Saturday, August 25, 2007

The map is not the territory: SIAPA BILANG?


Judul di atas adalah salah satu dari asumsi NLP. Bahkan judul di atas, biasanya, ditempatkan dalam asumsi NLP urutan pertama. Namun saya menolak asumsi itu. Penolakan saya bukan berarti bahwa saya tidak tahu tentang NLP (karena dalam ilmu filsafat hikmah, jangan pernah membuat penolakan jika kita tidak tahu tentang ilmunya terlebih dahulu), juga bukan berarti bahwa asumsi itu tidak benar (justru sangat benar). Tapi, saya ingin mengajak Anda untuk melihat dari sisi yang agak berbeda, namun memiliki muara yang sama.

Asumsi NLP ini, secara sederhana dapat diartikan sebagai: peta mental seseorang tentang dunia (realitas internal) bukanlah dunia itu sendiri (realitas eksternal). Saya tidak perlu menguraikan defenisi di atas secara panjang lebar lagi, karena Anda bisa membaca buku-buku atau artikel-artikel di internet yang berkenaan dengan pembahasan tersebut. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk melihat tentang bagaimana filsafat memandang ilmu itu sendiri, biasanya disebut sebagai epistemologi, sedangkan orang barat menyebutnya sebagai teknik berpikir (ilmu dari ilmu itu sendiri). Namun kali ini saya tidak akan menggunakan pendekatan barat, karena ada beberapa hal utama yang tidak di bahas dalam teknik berpikir ini.

Mari kita mulai untuk membahasnya. Secara sederhana, peta (persepsi) seseorang terhadap kejadian (realitas) itu tidaklah persis sama dengan kejadian yang sesungguhnya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa setiap kejadian itu bersifat netral. Kita-lah sebagai manusia yang kemudian memberikan makna terhadap kejadian tersebut. Apapun makna yang kita berikan terhadap kejadian tersebut itu disebut sebagai peta dalam NLP. Dan peta setiap orang itu berbeda-beda. Boleh jadi dalam satu kejadian, setiap orang memiliki peta (persepsi/pemberian makna kepada kejadian) yang berbeda-beda. Setiap peta yang dipegang oleh seseorang tentu juga menentukan bagaimana orang tersebut. Dan untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan, maka setiap orang perlu merubah peta-nya yang tidak sesuai dengan tujuan hidupnya. Secara sederhana, dapat kita gambarkan juga bahwa peta itu menentukan seberapa sukses dan bahagianya seseorang. Terlepas dari penjelasan yang baru saja saya berikan, terdapat satu hal yang sedikit bertolak belakang, yaitu bahwa tidak selamanya sebuah peta (persepsi/pemberian makna) itu tidak sama dengan wilayah (kejadian/peristiwa). Anda mungkin kaget?

Memang benar bahwa ada satu atau beberapa peta yang sama persis dengan wilayahnya. Sebelum kita membahasnya lebih jauh, saya ingin menjelaskan dulu latar belakang pemikiran ini.

Sejak dulu manusia ingin mengetahui siapa dirinya, ingin mengetahui darimana ia berasal, dan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Dalam perjalanan pencarian tersebut, maka lahirlah begitu banyak aliran pemikiran yang membahas mengenai hal tersebut. Salah satu yang sangat terkenal di dunia barat (bahkan menjadi tonggak lahirnya dunia modern), yaitu aliran pemikiran yang dibawa oleh Rene Descartes. Descartes banyak dikenal orang dengan kalimat bijaksananya: Cogito Ergo Sum atau Saya berpikir, maka saya ada. Asumsi ini terlahir setelah melalui perjalanan panjang dalam meragukan diri sendiri. Descartes awalnya meragukan segala hal, hingga akhirnya ia sampai pada satu pemikiran bahwa terdapat satu hal yang tidak bisa diragukannya, yaitu dirinya sendiri. Maka lahirlah ungkapan itu. Dari asumsi sederhana itu, maka lahirlah landasan pemikiran dunia modern yang berdiri di atas tonggak pemikiran ilmiah (eksperimental). Itulah sebabnya, Rene Descartes disebut sebagai Bapak Dunia Modern.

Berbeda dengan pemikiran di dunia barat, di dunia timur pun mengalami perkembangan pemikiran. Perlu untuk diketahui bahwa setiap orang melakukan komunikasi, setiap orang memiliki pemikiran tentang sesuatu, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan pun menggunakan hasil pemikiran kita; maka dari situlah awal dari pencarian untuk mengetahui bagaimana pemikiran kita ini ada, atau bagaimana kita bisa memiliki pengetahuan ini. Manusia ingin mengetahui bagaimana pemikirannya ini bisa muncul dalam dirinya. Inilah yang disebut ilmu tentang ilmu atau epistemologi (teori pengetahuan). Perkembangan pemikiran di dunia timur ini, yang awalnya dari epistemologi kemudian berkembang tentang pemikiran dalam pembuktian Tuhan, bahkan berkembang hingga pemikiran tentang “kehadiran”. Apa itu “kehadiran”? Saya akan menjawabnya dengan menggunakan contoh saja ya. Jika sebelumnya Anda belum pernah melihat gula pasir, maka ketika Anda bertanya: Apa itu gula pasir? Maka orang-orang yang mencoba menjelaskan kepada Anda tentang gula pasir itu akan menggunakan kalimat-kalimat, atau contoh-contoh, atau analogi untuk menjelaskan tentang gula pasir. Nah, cara mentransfer pengetahuan seperti ini disebut hushully atau mentransfer pengetahuan dengan menggunakan media (kalimat, alat peraga, atau analogi). Tapi, jika seseorang mendatangkan kepada Anda gula pasir, dan kemudian Anda melihat, meraba, bahkan merasakannya, maka pengetahuan Anda tentang gula pasir itu disebut hudhury atau pengetahuan yang hadir atau Anda mengetahui tentang sesuatu tanpa menggunakan media lagi, karena sesuatu tersebut telah “hadir” kepada Anda secara langsung.

Kembali ke pembahasan kita; dalam filsafat barat ketika berbicara tentang epistemologi, sebuah pengetahuan masuk kepada seseorang itu melalui kelima indera. Dalam dunia NLP, kelima indera itu disebut sub-modalitas. Setelah masuk melalui indera, selanjutnya pengetahuan tersebut diproses dan diberi makna. Dari sinilah dasar dari asumsi NLP tersebut, yaitu peta tidak sama dengan wilayah. Namun, seperti yang telah saya kemukakan bahwa ada pengetahuan/peta yang sama dengan realitas/wilayah. Apa itu? Sabar dong ya!

Sekarang, coba Anda perhatikan penjelasan saya barusan tadi. Sebuah pengetahuan masuk kepada seseorang itu melalui kelima indera. Setelah masuk, maka diproses dan kemudian diberi makna. Pertanyaan saya adalah: Berarti ada pengetahuan sebelumnya (sebelum pengetahuan yang masuk melalui indera itu masuk kepada kita), yaitu pengetahuan yang kita pakai untuk menilai (memberi makna) pada pengetahuan yang masuk melalui indera kita, betul kan? Karena jika tidak ada pengetahuan sebelumnya yang telah ada dalam pikiran kita, maka mustahil kita akan memberi makna pada pengetahuan yang baru saja masuk melalui kelima indera kita itu, benar kan? Sekarang pertanyaannya adalah: Darimana pengetahuan sebelumnya itu berada dalam pikiran kita? Mungkin Anda akan menjawab: Ya… pengetahuan sebelumnya itu kan ada karena hasil dari pengalaman kita? Ok, jawaban ini sedikit benar. Mengapa? Karena pertanyaan yang lebih lanjut adalah: Apa yang Anda pakai untuk menilai pengetahuan sebelumnya itu? Mungkin Anda agak bingung; kalau begitu mari kita pakai contoh saja.

Misalkan sebuah pengetahuan yang masuk melalui kelima indera Anda itu disebut X, maka perlu ada pengetahuan yang telah Anda ketahui sebelumnya, yang dipakai untuk menilai/memberi makna pada X. pengetahuan yang telah ada pada Anda ini kita sebut saja Y. Dan seperti jawaban atas pertanyaan di atas, Y ada dalam pikiran Anda karena dari pengalaman; dengan kata lain, pengetahuan Y juga sebelumnya hadir dalam pikiran Anda melalui indera, karena pengalaman berarti melibatkan kelima indera. Nah, pertanyaan saya adalah: Apa yang Anda pakai untuk menilai/memberi makna pada pengetahuan Y? Dan dari mana pengetahuan tersebut hadir untuk menilai pengetahuan Y. Mungkin Anda akan menjawab lagi dari pengetahuan sebelumnya, kita misalkan Z. Sekarang, dari mana lagi Anda menilai/memberi makna pada Z. Jika pertanyaan ini kita pertanyakan terus-menerus, maka kita akan sampai pada satu kesimpulan, yaitu: Terdapat sebuah pengetahuan yang hadir dalam diri kita, yang kehadirannya tidak melalui indera sama sekali. Kenapa? Karena indera hanya terbatas pada pengalaman, dan ada suatu masa dimana seseorang belum memiliki pengalaman sama sekali. Argumen ini pun, walau masih kurang kuat, dapat membuktikan keberadaan Tuhan atau apapun sebutan yang ingin Anda pakai untuk menyebut Yang Mahakuasa. Karena, mustahil bagi Tuhan untuk menghidupkan kita semua di dunia ini tanpa adanya pengetahuan sama sekali, yang menjadi bekal bagi kita untuk berjalan dimuka bumi ini. Bukankah pengetahuan itu menjadi bekal bagi kita, dan bagaimana kita menggunakan pengetahuan itu akan membuat kita sukses dan bahagia. Jadi, mustahil seseorang terlahir tanpa pengetahuan sama sekali. Pengetahuan awal, yang kita pakai untuk memberi makna pada pengetahuan-pengetahuan baru yang masuk melalu kelima indera kita.

Nah, pengetahuan awal inilah (pengetahuan yang hadir dalam diri kita dan tidak melalui pengalaman/indera) yang sesungguhnya merupakan pengetahuan yang sama persis dengan wilayah/realitas. Karena jika tidak, maka kebuntuanlah yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan ini adalah sesuatu yang sangat mustahil. Tuhan pasti telah memberikan kepada kita sebuah pengetahuan yang benar dan sesuai dengan realitas, dimana dengan pengetahuan ini kita berjalan di muka bumi. Dalam ilmu filsafat, pengetahuan awal (pengetahuan yang sesuai dengan realitas, dan menjadi pengetahuan awal kita untuk memberi makna pada realitas) ini disebut dengan NON-KONTRADIKSI.

Non-kontradiksi dapat kita sebut sebagai PEMBEDA. Sebuah pengetahuan awal bagi manusia untuk melakukan suatu pembedaan. Anda hanya sama dengan Anda sendiri, dan Anda mustahil sama dengan saya. Batu hanya sama dengan batu, dan mustahil sama dengan air. Inilah pengetahuan pembeda. Secara realitas, setiap yang ada adalah sesuatu yang berbeda. Kalau semuanya sama, maka mustahil bagi seorang bayi bisa meminum susu ketika baru pertama kali lahir. Kemampuan seorang bayi membedakan antara mana susu dan yang bukan susu telah membuatnya dapat tumbuh menjadi lebih besar. Pengetahuan pembeda adalah pengetahuan yang sama persis dengan realitas, karena setiap realitas itu berbeda-beda.

Pengetahuan pembeda ini juga sering disebut sebagai tashdiq (pembenaran). Jadi dalam Filsafat Timur, sumber pengetahuan itu dibagi atas dua, yaitu tashdiq dan tashawwur. Tashdiq (pembenaran) adalah sebuah pengetahuan awal yang berfungsi untuk memberi makna dan kehadirannya tidak melalui indera (pengalaman), sedangkan tashawwur adalah pengetahuan sekunder yang berasal dari pengalaman inderawi. Mari kita lihat proses kerjanya!

Ketika indera mendapatkan pengetahuan, misalkan “bunga”; maka “bunga” adalah pengetahuan yang belum memiliki makna, karena indera tidak bisa memberikan makna bagi sesuatu. Bahkan pengetahuan “bunga” pun belum memiliki realitas. Pengetahuan “bunga” ini disebut tashawwur atau pengetahuan yang berasal dari indera. Ketika pengetahuan “bunga” masuk melalui indera, maka kemudian akan diberi nilai (pembenaran) terhadapnya, misalkan “bunga itu indah”. Penunjukkan pada jenis bunga tertentu (kata “itu”) dan penilaian terhadapnya (kata “indah”) dilakukan oleh pengetahuan yang berfungsi memberikan makna dan realitas yang telah ada sebelumnya dalam pikiran kita, dan disebut sebagai tashdiq (pembenaran). Jika sebelumnya pengetahuan “bunga” belum memiliki realitas, maka dengan adanya penunjukkan terhadap “bunga” tertentu dan penilaian terhadapnya, telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa bunga tersebut memiliki realitas seperti yang telah ditunjukkan dan dinilai sebelumnya. Penunjukkan terhadap “bunga” tertentu mengisyaratkan kepada kita akan adanya suatu kemampuan pembeda pada diri manusia, karena dengan kemampuan tersebut, maka seorang manusia bisa menunjukkan yang manakah realitas sesungguhnya.

Dan, seiring dengan waktu, pengetahuan tashdiq ini pun berkembang dan semakin kompleks, seiring dengan semakin banyaknya pengetahuan pada diri manusia.

Jadi, Anda dapat melihat bahwa sesungguhnya – menurut filsafat timur – ada penjelasan sebelumnya ketika menjelaskan tentang masuknya sebuah pengetahuan dalam diri manusia. Karena penjelasan barat hanya membagi sumber ilmu itu ke dalam satu bagian saja, yaitu melalui indera; dan inilah pandangan dunia modern setelah melalui abad kegelapan dalam tradisi barat.

Kenapa harus ada penjelasan tambahan akan adanya sumber ilmu yang lain, seperti yang dibahas dalam filsafat timur? Karena jika kita kembangkan penjelasan dari barat tersebut, maka ujung-ujungnya manusia akan masuk ke dalam wacana atheis. Mengapa? Karena jika sumber ilmu itu hanya satu sumber saja, yaitu indera (pengalaman), maka akan sangat sulit untuk menjelaskan segala sesuatu yang bersifat meta-fisik. Itulah sebabnya pandangan dunia modern menolak akan adanya meta-fisik. Bukankah Tuhan itu diluar jangkauan fisik (indera).

Namun, perlu diingat bahwa tulisan ini tidak bermaksud membuat dikotomi antara barat dan timur, namun lebih kepada saling melengkapi atas apa yang ditemukan di barat dan apa yang ditemukan ditimur. Saya sendiri pun belajar banyak atas apa yang telah ditemukan oleh dunia barat. Inilah yang menjadi penyebab kenapa saya begitu mendalami NLP. Hal ini disebabkan karena ternyata dasar dari NLP telah saya pelajari sebelumnya ketika mempelajari Logika dan Filsafat Timur sejak tahun 1997. Apa yang saya utarakan barusan hanyalah penambahan sedikit dari masuknya pengetahuan ke diri manusia ala NLP. Karena menurut hemat saya, sebuah keyakinan itu ada yang berdasarkan pengetahuan, selain berdasarkan pada penyaksian (kehadiran, hudhuri). Nah, logika dan filsafat timur yang saya pelajari adalah sebuah sumber keyakinan berdasarkan pada pengetahuan. Dengan mempelajarinya, seseorang bisa yakin akan keberadaan Tuhan, dan seluruh manifestasi-Nya (ciptaan-Nya). Saya juga melihat bahwa dasar dari NLP ini merupakan dasar yang jika dilakukan beberapa penambahan tertentu bisa dipakai sebagai argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan, selain dipakai untuk ilmu meraih kesuksesan. Bukankah kesuksesan yang holistik adalah kesuksesan yang berlandaskan pada keyakian yang kuat terhadap Tuhan, dan bagaimana memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Semoga tulisan ini menambah khazanah berpikir!

2 comments:

  1. Tulisan-tulisan Mas Syahril semakin hari semakin berbobot aja nih, makin muantap buanget gitu...

    Salut, dan Sukses selalu.
    Wasalam,
    Wuryanano
    http://wuryanano.com/

    ReplyDelete
  2. Tulisan-tulisan Mas Syahril semakin hari semakin berbobot aja nih, makin muantap buanget gitu...

    Salut, dan Sukses selalu.
    Wasalam,
    Wuryanano
    http://wuryanano.com/

    ReplyDelete