Friday, November 9, 2007

Citra Diri Sebagai Motivasi Belajar Pada Anak


Sebuah penelitian dari banyak pakar pendidikan terkenal di dunia menyebutkan bahwa citra diri adalah faktor sangat penting dalam dunia pendidikan. Sayangnya, hampir setiap sekolah tidak mengajarkan bagaimana cara menjaga dan meningkatkan citra diri setiap anak di kelas. Bahkan penelitian di Spanyol menyebutkan bahwa prestasi akademik berbanding lurus dengan citra diri yang baik.

Mungkin kabar yang sangat memprihatinkan adalah bahwa ternyata hampir setiap anak memiliki citra diri yang kurang baik, dan ini seringkali dihancurkan oleh para guru dan orang tua. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa citra diri anak, kebanyakan hancur ketika anak menginjak usia pendidikan Sekolah Dasar.

Sungguh ironis bukan? Di satu sisi, para guru dan orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang berhasil, tapi di sisi yang lain, kebanyakan para guru dan orang tua justru menghancurkan citra diri anak mereka.

Citra diri dapat kita gambarkan sebagai cermin diri. Yaitu apa saja gambaran seorang anak terhadap dirinya sendiri. Setiap persepsi anak tentang dirinya, selain berasal dari pendapatnya sendiri juga sangat dipengaruhi oleh pendapat orang lain tentang dirinya, khususnya para guru dan orang tua mereka. Kebanyakan anak memandang dirinya sebagai anak yang bodoh karena lebih sering mendengarkan kata-kata dan penilaian bodoh dari para guru dan orang tuanya.

Apalagi jika sang anak sudah mendapatkan label tidak mampu, maka sang anak pun akan cenderung memandang dirinya sebagai anak yang tidak mampu. ”Yah sudahlah, mau bagaimana lagi. Saya ini kan bodoh”, demikian batin hampir kebanyakan anak.

Kecenderungan memandang rendah diri sendiri tidak terlepas dan sangat erat kaitannya dengan sistem emosi pada diri. Padahal sistem emosi inilah yang menjadi penggerak bagi proses belajar anak. Jika seorang anak memandang rendah dirinya, maka sudah pasti ia akan memiliki harga diri yang rendah. Secara emosional ia akan merasa minder dan malu. Emosi ini kemudian akan memandu dirinya untuk berhenti berusaha ketika melakukan proses belajar. Padahal sebuah proses belajar adalah proses yang bersifat pengulangan dan senantiasa menuntut kita untuk selalu mencoba hal-hal yang baru dan belajar dari setiap kegagalan. Artinya semakin sering kita melakukan pengulangan terhadap objek tertentu (tanpa berhenti berusaha atas setiap kendala yang dihadapi), maka koneksi di otak kita akan semakin menguat, yang pada akhirnya membuat kita menjadi anak yang cerdas.

Namun, bagaimana mungkin proses pengulangan ini akan terjadi jika motivasi dalam dirinya tidak ada. Dan ketiadaan motivasi ini disebabkan karena sistem emosi negatif yang berada dalam dirinya, yang disebabkan oleh citra diri yang buruk.

No comments:

Post a Comment