Thursday, November 29, 2007

MEMBUKTIKAN KEBERADAAN TUHAN DENGAN NLP

Saya mulai bersentuhan dengan ilmu berpikir sejak tahun 1990. Selain itu saya tipe perenung, sehingga membuat diri saya banyak merenung dan seringkali menggunakan ilmu tentang berpikir untuk menyelesaikan masalah-masalah yang saya hadapi waktu itu. Hal ini kemudian membawa saya sebagai seorang konsultan tentang penanganan berbagai masalah psikologi sejak tahun 1992. Daftar klien saya waktu itu adalah teman-teman saya, yang kemudian meluas kepada temannya teman saya.

Pada tahun 1997, saya kemudian mulai secara serius mendalami ilmu tentang berpikir ini, saya semakin menyukai dan mendalami ilmu tentang logika dan filsafat yang bersifat holistik. Kesukaan saya tentang dunia berpikir dan proses pengembangan diri membuat saya kemudian berkenalan dengan NLP pada tahun 2002, yang saya kenali setelah mempelajari metode belajar-mengajar Accelerated Learning. Ketertarikan saya tentang ilmu berpikir ini membuat saya begitu senang dengan NLP dan mendalaminya, hingga membuat saya sempat belajar kepada Bapak Ronny F.R. seorang praktisi NLP yang juga master practitioner NLP.

Dalam proses itu ternyata saya menemukan bahwa apa yang saya pelajari dalam logika dan filsafat holistik memiliki landasan yang kurang lebih sama dengan NLP yang saya pelajari. Dalam logika dan filsafat, hal pertama yang menjadi fokus perhatian adalah mengetahui secara logis dan realistis tentang parameter kebenaran.

Oleh sebab itu, membuktikan keberadaan Tuhan haruslah dimulai dengan mengetahui kerangka berpikir secara benar. Bagaimana cara kita mengetahui sesuatu benar atau salah, adalah pembahasan utama kerangka berpikir tersebut. Mengenai kerangka berpikir tersebut, insyaAllah akan kita bahas dalam sebuah tulisan tersendiri. Kali ini kita akan mencoba membuktikan keberadaan Tuhan dengan menggunakan salah satu tools NLP.

Sebelum kita membahasnya, pertanyaan paling utama yang pertama kali harus kita lontarkan adalah: Untuk apa sih kita harus membuktikan keberadaan Tuhan? Ngapain harus repot-repot untuk dibuktikan? Sebenarnya jawaban untuk pertanyaan ini akan semakin mudah dimengerti ketika kita telah membahas tentang kerangka berpikir. Namun, terdapat sebuah analogi sederhana yang dapat kita pakai untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Sekiranya saya dan Anda ketemu, tidak peduli pada pertemuan pertama atau pada pertemuan yang sudah berkali-kali, kemudian dalam pertemuan tersebut saya berkata kepada Anda, ”Eh, tahu nggak? Sewaktu tadi saya berjalan kemari, saya ketemu dengan seorang manusia biasa tapi memiliki jumlah kepala sebanyak seratus kepala, jumlah tangannya lima, dan kakinya terdiri dari sepuluh buah kaki.” Apa reaksi Anda? Apapun reaksi Anda, maka cuma ada dua reaksi utama, yaitu percaya dan tidak percaya. Anda pilih yang mana? Dalam masyarakat modern yang kita jalani saat ini, maka sudah tentu reaksi tak percaya itu akan segera muncul. ”Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Coba buktikan kepada saya kebenaran informasi tersebut?” ungkap Anda. Masyarakat modern memiliki sebuah keyakinan bahwa segala sesuatu itu harus dibuktikan kebenarannya baru kemudian dianggap benar secara sah. Nah, bagaimana dengan Tuhan?

Sebelum Anda buru-buru menjawab, saya ingin mengajak Anda untuk melihat hal ini secara lebih luas. Dalam dunia sains dan teknologi, sebuah informasi dapat disebut benar jika sudah terbukti benar, dan biasanya dunia sains dan teknologi akan menggunakan parameter empiris untuk membuktikan sebuah kebenaran informasi. Artinya informasi tersebut haruslah dapat kita lihat secara empiris baru kemudian dapat dibenarkan (sekali lagi, mengenai parameter kebenaran akan kita bahas pada kerangka berpikir, mohon doanya!). Itulah sebabnya dalam dunia sains, khususnya pada masa-masa awal kejayaan sains dalam peradaban manusia, kebenaran akan Tuhan itu dinafikan dan tidak dianggap sebagai mutlak ada, karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Mengenai hal ini, Anda bisa membaca sejarah peradaban sains, setelah berhasil melalui abad kegelapan.

Bagi kita yang sudah beragama, maka keberadaan akan Tuhan sudah tidak dipertanyakan lagi. Namun, sudah tentu hal ini akan sedikit mengganjal di hati, karena begitu banyak hal yang selalu kita pertanyakan kebenarannya, tetapi ketika berbicara tentang Tuhan, maka kebanyakan dari kita bersifat dogmatis. Saya mohon kepada Anda yang membaca untuk tidak segera buru-buru marah kepada saya, karena sedikit pun saya tidak bermaksud untuk mempengaruhi keyakinan Anda tentang keberagamaan Anda. Apa yang saya tulis ini hanya sekedar merupakan jawaban atas tantangan para ilmuwan yang selalu menggunakan empirisme sebagai parameter keabsahan sesuatu. Dan ternyata NLP yang saya pelajari memiliki basic yang sama dengan logika-filsafat holistik yang dulu saya pelajari. Itulah sebabnya saya akan menggunakan salah satu tools NLP untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Sebenarnya ada dua cara umum untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu hushuly dan hudhury. Kedua cara itu adalah dua bentuk metode dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Seandainya saja Anda tidak tahu yang namanya gula pasir, maka ketika Anda mendengar tentang gula pasir, Anda tentu akan menanyakan: ”Apa itu gula pasir?” Kemudian ada seseorang yang kemudian menjelaskan kepada Anda tentang gula pasir dengan cara seperti ini: gula pasir itu warnanya putih, rasanya manis, ia berbentuk seperti pasir sehingga disebut gula pasir. Penjelasan seperti ini sudah cukup menggambarkan kepada Anda tentang ”apa itu gula pasir” hanya saja belum sampai pada kejelasan sempurna. Nah, penjelasan seperti ini disebut dengan hushuly, yaitu menjelaskan sesuatu dengan menggunakan media atau perangkat penghubung, bukan dengan ”merasakan” langsung gula pasir tersebut.

Bagaimana kalau Anda bertanya, ”Apa itu gula pasir?” Kemudian seseorang menjelaskan kepada Anda dengan langsung ”menghadirkan” gula pasir di hadapan Anda. Anda ”melihat” secara langsung gula pasir tersebut, bahkan dapat ”merasakan” gula pasir tersebut. Dengan cara seperti ini, maka tidak perlu susah-susah lagi menjelaskan secara argumentatif tentang gula pasir, karena gula pasir tersebut telah langsung ”hadir” kepada Anda. Metode ini disebut dengan hudhury, yaitu ”menghadirkan” langsung sebuah pengetahuan kepada diri sendiri. Mengenai cara hudhury ini, Jalaluddin Rumi mempunyai sebuah metafora yang menjelaskan kepada kita bagaimana membuktikan Tuhan dengan cara ”kehadiran”. Metafora tersebut digambarkan Rumi dalam bentuk sebuah cerita berikut ini:

Pernah dua orang, Cina dan Yahudi, menghadap Sultan. Kedua orang tersebut mengakui kehebatan diri mereka masing-masing di hadapan sang Sultan. Orang Cina mengatakan, ”Kami perupa yang lebih utama.” Orang Yahudi pun tak mau mengalah dan berkata, ”Punya kamilah semua yang istimewa.”

Akhirnya sang Sultan pun memberikan perintah kepada mereka untuk membuktikan mana diantara hiasan mereka yang paling indah. Akhirnya mereka diberikan dua buah ruangan yang berhadapan satu dengan yang lainnya. Kesepakatan yang terjadi adalah bahwa mereka berdua harus menghias ruangan mereka masing-masing. Ruangan mana yang paling indah maka itulah pemenangnya. Orang cina berkata kepada Sultan, ”Berikan kepada kami seratus warna!” Sultan pun membuka gudangnya dan berkata, ”Apapun yang kau butuhkan untuk menghias ruanganmu ada di sana. Ambillah apapun yang kau butuhkan.” Di pihak lain, orang Yahudi itu berkata kepada Sultan, ”Kami tidak butuh warna, tidak perlu cat. Untuk karya kami, kami hanya butuh kaus penghilang karat.”

Maka dimulailah perlombaan menghias ruangan itu. Keduanya menutup ruangan mereka masing-masing, agar mereka bisa menghias ruangan dan memberikan kejutan kepada Sultan. Orang Cina pun menghias ruangan dengan berbagai perhiasan yang Sultan sediakan kepada dirinya. Begitu cantik dan mempesona seluruh hiasan dalam ruangan orang Cina tersebut. Sedangkan dalam ruangan orang Yahudi, setiap hari ia hanya menggosok ruangan itu dengan penuh telaten. Ia membersihkan seluruh bagian dari ruangan itu dan menggosoknya hingga tampak mengkilap seperti layaknya cermin.

Akhirnya tiba jualah hari yang mendebarkan itu. Kedua orang tersebut telah selesai menghias ruangan mereka masing-masing. Pada kesempatan pertama, Orang Cina pun kemudian menyibak tirai yang menutupi ruangannya sehingga nampak oleh Sultan sebuah pemandangan yang begitu indah dan luar biasa. Belum pernah dalam hidup Sultan, ia melihat ruangan yang secantik dan seindah itu. Sultan begitu takjub dengan keindahan ruangan orang Cina tersebut. Dan kini tibalah giliran orang Yahudi tersebut untuk menyibakkan tirai yang menutupi ruangannya. Pada saat orang Yahudi itu menyibak tirai ruangannya, tidak nampak satu pun perhiasan dalam ruangan tersebut, namun karena begitu mengkilapnya ruangan tersebut sehingga seluruh keindahan yang ada pada ruangan sebelah (ruangan orang Cina) terpantul dengan sangat indah pada ruangan orang Yahudi. Apa yang terlihat indah dalam ruangan orang Cina menjadi semakin indah dalam pantulan sempurna pada ruangan orang Yahudi. Hal inilah yang kemudian membuat Sultan memberikan kemenangan kepada orang Yahudi, yang ternyata adalah seorang sufi yang telah membersihkan hatinya dari berbagai kotoran sehingga dapat memantulkan cahaya Ilahi.

Apa yang digambarkan oleh Rumi adalah bahwa untuk membuktikan keberadaan Tuhan yang paling sempurna adalah dengan cara membersihkan hati, agar Tuhan menjadi ”nampak” pada diri kita. Anda dan saya adalah makhluk yang nyata, tetapi kita tidak akan bisa melihat ”penampakan” diri kita sendiri kecuali dengan dua cara: hushuly atau meminta kepada orang lain untuk menceritakan kepada kita bagaimana rupa kita. Mereka bisa menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk mata, hidung, mulut, dan rupa kita. Atau bisa juga dengan hudhury atau ”melihat” sendiri ”penampakan” diri kita sendiri melalui cermin. Dengan cermin kita bisa ”melihat” sendiri ”penampakan” diri kita. Tapi bagaimana mungkin kita bisa ”melihat” diri kita kalau cermin yang kita pakai adalah cermin yang penuh dengan debu, karat, dan kotoran. Kita harus membersihkan cermin itu terlebih dahulu.

Ini pulalah yang menjadi inti dari membuktikan keberadaan Tuhan secara hudhury, yaitu melalui pembersihan cermin hati, sehingga Tuhan menjadi ”nampak” oleh kita, karena Tuhan itu sangatlah nyata bahkan lebih nyata dibandingkan diri kita sendiri. Hanya dengan cermin hati yang bersih, kita dapat membuktikan keberadaan Tuhan secara hudhury. Alasan ini pulalah yang membuat sebuah kalimat berikut ini menjadi sangat bermakna: Satu-satunya yang harus kita ubah di muka bumi ini adalah diri kita sendiri. Karena jalan menuju Tuhan adalah dengan mengenali diri sendiri, membersihkan cermin hati, agar Tuhan menjadi ”nampak” bagi kita.

Kita sudah melihat metode hudhury, maka mari kita melihat metode hushuly. Kalau Anda mempelajari NLP, maka sudah tentu Anda akan mempelajari tentang CHUNKING. Terdapat dua jenis chunking, chunking up dan chunking down. Dalam logika dan filsafat holistik yang pernah saya pelajari juga terdapat pembahasan tentang chunking ini, hanya saja memiliki penamaan yang berbeda. Chunking up biasa juga diistilahkan dengan pahaman universal, sedangkan chunking down diistilahkan dengan pahaman partikular.

Apa itu chunking? Mari kita lihat dengan contoh berikut ini: misalkan kita mengambil sebuah kata, yaitu ”mobil”. Jika chunking down kata ”mobil” tersebut, maka akan akan semakin banyak derivat dan perbedaannya, yaitu mobil warna biru, mobil warna merah, mobil warna hitam, dan mobil warna lainnya. Semakin chunking down maka semakin banyak jumlahnya dan perbedaannya. Dengan kata lain akan semakin plural dan majemuk. Mobil warna merah saja jika di chunking down memiliki jumlah yang semakin banyak lagi, yaitu mobil merah merk X, mobil merah merk Y, dan mobil merah merk lainnya.

Karena semakin ke bawah semakin banyak dan berbeda, maka chunking down ini juga disebut sebagai meta model. Kita hanya bisa mengklarifikasi sebuah masalah hanya jika kita bisa semakin membuat perbedaan diantara masalah yang disebutkan. Semakin berbeda juga akan membuat kita semakin mudah melihat apa yang dimaksud. Sebagai contoh: Anda diminta untuk mencari mobil teman Anda yang hilang. Akan sangat susah jika teman Anda itu hanya memberitahu kepada Anda bahwa mobilnya yang hilang itu adalah mobil berwarna merah. Anda pasti pusing kan, karena dalam hati Anda akan berkata, ”Mobil merah yang kayak bagaimana? Mobil warna merah itu kan banyak.”

Anda dan saya juga adalah makhluk yang berbeda jika kita semakin chunking down. Menurut saya chunking down sebaiknya hanya digunakan untuk meta model atau mengklarifikasi sebuah masalah, dan tidak digunakan untuk membuat sekat dan perbedaan antara sesama manusia, karena semakin down semakin berbeda dan majemuk.

Jika chunking down akan semakin meta model, semakin berbeda, dan majemuk; maka chunking up akan semakin Milton, semakin sedikit, dan semakin abstrak (tapi nyata). Saya kira kita tidak perlu memberi contoh lagi, karena Anda sudah bisa membuat chunking up hanya dengan contoh chunking down di atas. Kenapa juga disebut semakin ke atas semakin Milton? Alasan sederhanya, ya karena kata-kata yang semakin chunking up adalah kata-kata yang memiliki kesamaan makna untuk setiap orang. Semakin ke atas kita justru semakin sama. Merk apapun sebuah mobil, mereka memiliki kesamaan yaitu sama-sama berwarna merah. Dan kata-kata jenis inilah yang paling sering digunakan untuk menghipnosis seseorang. Cara ini seringkali dipakai oleh seorang pakar hipnosis, Milton Erickson. Itulah sebabnya sering juga disebut semakin up (ke atas) semakin Milton.

Kita sudah membahas secara sederhana tentang chunking up dan chunking down. Dengan tools ini dapat pula kita buktikan keberadaan Tuhan. Anda sudah melihat bukan, bahwa semakin down maka semakin berbeda dan majemuk. Anda bisa mulai dengan apa saja, yang kemudian Anda lakukan chunking down, maka akan semakin terlihat perbedaan dan memiliki tingkat jumlah yang banyak. Tadi kita sudah memakai contoh mobil, Anda bisa memulai dengan contoh apa saja. Jika kita sedikit merenung, maka dapat pula kita katakan bahwa setiap perbedaan di antara kita dan apapun yang ada di alam semesta ini adalah gambaran dari kemajemukan kita di alam semesta ini.

Dan begitu juga sebaliknya, kemajemukan ini akan menuju ketunggalan jika kita melakukan chunking up. Di mulai dari mana saja setiap detil perbedaan, ketika dilakukan chunking up maka akan selalu menuju yang sedikit. Jika kita melakukan chunking up pada setiap detil perbedaan yang ada di alam semesta ini, maka kita pada akhirnya akan berjalan dari perbedaan dan kemajemukan menuju pada kesamaan dan ketunggalan.

Ternyata setiap perbedaan dan kemajemukan ini berujung pada kesamaan dan ketunggalan. Kita semua berasal dari yang sama, dan yang sama itu ternyata tunggal. Dalil tentang ketunggalan ini dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Mudah bukan? Terserah orang mau menyebut apa pada sumber ketunggalan ini, yang jelas semakin kita ikuti chunking up ini, maka pasti akan berujung pada satu sumber ketunggalan. Ini juga merupakan argumentasi, kenapa bisa dari satu Tuhan bisa melahirkan kemajemukan.

Jika semakin down kita akan semakin menemukan pembanding, maka semakin up kita akan menemukan kesamaan dan ketunggalan, yang pada akhirnya kita tidak akan menemukan pembanding. Adakah pembanding bagi Tuhan? Tentu saja tidak, karena tidak ada satu pun yang serupa dengan diri-Nya.

Argumentasi ini merupakan argumentasi sederhana dalam membuktikan keberadaan Tuhan, karena secara rasional dan argumentatif kita mengetahui dengan pasti dan benar bahwa ketika kita melakukan chunking up, maka pasti berujung hanya pada yang sedikit dan akhirnya pada ketunggalan semata. Argumentasi ini mirip dengan sebuah silogisme induktif. Kita tahu bahwa Si A telah mati. Si B juga telah mati. Si A sama dengan Si B, sama-sama manusia, sama dengan manusia lainnya; maka kita tahu jika Si A dan Si B bisa mati maka manusia yang lainnya pun pasti mati. Dan ini benar secara rasional dan argumentatif, sehingga kita tidak perlu lagi harus membuktikan secara empiris satu per satu manusia di muka bumi ini bahwa mereka bisa mati atau tidak. Artinya jika semakin down semakin berbeda dan majemuk, maka secara rasional dan argumentatif kita juga tahu bahwa semakin up pasti semakin sedikit dan menuju ketunggalan.

Walhasil, ini adalah salah satu argumentasi sederhana dalam membuktikan Tuhan secara hushuly. Argumentasi ini sudah cukup kuat untuk membuktikan keberadaan Tuhan, walau masih memiliki satu kelemahan mendasar, yaitu kita masih menggunakan logika induktif, kita masih membuktikan Tuhan dengan menggunakan makhluk. Kita melakukan chunking up tentunya dimulai dengan adanya perbedaan dari setiap makhluk, dan terdapat pula satu argumentasi sederhana bahwa Tuhan itu tidak memerlukan makhluk sedikit pun; jadi bagaimana mungkin keberadaan Tuhan harus didasari dari keberadaan makhluk. Karena jika argumentasi ini digunakan, maka secara logis harus kita katakan bahwa makhluk harus ada terlebih dahulu baru Tuhan itu ada. Sebab kita telah membuktikan keberadaan Tuhan melalui chunking up terhadap makhluk terlebih dahulu. Dan ini tentu saja tidak benar karena adalah mustahil makhluk ada terlebih dahulu baru ada pencipta-Nya. Oleh sebab itu kita harus menggunakan argumentasi yang lain lagi, yang lebih kuat lagi, dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Dan semoga itu bisa kita bahas pada lain waktu.

No comments:

Post a Comment