Wednesday, November 14, 2007

TIDAK MELEKAT KEPADA TUJUAN

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mengaktifkan ”the secret” adalah bersikap pasrah. Ketika berbicara tentang pasrah ini saya banyak sekali mendapatkan defenisi yang agak keliru. Pasrah pada umumnya selalu diartikan sebagai ”Yah, sudahlah. Mau bagaimana lagi?” Selalu saja diartikan sebagai suatu keadaan ketika kita menemui jalan buntu, keadaan dimana sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat.

Oleh sebab itu, banyak orang kemudian mengusung sebuah defenisi baru tentang pasrah, yaitu tidak melekat kepada tujuan. Sering juga diartikan sebagai ”tidak memikirkan apa yang menjadi tujuan ketika tujuan itu sudah ditetapkan”. Dengan kata lain, ketika Anda sudah menetapkan sebuah keinginan, maka usahakanlah agar Anda tidak lagi memikirkan keinginan itu, Anda harus melepaskannya, atau tidak melekat kepada tujuan.

Saya sendiri ingin mengartikan defenisi pasrah itu dengan menguraikan sebuah kisah sufi yang luar biasa. Kenapa demikian? Dalam ilmu logika untuk mencapai defenisi sempurna itu adalah sangat sukar. Oleh sebab itu, ada cara lain untuk mendefenisikan sesuatu dengan cara yang relatif mudah, yaitu melakukan analogi. Nah, analogi ini bisa saja dalam bentuk cerita. Dan inilah defenisi saya tentang pasrah yang saya coba analogikan dalam bentuk cerita di bawah ini:

Pada suatu hari, Nabi Musa a.s. bermaksud menemui Tuhan dibukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, ”Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!”

”Baik”, kata Musa. Ketika melanjutkan perjalanannya, dia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. ”Mau kemana? Tolong tanyakan kepada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah shalat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.

Ketika kembali dari bukit Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, ”Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, ”Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, ”Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar hal itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.

”Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.

Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: ”Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apapun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan Aku senang kepadanya.”

Coba Anda bayangkan jika Anda memiliki seorang teman. Teman Anda sudah merasa terlalu banyak menolong Anda, sehingga membuat teman Anda merasa bahwa ia layak mendapat bantuan Anda jika diperlukan. Dan ternyata Anda hanya bisa memberikan bantuan seadanya kepada teman Anda tersebut. Apa yang biasa terjadi? Teman Anda kemungkinan besar akan merasa dongkol karena bantuan yang Anda berikan tidak impas dengan pertolongannya selama ini. Ketika Anda mendengar keluhan teman Anda tersebut, maka kemungkinan besar pun Anda akan marah dan jengkel sambil berkata, ”Ini orang, syukur sudah saya tolong. Masih belagu lagi. Memangnya hanya dia yang sering menolong saya. Saya pun sudah terlalu sering menolong dirinya.”

Tapi, jika teman Anda tersebut tidak mempersoalkan seberapa besar bantuan yang Anda berikan, maka hati Anda pun akan merasa tenang dan semakin suka dengan teman Anda tersebut.

Jika pada diri kita saja, sering kali kita merasa jengkel jika seseorang yang kita tolong merasa tidak cukup jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukannya selama ini, maka masa kita harus merasa bahwa Tuhan harus membayar semua amal yang telah kita lakukan. Emangnya siapa diri kita ini?

Andaikan pun kita tidak pernah beramal saleh sedikit pun, Tuhan selalu memberikan sesuatu kepada kita. Kita masih bisa hidup dan bernafas saja merupakan salah satu anugerah Tuhan yang paling besar, yang jika kita bayar dengan apapun kita tidak akan sanggup. Kenapa tidak akan sanggup? Coba Anda cari orang di muka bumi ini yang menjual ruh dan jiwa, dimana Anda akan membayar Tuhan sebagai pengganti ruh dan jiwa yang telah Tuhan berikan kepada Anda. Tapi kalau bisa onderdil ruh dan jiwa yang akan Anda bayar harus sama ya dengan yang Tuhan berikan. Mau cari dimana???

Begitu banyak orang yang merasa telah berbuat segalanya, sehingga merasa pantas mengharapkan sesuatu kepada Tuhan. Ia ingin memaksa Tuhan untuk melayani segala keperluannya karena merasa telah berbuat amal kepada Tuhan. Padahal kita juga tahu bahwa tidak ada satu pun amal yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkan sesuatu dari kita. Amal yang kita lakukan adalah semata-mata hanya untuk kita. Jadi, atas dasar apa bahwa Tuhan harus melayani kita karena merasa telah berbuat amal baik.

Inilah makna pasrah yang tergambarkan dalam kisah sufi di atas. Pasrah dapat kita gambarkan sebagai perbuatan baik yang terus-menerus, tidak peduli bahwa ada balasan atau tidak terhadap perbuatan baik kita, kita selalu merasa senang dan bahagia, kita bersyukur atas apapun balasan yang kita terima.

Jika kita telah menetapkan sebuah tujuan, maka berbuatlah untuk menggapainya, tapi jangan sampai kita merasa telah berbuat segalanya sehingga kita merasa pantas untuk mendapatkan tujuan tersebut, kita merasa harus untuk mendapatkan tujuan tersebut, kita diperbudak oleh tujuan tersebut. Karena jika kita merasa bahwa tujuan tersebut harus kita dapatkan karena merasa telah berbuat segalanya, maka hanya stres dan frustasilah yang akan menimpa kita. Mungkin inilah makna pasrah, yang merupakan bagian penting dari the secret.

No comments:

Post a Comment