Monday, May 14, 2007

MENJADI GURU POSITIF

Ketika Dr. Robert Hartley dari University of London sedang berjuang mengatasi prestasi akademis buruk dari anak-anak yang kurang beruntung, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ketika masih menjadi murid sekolah, Hartley mengalami kebuntuan ketika harus menulis esai yang penting. Akhirnya ia membayangkan seorang pembaca berita membahas topik itu. Inspirasi pun datang. Hartley muda yang putus asa membayangkan dirinya sebagai pengulas berita dan kalimat mulai mengalir. Dapatkah “berpura-pura” menggerakkan yang lain untuk mencapai kemajuan?

Hartley menghadapi anak-anak yang buruk dalam mengerjakan tes memasangkan gambar. “Coba bayangkan orang yang sangat pintar yang kamu kenal”, begitu kata dia kepada anak-anak itu. “Jadilah kamu aktor. Tutup matamu. Bayangkan bahwa kamu menjadi orang yang sangat pintar itu dan melakukan tes sebagaimana dia melakukannya.”

Anak-anak membayangkan dirinya sangat pintar dan menjadi pintar. Skor mereka naik secara signifikan. Prestasi “slow learners” tidak dapat lagi dibedakan dari anak-anak yang cerdas. Salah seorang diantara mereka tidak mempercayai nilainya. ‘Waw, ini bukan hasil aku’ katanya protes. ‘Itu pasti hasil orang pandai itu.’ Langkah imajinatif berikutnya, Hartley mencatat, ialah memperbaiki citra diri yang buruk.

***

Anda baru saja membaca kisah yang dialami langsung oleh Dr. Robert Hartley dalam mendidik anak-anak yang kurang pandai atau “buruk”. Dapat Anda lihat bahwa kekuatan pikiran (salah satunya adalah imajinasi) dapat merubah anak-anak yang “buruk” menjadi anak-anak yang cerdas. Jika dipandang dari sisi kerja pikiran dengan seperangkat hardwarenya (otak), maka tak satu pun anak itu dikatakan “bodoh”. Mari kita lihat penelitian terkini tentang kemampuan otak dan kerja pikiran manusia.

Otak manusia adalah suatu organ yang beratnya sekitar 1,5 kg atau sekitar 2% dari berat tubuh dan dioperasikan dengan bahan bakar glukosa dan oksigen. Saat bayi dilahirkan, otaknya telah berukuran ¼ dari ukuran otak orang dewasa. Semua manusia sejak dilahirkan telah memiliki 100.000.000.000 (seratus miliar) sel otak aktif dan didukung oleh 900.000.000.000 (sembilan ratus miliar) sel pendukung. Jadi, total ada 1 triliun sel otak. Apabila Anda merangkai seluruh sel otak tersebut membentuk barisan panjang, panjangnya akan menyamai jarak perjalanan pulang pergi ke bulan.

Setiap sel otak memiliki kemungkinan koneksi dari 1 hingga 20.000 koneksi. Kecerdasan seseorang tergantung dari seberapa banyak koneksi yang ada pada otaknya. Koneksi antarsel otak akan terjadi bila kita menggunakan dan melatih otak kita. Semakin sering kita kita menggunakan dan melatihnya, maka akan semakin banyak terjadi koneksi. Dengan kata lain, semakin sering proses belajar yang efektif yang dilakukan, maka akan semakin banyak koneksi antarsel yang tercipta (cerdas).

Lantas bagaimana dengan berpikir? Ketika Anda melakukan proses berpikir, maka sebuah gelombang elektromagnetis bergerak turun ke cabang sel otak untuk melakukan koneksi dengan sel otak yang lain. Pada tahun 1960-an telah diteliti bahwa jumlah “jejak pikiran” (informasi yang telah diketahui, kebiasaan atau ingatan) bagi setiap manusia yang lahir/bayi adalah angka satu yang diikuti seratus angka nol. Angka ini lebih besar daripada jumlah puluhan ribu bintang di alam semesta.

Namun, perhitungan di tahun 1960-an tersebut keliru. Di awal tahun 1970-an diadakan perhitungan kembali, dan menjadi sebuah angka baru: angka satu diikuti oleh delapan ratus angka nol. Angka ini kira-kira sama dengan jumlah atom yang terdapat di Alam Semesta yang kita kenal.

Angka raksasa ini ternyata juga salah!

Sesaat sebelum meninggal di tahun 1974, Petr Anokhin, ilmuwan otak terkenal berkebangsaan Rusia dan murid utama Pavlov menghitung ulang angka tersebut. Dia berkata, dalam pernyataan terakhirnya kepada publik, bahwa semua angka terdahulu salah, dan bahwa sehubungan dengan kemampuan pembuatan pola dari otak bayi, atau tingkat kebebasan pikiran di seluruh otak, angka sebenarnya adalah: “… begitu besarnya sehingga jika ditulis dalam ukuran karakter teks normal akan membentuk deretan angka sepanjang lebih dari 10,5 juta kilometer! Dengan begitu banyaknya kemungkinan tersebut, otak manusia adalah sebuah keyboard yang dapat memainkan ratusan juta juta melodi – berbagai tingkah laku atau kecerdasan – yang berbeda. Tidak ada seorang pun yang masih hidup atau pernah hidup yang bahkan pernah mendekati penggunaan otak secara maksimal. Tidak ada pembatasan kekuatan otak manusia – kekuatan ini tidak terbatas.”

Untuk sebuah contoh sederhana akan kekuatan otak dan kemampuan berpikir manusia, kita ambil sebuah contoh serangga, yaitu lebah yang hanya memiliki tujuh ribu (7.000) sel otak. Lebah dapat melakukan kemampuan sebagai berikut: terbang, berkelahi, melihat, mendengar, mencium, mengecap, meraba, menyentuh, membangun, mengendalikan suhu, menghitung, melindungi, kemampuan bernavigasi, berjalan, berlari, mengingat, bermain, mengasuh, berkembang biak, bekerja secara konstruktif, dan kooperatif dalam sebuah komunitas. Jika Anda melihat kemampuan lebah ini, bayangkan dengan seorang manusia yang baru lahir, dengan kemampuan otak yang luar biasa!

Bukan hanya kemampuan di atas saja yang dimiliki manusia. Penelitian Roger Sperry membuktikan bahwa manusia pun memiliki dua belahan otak (kiri-kanan) yang mempunyai dua fungsi yang berbeda. Penelitian ini mengarahkan kita akan metode pembelajaran sinergis (Berpikir dengan Menggunakan Seluruh Bagian Otak). Sebagai contoh akan pemikiran sinergis ini adalah Albert Einstein. Einstein memadukan kemampuan logika, numeris, dan analitis dengan kemampuan luar biasanya untuk berimajinasi dan berangan-angan.

Berkaitan dengan penemuan dua belahan otak – di paro akhir abad kedua puluh – telah disadari bahwa manusia bukan hanya memiliki satu kecerdasan saja (IQ hanya berhubungan dengan kerja otak kiri saja). Telah ditemukan bahwa manusia memiliki lebih dari satu kecerdasan, yang sering disebut dengan kecerdasan majemuk.

Seperti yang telah kita lihat bahwa setiap manusia sungguh luar biasa. Tak satu pun anak yang harus disebut dengan kata “bodoh”. Kemampuan yang luar biasa ini – seperti yang telah terurai di atas – hanyalah berupa potensi. Kecerdasan adalah ketika setiap anak senantiasa melatih dirinya, dengan kata lain kecerdasan adalah terjadinya koneksi-koneksi antarsel otak. Oleh sebab itu, kecerdasan anak sangat berkaitan erat dengan metode pendidikan dari orang tua dan guru.

Banyak orang tua dan guru tidak menyadari bahwa tak satupun anak yang bodoh. Kata “bodoh” seharusnya diganti dengan BELUM BISA. Artinya, ketika sang anak terus dilatih maka suatu saat akan tercipta koneksi dalam sel otaknya. Dan pada saat inilah, sesuatu yang masih BELUM BISA dikerjakan menjadi BISA dikerjakan.

Ke-BELUM BISA-an seorang anak sangat berkaitan erat dengan apa yang dilakukan oleh orang tua dan guru terhadap anak tersebut. Sebagai contoh: kreatifitas anak ternyata sangat luar biasa. Anda bisa membayangkan seberapa kreatif seorang anak dengan kemampuan otak dan berpikir yang telah kita urai di atas. Namun, penelitian Dr. Amabile menyatakan bahwa tekanan psikologis yang mematikan kreatifitas terjadi pada usia dini. Apa saja bentuk tekanan psikologis tersebut? Berikut uraiannya:

1. Pengawasan yang berlebihan terhadap anak.

2. Evaluasi: membuat anak khawatir tentang bagaimana orang lain menilai apa yang mereka kerjakan

3. Hadiah: pemberian hadiah seperti bintang emas, uang, atau mainan yang berlebihan

4. Kompetisi: menempatkan anak dalam situasi menang-kalah yang terlalu sengit, yakni hanya satu orang yang bisa meraih titik puncak

5. Kontrol berlebihan: mengatakan kepada anak secara terperinci cara melakukan sesuatu – pekerjaan rumah mereka, tugas mereka di rumah, bahkan permainan mereka

6. Membatasi pilihan: mengatakan kepada anak aktifitas mana yang harus mereka lakukan, alih-alih membiarkan mereka digiring oleh rasa ingin tahu dan kesukaan mereka

7. Tekanan: menetapkan harapan besar pada kinerja anak

8. Waktu: terlalu membatasi waktu akan kesenangan anak dalam menikmati dan menjelajahi aktifitas atau material tertentu sepuasnya

Uraian Dr. Amabile ini juga mengisyarakan kepada kita – sebagai orang tua atau guru – akan pentingnya mendidik diri terlebih dahulu. Kenapa demikian? Bukankah ke-8 tekanan psikologis di atas sering kita alami waktu kita kecil dulu. Hal ini sering memicu kita – tanpa sadar – untuk mendidik anak kita dengan cara demikian pula. Oleh sebab itu, menjadi orang tua/guru positif adalah menjadi pendidik yang memiliki konsep diri positif. Dan salah satu teknik ampuh untuk memiliki konsep diri positif adalah dengan menggunakan teknologi pikiran (hasil riset ilmiah tentang kerja pikiran), seperti yang ditunjukkan oleh Hartley pada pembahasan kita di atas, yaitu dengan teknik imajinasi yang benar.

Sebagai penutup akan diskusi kita, saya ingin mengutipkan kepada Anda sebuah kutipan dari Jean Houston:

“Berapa banyak pemikir dan jiwa kreatif yang disia-siakan, berapa banyak kekuatan otak yang terbuang percuma karena pandangan kuno dan picik kita tentang otak dan pendidikan?”

No comments:

Post a Comment