesungguhnya yang di alami oleh Nidar.

Ternyata ia merasa dirinya tidak cantik, tidak tinggi, dan tidak langsing. Padahal dalam pekerjaan yang pernah ia geluti sebelumnya, ia berharap seperti demikian. Padahal menurut saya, Nidar ini adalah perempuan yang cantik, tinggi, dan cukup langsing. Tapi ia tidak merasa demikian. Ia menghakimi dirinya sendiri. Nidar pada dasarnya merasa disepelekan dan tidak dihargai, dan ketiga kategori di atas adalah parameter ia merasa dihargai.

Akhirnya setelah melewati proses terapi selama satu setengah jam, akhirnya ia kembali menghargai dirinya sendiri. Setelah terapi, ia merasa badannya terasa sangat ringan, seperti ada sebuah beban yang tiba-tiba hilang dari dirinya. Ia merasa sangat plong, dan ia merasa seperti ingin terbang dan begitu bahagia.

Seperti hal Nidar, begitu banyak orang yang mencoba menyangkal dan tidak mengakui shadow mereka dengan melakukan yang sebaliknya dan berusaha untuk menutupinya. Bahkan yang lebih parah lagi adalah menjadi pembenci orang lain atas sikap mereka, dimana sikap tersebut adalah shadow-nya sendiri.

Steven, seorang konsultan bisnis sukses tapi gagal dalam membangun hubungan cinta pernah bercerita bahwa ia begitu membenci salah seorang yang ia temui. Steven menganggap orang tersebut pengecut dan Steven sangat membenci orang yang pengecut.

Setelah ia menyelami dirinya sendiri, ia mendapati dirinya sendiri bahwa saat ia berusia lima tahun, ayahnya mengajaknya masuk ke sirkus kuda. Steven belum pernah melihat kuda sungguhan, dan hal itu membuatnya menjadi takut. Ketika Steven mengatakan kepada ayahnya bahwa ia tidak ingin masuk ke sirkus kuda karena takut, ayahnya memarahinya, “Akan jadi laki-laki seperti apa kamu ini? Dasar bocah penakut, kamu mempermalukan keluarga kita.” Steven pun dihukum. Dan sejak saat itu ia memutuskan untuk tidak lagi bersikap seperti penakut. Ia menghabiskan hidupnya untuk membuat ayahnya bangga. Ia meraih sabuk hitam karate, bermain futbol semasa kuliah, ikut angkat besi. Dan semua ini dilakukannya untuk sekedar membuktikan bahwa ia bukan banci.

Ia berhasil membuktikan bahwa dirinya bukan pengecut kepada ayahnya, dengan berusaha membuktikan dirinya; tapi ternyata kenyataan tersebut masih menghantui dirinya. Ia berusaha menolaknya dengan ikut membenci orang-orang yang pengecut. Dan sebagai bukti bahwa ia tidak menerima dirinya adalah bahwa ketika ia mencoba menjalin hubungan dengan perempuan, ternyata sikapnya menjadi penakut. Ia takut kepada perempuan, takut berkomunikasi secara jujur, dan hal ini mengakibatkan banyak masalah dalam kehidupan pribadinya.

Banyak orang membenci orang kaya, membenci orang lain bisa sukses, membenci keberhasilan orang lain, dan semua kebencian itu selalu dengan alasan yang nampak rasional. Sikap seperti ini mungkin saja karena orang-orang tersebut juga membenci dirinya sendiri dan membenci kekayaan, kesuksesan, dan keberhasilan.

Bahkan ada yang mencoba meraih suskes karena ingin membuktikan kepada keluarga, teman, dan orang lain bahwa dirinya bisa dan apa yang mereka ungkapkan itu tidak benar. Di satu sisi ini merupakan motivasi dan tidak jarang ada yang betul-betul sukses dan berhasil membuktikan dirinya. Tetapi, apakah kita ini sadar bahwa kehidupan itu bukan hanya sekedar menutupi kebencian dan berusaha membuktikan sesuatu, tetapi lebih kepada meraih kebahagiaan dan kesempurnaan yang hakiki menuju kepada Sang Sumber Cahaya.

Berbicara tentang the shadow, maka kita mengacu pada titik lemah atau Achilles Heel, sebuah istilah yang berasal dari mitologi Yunani. Alkisah ada seorang panglima perang yang sangat hebat bernama Achilles. Di waktu kecil ia pernah direndam oleh ibunya ke dalam sungai Styx, sungai yang dapat membuatnya menjadi kebal.

Air sungai itu membasahi seluruh tubuh Achilles, kecuali tumitnya yang digenggam oleh tangan ibunya. Ketika dewasa Achilles berusaha membuktikan dirinya bahwa ia adalah panglima besar yang tangguh. Ia berusaha membuktikan dirinya bahwa ia tak terkalahkan, dan ia memang memenangkan banyak pertempuran. Ia tahu bahwa ia mempunyai satu titik kelemahan pada tumitnya, namun ia menutupi hal itu dengan membuktikan bahwa ia betul-betul kebal dan tak terkalahkan.

Daripada menerima kenyataan tersebut dan belajar darinya, Achilles justru selalu berusaha membuktikan bahwa ia tak terkalahkan. Hingga pada suatu ketika, musuh bebuyutannya, Paris, memanah fatal tumitnya.

Seperti halnya Achilles, kebanyakan orang tidak mau mengakui bahwa mereka memiliki titik lemah, dan berusaha menutupi the shadow mereka dengan berupaya tampil sesempurna mungkin. Menurut Bloomfield, kita masing-masing memiliki satu titik lemah, kelemahan, kegelisahan, atau kerentanan yang membuat kita tetap tersandung.

Sindrom Achilles adalah harga yang kita bayar akibat melawan titik lemah kita. Sindrom ini mengacu pada satu hukum psikologis:

APA YANG KITA TOLAK TETAP TERJADI

Benar, apapun yang berusaha Anda sembunyikan dalam diri Anda, dan Anda tidak mau mengakuinya, tetap akan mempengaruhi Anda. Alih-alih ingin tampil sempurna, dengan tidak mengakui the shadow, sebenarnya kita akan selalu tampil dalam ketidak-sempurnaan. Ketika kita menerima dan belajar dari hambatan dan tantangan yang paling besar dalam diri kita, maka hal itu bisa merupakan sumber tenaga, suatu perangsang pada pertumbuhan kita.

Menurut Robert B. Stone, paling tidak terdapat lima hambatan yang selalu membuat kita sulit meraih sukses:

  1. Kegelisahan dan kecemasan. Hal ini menyebabkan ketegangan dalam badan. Koordinasi otot dan efisiensi mental dapat dipengaruhi oleh keadaan ini. Kesehatan kita pun jadi ikut terganggu, dan biasanya system pencernaan kita terkena dampaknya paling awal. Gejala lainnya juga berkisar pada sakit kepala dan serangan jantung.
  2. Takut. Ini merupakan hambatan yang tersembunyi. Perasaan takut melakukan sesuatu seringkali membuat kita selalu mandek dalam mengerjakan sesuatu.
  3. Benci-diri. Begitu banyak orang yang selalu menimpakan semua kesalahan pada dirinya sendiri. Jika ada sesuatu yang tidak beres, alih-alih mencari tahu apa yang terjadi dan mengoreksi diri sendiri, malah tanpa sadar menghukum diri sendiri.
  4. Pesimisme. Merasa tidak bisa sukses dan seringkali memberikan bukti dengan membeberkan kegagalan yang sering dialami.

5. Kesan diri yang terbatas. Kita mempunyai kebiasaan berpikir dalam keterbatasan. Kebiasaan ini seringkali mengganggu kita dalam melakukan sesuatu. Seringkali kita merasa tidak layak dalam mendapatkan sesuatu yang sesungguhnya baik bagi kita.

Dengan gaya yang sedikit berbeda, Harold H. Bloomfiled, menyebutkan lima jenis hambatan yang sering mengganjal kita, disertai kata hati yang terlintas:

  1. Saya takut disakiti lagi.

“Saya tidak tahu apakah saya bisa menjumpai orang yang benar”

“Ketika persahabatan menjadi serius, saya merasa khawatir”

“Saya khawatir ia akan menolak presentasi saya”

  1. Saat saya bercermin, saya tidak pernah puas.

“Saya berharap saya bisa lebih tinggi”

“Saya malu kalau audiens melihat jerawat saya ketika saya berbicara”

“Saya merasa tidak memiliki penampilan yang menarik”

  1. Saya tidak tahan kritikan.

“Saya selalu mencoba menyenangkan orang lain”

“Saya berharap orang-orang mengerti perasaan saya”

“Saya ingin selalu tampil sangat sempurna agar tidak ada yang mengetahui kelemahan saya”

  1. Saya selalu merasa tegang dan tergesa-gesa.

“Saya tidak bisa istirahat sampai semuanya berjalan mulus”

“Saya jadi marah kalau orang tidak menepati janjinya”

“Bahkan dalam liburan pun saya tidak pernah bisa santai”

  1. Saya harap saya bisa lebih bahagia.

“Apapun yang saya lakukan saya tidak pernah puas”

“Saya berhasil dalam pekerjaan saya tetapi saya ragu apakah ada perubahan dalam hidup saya”

“Saya kira saya lebih bahagia jika………………(sudah menikah, punya anak, mendapat pekerjaan)”