Wednesday, August 4, 2010

MAAFKAN DIRIKU!


Mendekati bulan ramadhan ini, dapat kita lihat ada semacam tradisi pada sebagian besar masyarakat untuk datang ke kuburan. Tentunya mereka datang untuk mendoakan keluarga mereka yang telah meninggal. Selain itu, dapat pula kita temukan suatu fenomena pemanfaatan teknologi, yaitu SMS yang dikirim ke kerabat dan handai taulan untuk saling maaf-memaafkan. Kadang sebagian manusia itu lucu juga. Karena biasanya SMS permohonan maaf itu dikirimkan ke keluarga dan sahabat yang belum tentu kita berbuat khilaf. Mungkin saja ada ke-khilafan yang tanpa disadari yang pernah kita lakukan. Tapi yang saya maksud lucu adalah, bagaimana dengan keluarga atau sahabat yang betul-betul memang ada sedikit perselisihan dan kemudian menjadi masalah besar? Apakah mereka-mereka itu juga sudah kita kirimkan SMS permintaan maaf, di saat ramadhan yang sebentar lagi tiba.

Saya sih ndak mau berbicara tentang manfaat dan mudharat ketika memberi dan meminta maaf atau tidak mau memaafkan sama sekali. Biarlah hal itu menjadi urusan para penceramah. Tentunya ada sangat banyak ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat hadis yang berkenaan dengan kata “maaf”. Tapi kali ini saya ingin membahasnya dari sudut pandang teknologi pikiran.

Kenapa sih sulit sekali untuk memaafkan orang lain atau meminta maaf? Dari sudut pandang psiko-analisa, akan dikatakan bahwa kita sudah dari kecil diajarkan untuk merasa gengsi untuk meminta maaf terlebih dahulu. Sudah terlalu sering diajarkan bahwa meminta maaf akan menjatuhkan harga diri kita, apalagi jika kita merasa bahwa kita-lah yang benar dalam masalah tersebut.

Itu menurut psiko-analisa. Tapi, saya ingin membahasnya lebih kepada cara kerja pikiran kita. Penelitian dibidang neuro-sains semakin membuktikan bahwa “emosi” memegang peranan sangat penting dalam melakukan suatu tindakan tertentu. Emosi kita-lah yang menjadi motivator bagi kita untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh, malas. Bukankah salah satu hal yang membuat kita cenderung menunda adalah karena setiap kali kita ingin melakukan action, selalu saja ada emosi tertentu yang membuat kita merasa enggan melakukan action, yang biasanya kita sebut sebagai malas. Tentunya bukan hanya malas, rajin juga merupakan sebuah istilah yang kita sebutkan ketika kita merasakan suatu emosi bahagia campur aduk dengan semangat tinggi untuk melakukan action.

Atau misalkan, dihadapan Anda sekarang ada remote TV dan batu sebesar genggaman tangan. Anda diminta untuk memilih salah satunya saja, untuk melakukan suatu action, yaitu melempar mangga yang letaknya di bagian atas sebuah pohon mangga. Anda pilih yang mana? Kebanyakan orang, tentu akan memilih sebuah batu sebesar genggaman tangan. Walaupun hal ini Anda lakukan tanpa Anda sadari, penelitian sudah membuktikan bahwa terdapat suatu dorongan emosi tertentu yang membuat Anda memilih batu dibandingkan remote TV untuk melempar mangga.

Nah, dorongan yang terjadi tanpa Anda sadari ini merupakan suatu dorongan “emosi” tertentu di dalam diri Anda. Dan “emosi” kita senantiasa mengikuti persepsi/keyakinan kita. Jika di level bawah sadar, tanpa Anda sadari, Anda memiliki keyakinan bahwa meminta maaf itu membuat harga diri kita jatuh, maka akan selalu ada sebuah dorongan “emosi” tertentu yang membuat Anda sama sekali enggan untuk memberi maaf, apalagi meminta maaf terlebih dahulu.

Walau mungkin secara rasional, Anda menginginkan suatu tindakan memaafkan, tapi entah bagaimana, selalu ada dorongan yang “irasional”, yang membuat Anda tidak mau memaafkan dirinya. Sebenarnya dorongan “irasional” di dalam hati Anda itu juga bersifat sangat rasional. Mari kita mengambil sebuah analogi komputer. Ketika asyik-asyiknya Anda menggunakan komputer Anda, eh … tiba-tiba komputer Anda secara otomatis melakukan proses shut down sendiri. Anda kemudian meng-ON-kan kembali komputernya. Dan terjadi lagi, sedang asyik-asyiknya Anda main game, tiba-tiba shut down kembali. Anda kemudian rada jengkel dan meminta tolong teman yang jago betulin komputer. Bukan hanya jago betulin, juga jago utak-atik program komputer (btw … ada teman saya yang jago betulin dan utak-atik komputer, tinggalnya di MU).

Setelah Anda bawa ke teman Anda. Dia mengatakan bahwa ternyata komputer Anda ter-infeksi virus bronthok. Teman Anda itu kemudian berkata lagi bahwa jika virus bronthoknya masih ada, maka komputer Anda akan selalu shut down sendiri ketika di-ON-kan. Kemudian dia menjelaskan bahwa virus adalah sejenis program yang melakukan sebuah sabotase pada program-program di komputer Anda. Untuk mengatasinya, maka harus dilakukan sebuah proses “mengubah” program virus tersebut, agar virusnya tidak bisa lagi melakukan proses intervensi terhadap berbagai program di komputer Anda. Kalau bahasa sederhanya sih, teman Anda akan menyuruh Anda menggunakan program anti virus yang terbaru agar virusnya lenyap.

Nah pembaca. Proses di level bawah sadar kita itu kayak analogi di atas. Selalu ada semacam “sabotase” yang selalu membuat kita bertindak “irasional” untuk tidak mau memberi maaf atau meminta maaf. Secara rasional kita tahu apa itu “maaf”, dan kita tahu pula bahwa meminta maaf itu baik dan jika tidak memaafkan itu tidak baik. Tapi … itu tadi … selalu ada dorongan “irasional” yang membuat kebanyakan dari kita sangat sulit untuk memaafkan atau meminta maaf.

Hal itu terjadi karena ada semacam program “virus” yang bercokol di level bawah sadar kita. Bukankah virus komputer pun selalu bekerja pada level under-program? Nah, dengan melakukan suatu modifikasi program pada “virus” mental, maka percayalah RASA SULIT DAN BERBAGAI RASA ENGGAN UNTUK MEMAAFKAN DAN MEMINTA MAAF itu pasti akan hilang, dan tergantikan dengan rasa ingin meminta maaf dan memberi maaf.

Wow … betapa indahnya hidup ini dengan meminta maaf dan memberi maaf atas semua khilaf yang mungkin pernah kita lakukan. MAAFKAN KAMI SEKELUARGA YA!


2 comments: