Secara jujur kami harus menghadapi kemungkinan bahwa memori atau inteligensi tidak secara kaku dibatasi oleh pikiran manusia. Ia bisa, sebagai jenis jaringan yang meluas dari organisme hidup, menjangkau tidak hanya pikiran manusia lainnya dan menyebabkan pikiran-pikiran itu merespon, tapi juga menuju pada objek-objek fisik yang berfungsi sebagai reservoir inteligensi yang bisa ditemukan kembali di masa depan. Hal ini menghadirkan pada kita satu dari misteri terbesar tentang (dunia) pikiran.
- Andrija Puharich, 1962
Pada akhir tahun 2007, saya sempat dihubungkan dengan salah seorang staf di sebuah bank terkenal di Indonesia untuk membicarakan kemungkinan mengadakan training bagi setiap frontliners-nya. Bank ini secara profit memiliki keuntungan yang signifikan, akan tetapi dalam hal standar layanan masih kurang memuaskan. Standar layanan adalah sebuah standar perbankan resmi dalam hal melayani customer.
Setiap frontliners dituntut untuk secara professional melayani setiap customer secara memuaskan. Bukankah setiap bank hampir sama dalam menawarkan jasa perbankan-nya. Oleh sebab itu, standar layanan ini kemudian menjadi sesuatu yang cukup prioritas untuk menarik sebanyak mungkin customer.
Nah, salah seorang manajemen menginginkan saya untuk memberikan training motivasi kepada setiap frontliners-nya agar mereka mau secara internal termotivasi dalam memberikan pelayanan standar yang memuaskan kepada customer. Sudah seringkali mereka melakukan sosialisasi standar layanan kepada setiap fronliners di setiap cabang-nya, bahkan memberikan reward yang menjanjikan, dan bahkan sudah sering memanggil motivator tingkat nasional untuk memberikan motivasi kepada frontliners. Namun, kata mereka hasilnya masih belum memuaskan.
Akhirnya, saya datang menemui salah seorang manajemen tersebut dan mendiskusikan kemungkinan mengadakan training bagi setiap frontliners tersebut. Sebelum disetujui, mereka meminta saya untuk presentasi awal kepada beberapa orang pada level manajemen menengah untuk kemudian presentasi dihadapan top manager.
Karena saya telah mendengar keluhan dan penuturan mereka tentang apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan, maka saya kemudian meyimpulkan bahwa apa yang terjadi sebenarnya pada setiap frontliners belum diselesaikan secara maksimal. Selama ini training yang diadakan hanya menyentuh level pikiran sadar dan belum menyentuh level pikiran bawah sadar, dimana masalah yang sesungguhnya berasal.
Pada beberapa hari berikutnya, saya kemudian melakukan presentasi awal dihadapan manajemen menengah untuk sama-sama menemukan “satu bahasa” yang akan disampaikan kepada top manager. Namun, karena presentasi saya adalah presentasi yang “mungkin” tidak seperti yang mereka harapkan, terlebih lagi saya adalah seorang trainer baru di mata mereka, maka kami dengan pihak mereka sempat mengalami beberapa silang pendapat. Mereka berharap training motivasi saya lebih menyentuh pada pikiran sadar frontliners, saya berharap training saya lebih menyentuh ke pikiran bawah sadar frontliners.
Mungkin karena pembahasan saya masih agak baru atau memang bahasa kami dengan pihak mereka belum terkoneksi dengan baik, ditambah dengan berbagai asumsi dan persepsi awal mereka terhadap saya, maka sampai sekarang saya belum lagi dipanggil untuk melakukan presentasi akhir di hadapan top manager seperti yang mereka janjikan kepada saya.
Jujur, saya sempat dongkol dengan keadaan itu. Setiap kali saya mencoba untuk memberikan penjelasan, selalu saja dipotong dan saya “dituduh” tidak mengerti dengan keadaan frontliners yang mereka hadapi. Tapi mau bagaimana lagi, toh mereka adalah tuan rumah yang pasti lebih mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, walau yang diketahui itu hanya simtom (akibat) yang mereka lihat dipermukaan sikap, dan kemungkinan belum melihat secara luas apa yang menjadi penyebab perilaku frontliners yang justru terletak di pikiran bawah sadar.
Tapi akhirnya saya sadar, dan kemudian mencoba melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya percaya hukum “yang menabur dia yang menuai”. Saya sadar sepenuhnya bahwa apa yang telah terjadi dan mengapa sampai sekarang saya belum dipanggil lagi untuk presentasi ke top manager, sedikit banyaknya disebabkan oleh saya sendiri. Mereka memiliki persepi terhadap saya, sebenarnya karena sayalah yang membuat mereka ber-persepsi demikian. Mereka belum memahami apa yang saya maksud, sebenarnya sayalah yang telah membuat mereka belum memahami apa yang saya maksud.
Dan ketika saya mencari lebih dalam, ternyata ada dua alasan utama yang kemudian menjadi “sebab” mengapa saya belum melakukan deal training dengan pihak mereka. Apakah kedua “sebab” itu?
- Pikiran bawah sadar saya yang ternyata didominasi oleh ketakutan: “jangan sampai saya gagal lagi”. Dan apa yang terjadi? Saya belum berhasil melakukan deal training dengan pihak mereka.
- Pernah ketika saya membayangkan betapa bahagianya saya kalau mendapat job training tersebut, eh…tiba-tiba saya berucap dalam kondisi bahagia itu: “Bersyukur betul saya kalau saya bisa presentasi di depan level manajemen menengah”. Apa yang terjadi? Saya benar-benar berhasil melakukan presentasi, dan hanya itu, karena keinginan saya yang saya ucapkan disaat bahagia hanyalah melakukan presentasi, bukan deal training.
Anda sudah bisa lihat sekarang? Apa yang saya alami ternyata merupakan hasil getaran (resonansi) dari keputusan yang telah saya buat dalam pikiran bawah sadar saya.
Selain perasaan menghambat yang mendominasi, ternyata tanpa sadar saya meniatkan hal tertentu di saat-saat bahagia. Apa yang saya alami ini bisa Anda perhatikan di sekeliling Anda. Ada seorang pria yang mencoba mendapat tempat di hati perempuan idola, sering berucap: “Ah, betapa bahagianya saya kalau dia menjadi pacar saya”. Dan biasanya ucapan ini dilakukan saat membayangkan betapa bahagia jika perempuan tersebut sudah jadi pacar.
Sebenarnya afirmasi ini tidaklah salah, karena telah dilakukan ketika kita merasa bahagia dan nyaman, tetapi apa yang terjadi? Ya hanya sampai dilevel pacar saja biasanya, dan tidak beranjak ke level menjadi suami bagi perempuan tersebut.
Bahkan ada yang agak parah, ketika berada dalam kondisi bahagia akibat lamunan yang menggoda, kemudian berucap: “Jika saja dia bisa diajak ngobrol”. Sebenarnya keinginan yang terucap itu mau diarahkan untuk tujuan menjadi pacar karena kalau sang idola sudah bisa diajak ngobrol, maka bisa dilanjutkan untuk menjadi pacar. Tetapi, apa yang terjadi? Yah karena keinginan hanya sampai pada teman ngobrol, maka respek sang idola pun hanyalah teman yang enak diajak ngobrol semata.
Pak Doni, bukan nama sebenarnya, telah bekerja cukup lama di sebuah perusahaan terkenal di Indonesia. Ia sering dipercayakan oleh bos-nya memegang proyek-proyek besar dan penting. Namun, ada satu masalah yang biasanya terjadi ketika berbicara tentang bos-nya; Bos-nya ini tukang pemarah. Kalau ada saja kesalahan yang ditemukan pada Pak Doni ini, walau sedikit saja, ia pasti akan marah besar. Dan bukan hanya sama Pak Doni ini saja, sang bos suka marah-marah, sering juga ia marah-marah terhadap semua karyawannya.
Dan karena semua anak buahnya sering dimarahin, maka pada semua anak buahnya muncul persepsi dan asumsi bahwa sang bos ini suka marah-marah. Alih-alih dianggap menyenangkan, sang bos seringkali ditakuti dan susah menjalin komunikasi persuasif dengan dirinya.
Hingga pada suatu ketika Pak Doni ini mulai menyadari bahwa jika kita sering mem-persepsi sang bos yang suka marah, tanpa sadar persepsi ini akan menjadi sugestif ke pikiran bawah sadar, sehingga tanpa sadar kita telah mengirimkan vibrasi kepada sang bos untuk selalu marah-marah. Tanpa sadar kitalah yang “meminta” bos untuk selalu marah-marah terhadap kita.
Akhirnya, Pak Doni pun mulai mengubah sudut pandangnya terhadap sang bos. Ia kemudian mulai mengirimkan vibrasi positif kepada sang bos. Ia sekarang mem-persespsikan sang bos yang suka tersenyum. Dan apa yang terjadi? Vibrasi yang baru ini betul-betul bekerja. Sang bos pun mulai tidak marah terhadap dirinya jika ia melakukan kesalahan. Sang bos hanya menegurnya dengan sangat ramah jika dibandingkankan sebelumnya. Lantas, bagaimana dengan staf lainnya? Ternyata sikap ini hanya berlaku terhadap diri Pak Doni. Staf lainnya masih diperlakukan sama oleh bosnya, dengan selalu marah-marah, karena mereka semua masih beranggapan bahwa sang bos ini memang tukang marah-marah.
Jadi, biasanya apa yang terjadi pada diri kita disebabkan oleh diri kita sendiri. Apa yang terjadi pada diri kita karena kita memang menginginkannya melalui dua cara sederhana:
1. Perasaan apa yang begitu mendominasi pada pikiran bawah sadar kita. Secara umum hanya dua perasaan yang menimpa kita dalam aspek finasial dan aspek lainnya: perasaan kurang dan perasaan cukup. Perasaan kurang sering diikuti oleh kecemasan, kegelisahan, ngotot, ketakutan, dan depresi. Sedangkan perasaan cukup sebaliknya. Walau secara sadar kita ingin sukses, tetapi jika perasaan yang dominan di pikiran bawah sadar kita adalah perasaan kurang, maka kekuranganlah yang akan sering kita dapatkan, karena inilah yang dominan dan yang sebenarnya kita inginkan. Seorang suami yang sering memandang kurang terhadap istrinya, akan sangat mudah mendapatkan kesalahan istri, dan paling sering menyalahkan istrinya. Dan sebaliknya, jika sang suami memiliki perasaan cukup (bahagia) kepada istrinya, maka ia cenderung untuk menghargai setiap kelebihan-kelebihan istrinya. Ia menjadi lihai dalam melihat kelebihan istri dan bukan kekurangannya. Ia menjadi sangat respek dan hormat kepada istrinya.
2. Keinginan yang tanpa sadar kita niatkan ketika bahagia.
Anda bisa melihat contoh niat ini pada kisah saya di atas, ketika tanpa sadar saya mengucapkan (dalam suasana bahagia): “Bersyukur betul saya kalau saya bisa presentasi di depan level manajemen menengah”.
Nah, kedua cara ini, tanpa sadar, sering dilakukan oleh kebanyakan orang. Kebanyakan orang menginginkan impian yang luar biasa, namun seringkali mengeluh tentang kekurangan-kekurangan yang dihadapinya. Bahkan keluhan ini lebih sering mendominasi dirinya dibandingkan impian yang ingin digapainya. Ingatlah bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan selalu memiliki konsekuensi (baca: efek) kepada diri kita.