Thursday, February 7, 2019

MARKETING DAN MEMAKNAI KEHIDUPAN


Jika suami Anda telat tiba di rumah, maka pasti ada alasan yang disampaikannya. Tidak peduli apakah alasan itu hanya rekayasa ataukah memang benar faktanya. Begitu pula ketika istri Anda belanjanya kebanyakan, maka iapun akan selalu mengemukakan alasannya kenapa ia mesti belanja ini dan itu. Bahkan saat Anda mengambil jalan yang ini dan bukan yang itu atau mesti belok kesini dan bukan belok kesitu, Anda akan selalu menemukan alasan untuk dikemukakan. Anda akan selalu beralasan mengapa memilih jalur tersebut.

Manusia adalah makhluk alasan. Tanpa adanya alasan, hidup akan terasa hambar dan tak berarti. Itu karena alasan adalah makna yang inheren pada diri kita. Dan makna inilah yang membuat kita hidup atau mati (hampa). Makna ini jugalah yang membuat kita layak menjalani kehidupan ataukah putus asa; bahagia atau menderita; hingga menaikkan atau menurunkan derajat diri di hadapan Tuhan. Semua yang kita lakukan akan selalu kita maknai sedemikian rupa. Bahkan untuk hanya sekedar makan dan minum sekalipun. Inilah yang membedakan kita dengan hewan. Karena kita menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan kita, bukan hanya sekedar menjalani dan memenuhinya semata; melainkan juga akan selalu ada makna yang mengiringinya.

Kadar makna menentukan siapa kita. Itulah sebabnya, marketing pun mengalami evolusi. Marketing berevolusi dikarenakan adanya kadar makna yang berbeda pada manusia seiring dengan perubahan zaman. Dulu manusia memaknai suatu produk karena fungsional dan keterjangkauannya semata. Baginya, jika suatu produk itu bagus dan bermanfaat serta terjangkau, maka ia akan terus membeli. Inilah makna yang dilekatkan manusia atas suatu produk. Jadi jangan heran, alasan yang dikemukakan akan selalu pada konteks fungsional dan ekonomis produk.

Seiring perubahan waktu dan zaman, manusia tidak lagi hanya memaknai produk dari fungsinya semata. Manusia ingin diperhatikan dan dimanjakan. Baginya, suatu produk akan bermakna ketika dirinya tidak hanya dipandang sebagai konsumen semata. Ia tidak mau dibutuhkan hanya karena uangnya. Ia tidak mau lagi hubungan yang terjadi hanya atas dasar transaksional semata. Terlebih lagi semakin banyak produk yang menawarkan kualitas dan harga kompetitif. Manusia pada konteks ini tidak lagi memaknai produk sebagaimana produk, melainkan memaknai produk yang inheren dengan kepedulian atas dirinya. Baginya, suatu produk akan bermakna jika produk tersebut inheren dengan kepedulian terhadap dirinya. Terjadi peningkatan makna baru atas suatu produk. Itulah sebabnya, manusia akan memberi lagi alasan tambahan mengapa ia memilih produk ini dan bukan yang itu. Alasan yang dibuat sudah cenderung subjektivitas-emosional.

Karena manusia adalah makhluk alasan; makhluk yang padanya inheren akan makna; dan tentu saja ada pembaharuan makna pada dirinya, maka sudah pasti iapun akan memandang suatu produk dengan cara pandang yang juga berbeda dari sebelumnya. Jika suatu produk mampu memberikan makna kepedulian padanya, maka hal ini akan berevolusi pada pemaknaan baru, yaitu tidak ada lagi sekat antara dirinya dan produk tersebut. Baginya ia adalah produk tersebut, dan produk tersebut adalah dirinya. Dirinya dan produk telah mengalami satu kesatuan utuh. Dan karenanya, produk tersebut telah menjadi perwakilan atas dirinya; atas nilai-nilai yang ada pada dirinya. Inilah makna baru yang melekat pada suatu produk. Alasan yang dikemukakan dalam penggunaan produk, bukan hanya subjektivitas-emosional; tetapi juga sudah pada jati dirinya.

Pada konteks ini, marketing telah berevolusi kepada nilai-nilai terdalam manusia.
Jika seekor kucing makan hanya karena tubuhnya membutuhkan makanan, maka manusia menginginkan sesuatu bukan hanya sekedar kebutuhan tubuhnya; melainkan juga karena ingin memenuhi kebutuhan jiwanya, baik disadari ataupun tidak disadari. Dan ini nampak jelas pada alasan yang dikemukakan atas pilihannya pada suatu produk. Sekali lagi, derajat kita ditentukan oleh kadar makna yang inheren pada diri kita sendiri.

No comments:

Post a Comment