Saturday, June 19, 2021

What’s Your Passion?

                Menurut Anda, Bill Gates yang terkenal itu memiliki sebuah impian yang ditulisnya untuk menjadi orang terkaya di dunia? Menurut Anda, apakah Bill Gates memiliki impian bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi raja piranti lunak yang berada di bawah naungan Microsoft?

           Ijinkan saya menceritakan kepada Anda, bagaimana Bill Gates memulai suatu momen bersejarah, dimana pada momen itulah kerajaan Microsoft mulai menanjak naik secara drastis. Bill Gates dikala itu adalah seorang pemuda yang bersahabat dengan Paul Allen. Mereka berdua senang sekali menggeluti dunia komputer dan piranti lunak. Satu hal yang mereka sadari bahwa komputer di masa itu belum memiliki bahasa program. Dan pasti Anda sudah tahu, ketika sebuah komputer belum memiliki bahasa program, maka komputer itu hanya merupakan seonggok timah yang bisa menyala saja, tidak dapat dioperasikan.

            Hingga suatu ketika, ia bersama dengan Paul Allen datang ke kantor IBM, dan menawarkan bahasa program bagi komputer-komputer rakitan IBM. Menariknya, Bill Gates yang berbicara kala itu memberikan sebuah pernyataan menarik, “Kami punya jawaban atas masalah Anda. Kami mempunyai bahasa program bagi komputer Anda, dan kami patenkan yang diberi nama dengan DOS”. Di sinilah momentum bersejarah itu terjadi. Mereka bahkan tidak tahu bahwa pertemuan dan kalimat tersebut akan menjadi sebuah momentum bersejarah akan kejayaan Microsoft. Kenapa mereka tidak tahu bahwa hal tersebut akan menjadi momentum bersejarah kala itu?

           Karena disaat mereka keluar dari kantor IBM, Paul Allen sedikit marah dengan Bill Gates karena mereka berdua tahu bahwa bahasa program (DOS) tersebut belum ada samasekali di tangan mereka. Jawaban Bill sederhana saja kepada Paul, “Bukankah kau pernah bilang bahwa kau kenal seseorang yang kita bisa beli system operasinya, karena tidak mungkin kita memberi jawaban tidak pasti kepada IBM”. Dan akhirnya Paul Allen mendatangi orang tersebut, dan mencoba menawar system operasi tersebut seharga $50.000. Sementara Paul mendatangi orang tersebut, Bill Gates menunggu dengan perasaan gelisah, khawatir orang tersebut tidak mau menjual system operasinya. Tapi akhirnya, orang tersebut mau menjual kepada mereka. Inilah sebuah momentum yang menghantarkan microsoft berjaya dan menjadikan Bill Gates menjadi orang terkaya di dunia.

           Apa yang hebat dari Bill Gates dan Paul Allen? Dari sekian banyak hal, saya melihat satu hal yang sangat jelas. Apa itu? Mereka memiliki passion. Mereka menyukai apa yang mereka kerjakan. Mereka dari dulu menyukai dunia komputer dan senantiasa mencari berita-berita di majalah yang berkenan dengan komputer, sebuah barang langka dan belum canggih kala itu. Begitu intensnya dengan dunia itu, sehingga mereka tahu bahwa sebuah komputer yang diproduksi memiliki masalah yang sama, yaitu bahasa program yang hebat. Bahkan dalam buku Outliers yang ditulis oleh Malcolm Gladwell menyebutkan bahwa orang-orang yang sangat sukses adalah orang-orang yang begitu menyukai dan mencintai apa yang mereka kerjakan. Begitu cintanya sehingga mereka rela melakukannya hingga 10.000 jam. Inilah passion, sesuatu yang membuat kita suka melakukannya. Bahkan apapun yang kita kerjakan akan terasa ringan karena adanya passion ini.

            Saya sangat suka dengan defenisi impian dari John Eliot, seorang Ph.D yang juga seorang motivator dan pengajar bisinis juga psikologi. Katanya, impian adalah perasaan. Menjadi demikian mudah apa yang kita capai jika apa yang kita kerjakan itu sangat menyenangkan, karena impian kita adalah passion kita sendiri. Sekarang, apa passion Anda?

Thursday, April 4, 2019

KONSEKUENSI PIKIRAN DAN PERASAAN

Secara jujur kami harus menghadapi kemungkinan bahwa memori atau inteligensi tidak secara kaku dibatasi oleh pikiran manusia. Ia bisa, sebagai jenis jaringan yang meluas dari organisme hidup, menjangkau tidak hanya pikiran manusia lainnya dan menyebabkan pikiran-pikiran itu merespon, tapi juga menuju pada objek-objek fisik yang berfungsi sebagai reservoir inteligensi yang bisa ditemukan kembali di masa depan. Hal ini menghadirkan pada kita satu dari misteri terbesar tentang (dunia) pikiran.
- Andrija Puharich, 1962


         Pada akhir tahun 2007, saya sempat dihubungkan dengan salah seorang staf di sebuah bank terkenal di Indonesia untuk membicarakan kemungkinan mengadakan training bagi setiap frontliners-nya. Bank ini secara profit memiliki keuntungan yang signifikan, akan tetapi dalam hal standar layanan masih kurang memuaskan. Standar layanan adalah sebuah standar perbankan resmi dalam hal melayani customer.
         Setiap frontliners dituntut untuk secara professional melayani setiap customer secara memuaskan. Bukankah setiap bank hampir sama dalam menawarkan jasa perbankan-nya. Oleh sebab itu, standar layanan ini kemudian menjadi sesuatu yang cukup prioritas untuk menarik sebanyak mungkin customer.
         Nah, salah seorang manajemen menginginkan saya untuk memberikan training motivasi kepada setiap frontliners-nya agar mereka mau secara internal termotivasi dalam memberikan pelayanan standar yang memuaskan kepada customer. Sudah seringkali mereka melakukan sosialisasi standar layanan kepada setiap fronliners di setiap cabang-nya, bahkan memberikan reward yang menjanjikan, dan bahkan sudah sering memanggil motivator tingkat nasional untuk memberikan motivasi kepada frontliners. Namun, kata mereka hasilnya masih belum memuaskan.
         Akhirnya, saya datang menemui salah seorang manajemen tersebut dan mendiskusikan kemungkinan mengadakan training bagi setiap frontliners tersebut. Sebelum disetujui, mereka meminta saya untuk presentasi awal kepada beberapa orang pada level manajemen menengah untuk kemudian presentasi dihadapan top manager.
         Karena saya telah mendengar keluhan dan penuturan mereka tentang apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan, maka saya kemudian meyimpulkan bahwa apa yang terjadi sebenarnya pada setiap frontliners belum diselesaikan secara maksimal. Selama ini training yang diadakan hanya menyentuh level pikiran sadar dan belum menyentuh level pikiran bawah sadar, dimana masalah yang sesungguhnya berasal.
         Pada beberapa hari berikutnya, saya kemudian melakukan presentasi awal dihadapan manajemen menengah untuk sama-sama menemukan “satu bahasa” yang akan disampaikan kepada top manager. Namun, karena presentasi saya adalah presentasi yang “mungkin” tidak seperti yang mereka harapkan, terlebih lagi saya adalah seorang trainer baru di mata mereka, maka kami dengan pihak mereka sempat mengalami beberapa silang pendapat. Mereka berharap training motivasi saya lebih menyentuh pada pikiran sadar frontliners, saya berharap training saya lebih menyentuh ke pikiran bawah sadar frontliners.
         Mungkin karena pembahasan saya masih agak baru atau memang bahasa kami dengan pihak mereka belum terkoneksi dengan baik, ditambah dengan berbagai asumsi dan persepsi awal mereka terhadap saya, maka sampai sekarang saya belum lagi dipanggil untuk melakukan presentasi akhir di hadapan top manager seperti yang mereka janjikan kepada saya.
         Jujur, saya sempat dongkol dengan keadaan itu. Setiap kali saya mencoba untuk memberikan penjelasan, selalu saja dipotong dan saya “dituduh” tidak mengerti dengan keadaan frontliners yang mereka hadapi. Tapi mau bagaimana lagi, toh mereka adalah tuan rumah yang pasti lebih mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, walau yang diketahui itu hanya simtom (akibat) yang mereka lihat dipermukaan sikap, dan kemungkinan belum melihat secara luas apa yang menjadi penyebab perilaku frontliners yang justru terletak di pikiran bawah sadar.
         Tapi akhirnya saya sadar, dan kemudian mencoba melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya percaya hukum “yang menabur dia yang menuai”. Saya sadar sepenuhnya bahwa apa yang telah terjadi dan mengapa sampai sekarang saya belum dipanggil lagi untuk presentasi ke top manager, sedikit banyaknya disebabkan oleh saya sendiri. Mereka memiliki persepi terhadap saya, sebenarnya karena sayalah yang membuat mereka ber-persepsi demikian. Mereka belum memahami apa yang saya maksud, sebenarnya sayalah yang telah membuat mereka belum memahami apa yang saya maksud.
         Dan ketika saya mencari lebih dalam, ternyata ada dua alasan utama yang kemudian menjadi “sebab” mengapa saya belum melakukan deal training dengan pihak mereka. Apakah kedua “sebab” itu?
  1. Pikiran bawah sadar saya yang ternyata didominasi oleh ketakutan: “jangan sampai saya gagal lagi”. Dan apa yang terjadi? Saya belum berhasil melakukan deal training dengan pihak mereka.
  2. Pernah ketika saya membayangkan betapa bahagianya saya kalau mendapat job training tersebut, eh…tiba-tiba saya berucap dalam kondisi bahagia itu: “Bersyukur betul saya kalau saya bisa presentasi di depan level manajemen menengah”. Apa yang terjadi? Saya benar-benar berhasil melakukan presentasi, dan hanya itu, karena keinginan saya yang saya ucapkan disaat bahagia hanyalah melakukan presentasi, bukan deal training.

Anda sudah bisa lihat sekarang? Apa yang saya alami ternyata merupakan hasil getaran (resonansi) dari keputusan yang telah saya buat dalam pikiran bawah sadar saya.
Selain perasaan menghambat yang mendominasi, ternyata tanpa sadar saya meniatkan hal tertentu di saat-saat bahagia. Apa yang saya alami ini bisa Anda perhatikan di sekeliling Anda. Ada seorang pria yang mencoba mendapat tempat di hati perempuan idola, sering berucap: “Ah, betapa bahagianya saya kalau dia menjadi pacar saya”. Dan biasanya ucapan ini dilakukan saat membayangkan betapa bahagia jika perempuan tersebut sudah jadi pacar.
Sebenarnya afirmasi ini tidaklah salah, karena telah dilakukan ketika kita merasa bahagia dan nyaman, tetapi apa yang terjadi? Ya hanya sampai dilevel pacar saja biasanya, dan tidak beranjak ke level menjadi suami bagi perempuan tersebut.
Bahkan ada yang agak parah, ketika berada dalam kondisi bahagia akibat lamunan yang menggoda, kemudian berucap: “Jika saja dia bisa diajak ngobrol”. Sebenarnya keinginan yang terucap itu mau diarahkan untuk tujuan menjadi pacar karena kalau sang idola sudah bisa diajak ngobrol, maka bisa dilanjutkan untuk menjadi pacar. Tetapi, apa yang terjadi? Yah karena keinginan hanya sampai pada teman ngobrol, maka respek sang idola pun hanyalah teman yang enak diajak ngobrol semata.
Pak Doni, bukan nama sebenarnya, telah bekerja cukup lama di sebuah perusahaan terkenal di Indonesia. Ia sering dipercayakan oleh bos-nya memegang proyek-proyek besar dan penting. Namun, ada satu masalah yang biasanya terjadi ketika berbicara tentang bos-nya; Bos-nya ini tukang pemarah. Kalau ada saja kesalahan yang ditemukan pada Pak Doni ini, walau sedikit saja, ia pasti akan marah besar. Dan bukan hanya sama Pak Doni ini saja, sang bos suka marah-marah, sering juga ia marah-marah terhadap semua karyawannya.
Dan karena semua anak buahnya sering dimarahin, maka pada semua anak buahnya muncul persepsi dan asumsi bahwa sang bos ini suka marah-marah. Alih-alih dianggap menyenangkan, sang bos seringkali ditakuti dan susah menjalin komunikasi persuasif dengan dirinya.
Hingga pada suatu ketika Pak Doni ini mulai menyadari bahwa jika kita sering mem-persepsi sang bos yang suka marah, tanpa sadar persepsi ini akan menjadi sugestif ke pikiran bawah sadar, sehingga tanpa sadar kita telah mengirimkan vibrasi kepada sang bos untuk selalu marah-marah. Tanpa sadar kitalah yang “meminta” bos untuk selalu marah-marah terhadap kita.
Akhirnya, Pak Doni pun mulai mengubah sudut pandangnya terhadap sang bos. Ia kemudian mulai mengirimkan vibrasi positif kepada sang bos. Ia sekarang mem-persespsikan sang bos yang suka tersenyum. Dan apa yang terjadi? Vibrasi yang baru ini betul-betul bekerja. Sang bos pun mulai tidak marah terhadap dirinya jika ia melakukan kesalahan. Sang bos hanya menegurnya dengan sangat ramah jika dibandingkankan sebelumnya. Lantas, bagaimana dengan staf lainnya? Ternyata sikap ini hanya berlaku terhadap diri Pak Doni. Staf lainnya masih diperlakukan sama oleh bosnya, dengan selalu marah-marah, karena mereka semua masih beranggapan bahwa sang bos ini memang tukang marah-marah.
Jadi, biasanya apa yang terjadi pada diri kita disebabkan oleh diri kita sendiri. Apa yang terjadi pada diri kita karena kita memang menginginkannya melalui dua cara sederhana:
1.   Perasaan apa yang begitu mendominasi pada pikiran bawah sadar kita. Secara umum hanya dua perasaan yang menimpa kita dalam aspek finasial dan aspek lainnya: perasaan kurang dan perasaan cukup. Perasaan kurang sering diikuti oleh kecemasan, kegelisahan, ngotot, ketakutan, dan depresi. Sedangkan perasaan cukup sebaliknya. Walau secara sadar kita ingin sukses, tetapi jika perasaan yang dominan di pikiran bawah sadar kita adalah perasaan kurang, maka kekuranganlah yang akan sering kita dapatkan, karena inilah yang dominan dan yang sebenarnya kita inginkan. Seorang suami yang sering memandang kurang terhadap istrinya, akan sangat mudah mendapatkan kesalahan istri, dan paling sering menyalahkan istrinya. Dan sebaliknya, jika sang suami memiliki perasaan cukup (bahagia) kepada istrinya, maka ia cenderung untuk menghargai setiap kelebihan-kelebihan istrinya. Ia menjadi lihai dalam melihat kelebihan istri dan bukan kekurangannya. Ia menjadi sangat respek dan hormat kepada istrinya.

2.   Keinginan yang tanpa sadar kita niatkan ketika bahagia.
Anda bisa melihat contoh niat ini pada kisah saya di atas, ketika tanpa sadar saya mengucapkan (dalam suasana bahagia): “Bersyukur betul saya kalau saya bisa presentasi di depan level manajemen menengah”.


Nah, kedua cara ini, tanpa sadar, sering dilakukan oleh kebanyakan orang. Kebanyakan orang menginginkan impian yang luar biasa, namun seringkali mengeluh tentang kekurangan-kekurangan yang dihadapinya. Bahkan keluhan ini lebih sering mendominasi dirinya dibandingkan impian yang ingin digapainya. Ingatlah bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan selalu memiliki konsekuensi (baca: efek) kepada diri kita.

Monday, April 1, 2019

HIDUP DI MASA LALU

          Ternyata kalau kita merenungi diri sendiri, maka begitu banyak orang yang tidak hidup di masa sekarang, melainkan hidup di masa lalu. Ah…masa sih? Kok bisa demikian? Bukankah kita ndak bisa ke masa lalu? Mungkin saja ada yang bertanya demikian…hehehe…
            Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa di otak kita, proses mem-persepsi itu terjadi karena adanya beragam informasi yang masuk melalui kelima indera kita dan kemudian ada proses kognisi untuk melakukan penilaian terhadap beragam informasi tersebut. Penting juga untuk diketahui bahwa ketika terjadi masuknya beragam informasi tersebut juga memicu reaksi emosional kita. Saat kami menyebut kata “emosional” maka kata ini merujuk pada semua ragam emosi kita, mulai dari sedih, kecewa, sakit hati, senang, gembira, bahagia, dan lain sebagainya. Jadi kata “emosional” tidak hanya merujuk pada emosi-emosi yang tidak menyenangkan saja. Jadi terbentuknya persepsi karena adanya konsepsi (beragam informasi yang masuk melalui kelima indera) + kognisi (proses penilaian atas konsepsi tersebut di otak) + emosi (reaksi emosional yang terjadi yang bergantung pada konsepsi dan kognisi kita).
            Hasil pemindaian otak menunjukkan bahwa cuma perlu waktu kurang dari satu detik bagi sebuah kata atau frasa untuk memicu reaksi emosional di otak kita. Untuk mendapatkan reaksi emosional, Anda bisa mencobanya dengan memusatkan perhatian Anda sambil mengucapkan “Hidup ini ternyata begitu indah”. Kalimat yang Anda ucapkan tersebut akan memicu reaksi emosional Anda, dan kalau Anda memusatkan perhatian Anda kepada kalimat tersebut dan mengulanginya sebanyak lima puluh kali, di dalam hati atau mengucapkannya dengan keras selama dua menit; maka kalimat tersebut dapat memengaruhi persepsi Anda dalam memandang kehidupan. Kebanyakan orang yang melakukannya akan mengalami perubahan kecil dalam suasana hatinya.
            Bagaimana jika kini Anda memusatkan perhatian Anda pada kalimat berikut ini: “Dunia ini begitu kejam dan tidak aman”. Pusatkan perhatian Anda dan baca kalimat negatif tersebut selama dua puluh detik saja (JANGAN SAMPAI LEBIH DARI DUA PULUH DETIK). Sekarang cek perasaan Anda. Kemungkinan secara sekilas, rasa damai yang sebelumnya ada, menjadi hilang. Kenapa demikian?           
Ternyata, bagian otak kita yang bernama hipokampus lebih kuat menanamkan pengalaman pahit ke memori jangka panjang, dan reaksi emosional ini tidak tidak sekuat tertanam seperti pengalaman pahit ke memori jangka panjang ketika kita mengalami pengalaman yang menyenangkan. Itulah sebabnya, kita lebih mudah mengingat pengalaman pahit dibandingkan pengalaman menyenangkan. Jika Anda mengalami pertengkaran dengan seseorang yang sudah lama Anda kenal, maka Anda cenderung lebih mudah mengingat “jeleknya” dibandingkan “kebaikannya”.
            Nah, kembali kepada proses mem-persepsi di otak. Hasil temuan neurosain menunjukkan kepada kita bahwa ketika seseorang mengalami suatu peristiwa dengan tingkat reaksi emosional yang cukup tinggi, maka hal ini akan meninggalkan jejak saraf lain dalam sebentuk memori. Dan keyakinan yang terbentuk pada memori khusus ini akan kembali terpicu ketika mendapatkan stimulasi dari sesuatu yang mirip dengan kejadian pada peristwa di masa lalu tersebut. Karena fungsi reaksi emosi di otak kita merekatkan kita dengan peristiwa yang terjadi, maka hal ini akan membuat seseorang seolah-olah mengalami kembali kejadian yang pernah terjadi di masa lalunya. Misalkan saja ketika seseorang pernah mengalami trauma dengan orang lain atas suatu peristiwa tertentu yang pernah terjadi. Maka walaupun sudah lama tidak ketemu dengan orang yang menyebabkan trauma tersebut; saat bertemu kembali cenderung akan membuat seseorang seolah-olah mengalami kembali secara nyata perasaan takut; suatu perasaan takut yang nyata, yang sesungguhnya pernah terjadi di masa lalu.
            Seorang anak yang sangat takut kepada orang tuanya. Walaupun anak tersebut sudah dewasa dan bahkan mungkin sudah berkeluarga, cenderung masih merasa takut (dan perasaan itu terasa sangat nyata) pada kedua orang tuanya. Dr. David Berceli, seorang pakar kecerdasan tubuh yang mengajarkan teknik melepaskan emosi negatif dari tubuh, mengatakan bahwa hewan rusa ketika mengalami ketakutan yang amat sangat saat dikejar harimau, ketika telah berada dalam situasi aman, maka tubuhnya akan bergetar sedemikian rupa untuk melepaskan berbagai emosi yang dirasa sebelumnya. Menurut Berceli, tubuh manusia pun demikian. Jika seseorang mengalami sebuah peristiwa traumatik, maka tubuh secara otomatis akan bergetar. Namun kebanyakan manusia mencoba melawan getaran tubuh tersebut, dan ini menyebabkan berbagai emosi negatif yang ada tidak akan sepenuhnya keluar dan masih tersimpan dalam bentuk memori di jaringan otot tubuh. Karena otak senantiasa menerima pesan dari tubuh, maka memori atas respon yang masih tersimpan di otot akan dikirmkan kepada otak dan memberitahu bahwa peristiwa traumatik belum berakhir (walau secara kenyataan peristiwa itu sudah lama berlalu).
            Memori-memori traumatik ini akan terus di proses di dalam otak, sehingga menyebabkan otak terus mengirim pesan ke seluruh tubuh bahwa peristiwa traumatik tersebut belum berakhir. Dan karena belum berakhir, maka reaksi-reaksi emosional (perasaan takut, sedih, sakit hati, dan perasaan sejenis lainnya) akan tetap muncul. Inilah yang menyebabkan seseorang masih tetap hidup di masa lalu, walau telah ada di masa sekarang. Pikiran dan tubuhnya seolah-olah secara nyata masih hidup di masa lalu.
            Dengan beragam teknologi pikiran yang ada saat ini, memori emosi tersebut bisa dilepaskan, agar otak tidak lagi menerima pesan dari memori traumatik di masa lalu. Ketika hal itu berhasil Anda lakukan, maka Anda akan terbebas dari belenggu masa lalu. Anda hanya bisa mengambil hikmah dari masa lalu, tanpa harus hidup di masa lalu lagi. Karena kehidupan yang ada adalah “saat ini” untuk merencanakan masa depan yang lebih baik lagi. Semoga!!!