Walaupun rekor yang dicatat oleh
Bannister hanya bertahan selama dua bulan saja, namun satu hal penting yang
harus diingat adalah bahwa mengapa para dokter menganggap pada waktu itu berusaha
berlari sejauh 1 mil di bawah 4 menit merupakan sesuatu yang berbahaya? Bukan
hanya itu, tetapi setiap kali suatu rekor dipecahkan oleh para atlit maka
pertanyaan yang penting untuk diajukan sampai kapan batas rekor itu bisa
berakhir? Seperti yang dikatakan seorang peneliti yang bernama Geoffroy
Berthelot, “Jika Anda hanya sekedar meramalkan berdasarkan suatu ekstrapolasi,
maka semakin jauh Anda mengekstrapolasi data tersebut, Anda akan mencapai
sebuah titik dimana rekor lari 100 meter dapat dicapai di bawah 1 detik. Tapi
Anda tidak akan mampu melewati batas-batas fisik tubuh kita. Kita memang tidak
tahu secara persis seberapa jauh batasan tersebut, akan tetapi kita tahu pasti
bahwa rekor waktu itu tidak mungkin bisa berada di bawah 0 detik. Tidak mungkin
Anda bisa mencapai garis finish bahkan sebelum perlombaan itu dimulai.”
Otak ternyata memiliki mekanisme
tersendiri dalam menciptakan batasan bagi tubuh kita. Secara otomatis otak akan
menciptakan “kelelahan” yang bersifat murni agar tubuh kita kembali ke kondisi
semula sesuai batasan-batasan yang ada pada diri kita. Timothy Noakes – seorang
dokter olahraga sekaligus ahli fisiologi – menemukan bahwa otak kita
sesungguhnya telah memprediksi datangnya kelelahan pada diri saat melakukan
sebuah olahraga. Kelelahan yang dimaksud adalah secara otomatis ketika otak
membuat suatu mekanisme pengendali yang memperlambat kinerja tubuh, dimana
jantung dan paru-paru tidak lagi menyuplai semua oksigen dan nutrisi yang
diminta otot. Saat itu asam laktat akan mulai menumpuk sebagai sumber energi
terakhir. Lalu otot-otot tubuh akan mulai kelelahan, dimana tubuh telah
mengeluarkan semua kemampuannya, tetapi kemudian ia akan berhenti dan tak mampu
berbuat apa-apa lagi.
Kelelahan
yang tercipta saat kita telah mengeluarkan semua kemampuan kita hingga mencapai
batas yang paling maksimal, sesungguhnya merupakan prediksi otak atas tingkat
pengharapan yang kita buat sendiri. Dan tingkat pengharapan ini berhubungan
pada seberapa jauh kita meletakkan batasan yang kita buat sendiri. Sebagai contoh,
jika Anda adalah seseorang yang sudah terlatih untuk lari marathon sejauh 10
km, maka saat Anda berlatih untuk menyelesaikan lari tersebut, pengendali pusat
yang ada di otak Anda akan membuat prediksi kapan paru-paru Anda akan mulai
terasa sakit, apa yang akan dirasakan oleh kaki Anda, dan seberapa jauh Anda
harus memaksakan diri Anda sendiri; berdasarkan data-data yang diambil dari
pengalaman berlari yang telah Anda lakukan selama ini.
Jadi saat Anda mulai berlari dalam
sebuah perlombaan, maka otak Anda akan mulai menyesuaikan tingkat pengharapan
Anda yang telah dibuat (yaitu untuk mencapai garis finish yang berjarak 10 km),
dengan menggunakan umpan balik yang berasal dari indera dan sistem tubuh Anda
untuk memastikan bahwa Anda bisa mencapai garis finish; dan tetap menyisakan
sedikit energi cadangan pada tubuh Anda. Proses ini dilakukan oleh otak Anda
untuk menyesuaikan tubuh Anda selama berlari dengan tingkat pengharapan Anda
dalam mencapai garis finish, dimana otak akan menyesuaikan banyak sinyal “berlari”
yang dikirimkan ke otot-otot Anda. Sehingga saat Anda telah mencapai garis
finish dan sedikit menjauh dari garis finish, maka biasanya secara tiba-tiba
rasa lemas akan menyelimuti diri Anda dan menciptakan kelelahan pada tubuh sebagai model untuk
mempertahankan dan melindungi tubuh. Ini adalah suatu model bagi cara kerja
otak untuk menghambat kinerja tubuh Anda dalam rangka mengantisipasi
masalah-masalah yang mungkin terjadi.
Itulah sebabnya, bagi Anda yang
tidak terlatih untuk berlari sejauh 10 km, Anda akan dengan mudah merasa lelah
setelah berlari beberapa meter; sebagai akibat dari tingkat pengharapan yang
tercipta di otak Anda bahwa Anda hanya mampu berlari sejauh sekian meter saja.
Dan ketika sudah mencapai sekian meter tersebut, maka secara otomatis sistem
pengendali di otak akan membuat tubuh Anda merasa lelah, hanya agar tubuh Anda
tetap terjaga dan terlindungi dari masalah-masalah yang tidak perlu.
Hal ini juga menunjukkan kepada kita
bahwa batasan-batasan yang mungkin terjadi pada diri kita, dan bagaimana tubuh
kita mencapai batasan-batasan tersebut, sesungguhnya merupakan cara kerja
pikiran kita dalam menciptakan tingkat pengharapan. Sebagaai bukti akan hal
ini, para ahli fisiologi asal Inggris melakukan serangkaian percobaan terhadap para
pesepeda. Mereka diminta untuk mengayuh sepeda statis untuk menempuh jarak jauh
sesingkat mungkin selama satu jam. Pada setiap interval waktu tertentu, ada
kelompok pesepeda diberikan cairan karbohidrat dan ada yang hanya diberikan air
suling biasa. Agar tidak terjadi perbedaan rasa pada kedua jenis cairan
tersebut, maka peneliti mencampurkan pemanis buatan dalam dosis tinggi pada
kedua cairan tersebut. Cairan yang diberikan ini hanya sebatas di mulut para
pesepeda saja, dimana para pesepeda diminta berkumur-kumur dengan cairan yang
diberikan.
Ternyata mulut kita dapat mendeteksi
adanya kandungan karbohidrat dan memberitahu otak bahwa akan ada pasokan energi
yang akan segera masuk ke tubuh. Dan karena tercipta sebuah tingkat pengharapan
di otak – bahwa akan datang energi tambahan – maka otak kemudian akan
melepaskan lebih banyak energi cadangan yang tersimpan di dalam tubuh. Hal
inilah yang membuat para pesepeda yang berkumur-kumur dengan cairan karbohidrat
mengalami peningkatan yang signifikan dalam kecepatan dan kekuatan bersepeda
dibandingkan dengan pesepada yang hanya berkumur-kumur dengan air biasa. Bahkan
kecepatan yang meningkat dari pesepeda yang berkumur-kumur dengan cairan
karbohidrat tidak membuat detak jantung mereka meningkat dan tidak menambah
beban bagi tubuhnya.
Penelitian akan tingkat pengharapan
ini menjadi semakin kuat ketika dibandingkan dengan penelitian yang serupa yang
pernah dilakukan sebelumnya. Jika pada penelitian yang telah kita paparkan tadi
menciptakan tingkat pengharapan melalui kumur-kumur cairan karbohidrat (para
pesepeda sama sekali tidak meminum cairan tersebut), maka penelitian yang mirip
sebelumnya justru menyuntikkan cairan karbohidrat ke dalam aliran darah tubuh para
pesepeda. Namun ternyata, walau telah disuntikkan energi tambahan langsung ke
dalam tubuh mereka, tidak terjadi peningkatan yang signifikan dalam kemampuan
para pesepada. Hal yang berbeda terjadi dibandingkan dengan para pesepeda yang
hanya berkumur-kumur semata. Sekali lagi ini merupakan penguatan bagi pikiran
kita bahwa tingkat harapan yang tercipta di otak akan menimbulkan rasa optimis
yang makin kuat sehingga otak akan mengirim sinyal ini ke seluruh tubuh agar
bekerja maksimal hingga pada batasan yang telah diciptakan oleh tingkat
pengharapan.
Mungkin hal ini menjadi pengingat
bagi kita sesuai kata orang-orang bijak, bahwa kita akan mendapatkan sesuatu
sesuai dengan yang kita harapkan. Artinya, jika pengharapan seseorang selalu
berhubungan dengan kegagalan (bahwa saya selalu gagal dalam berusaha), maka
seringkali yang terjadi pun ada rasa pesimis dan kegagalan. Sepertinya juga
otak akan mengirimkan sinyal kepada tubuh untuk malas beranjak. Akan tetapi
jika pengharapan Anda itu konstruktif (memberdayakan diri dan berharap pada
pencapaian yang senantiasa semakin maksimal), maka selalu saja ada rasa
optimis; bahkan otak akan mengirimkan sinyal pada tubuh untuk selalu
menyediakan energi cadangan agar terus saja bekerja dan berkarya tanpa kenal
lelah.
No comments:
Post a Comment