Thursday, April 19, 2007

MENEMUKAN KEBAHAGIAAN



Jalan pintas ke segala sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup adalah MENJADI dan MERASA bahagia sekarang juga
- Rhonda Byrne, The Secret -

Terdapat sebuah renungan menarik tentang arti dari bersyukur, dimana kesadaran ini akan membawa kita untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup. Renungan ini saya temukan di internet, dan saya kira sangat cocok untuk saya bagikan kepada Anda:

Setiap jenjang kedewasaan yang lebih tinggi, demikian pengalaman saya bertutur, sering kali mentertawakan jenjang kedewasaan di bawahnya. Ketika baru saja mulai belajar bekerja sebagai seorang sarjana baru di salah satu perusahaan Jepang, kerap kali dalam rapat saya ditertawakan orang karena berbicara dengan jargon-jargon universitas yang asing. Tatkala baru belajar berbicara di depan umum, tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa muka saya merah ketika didebat orang. Pada saat baru belajar memimpin orang, sejumlah bawahan memberi masukan kalau saya mudah sekali tersinggung. Pada tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan saya sebagai manusia, pernah terjadi Tuhan tidak pernah saya anggap benar.
Ketika belum jadi manajer, memohon ke Tuhan agar jadi manajer. Namun, begitu merasakan beratnya duduk di kursi pimpinan ini, maka Tuhanpun disesalkan. Tatkala naik bus kota sering berdoa agar punya mobil. Saat mobil sudah di tangan, kemudian menggerogoti kantong dengan seluruh kerusakannya, maka salah lagilah Tuhan.
Sekarang, ketika tabungan pengalaman dan kesulitan telah bertambah, rambut sudah mulai memutih, badan dan jiwa mulai lebih tahan bantingan, terlihat jelas, betapa naif dan kekanak-kanakannya saya pernah jadi manusia. Yang membuat saya super heran, kalau bertemu orang dengan umur yang jauh lebih tua dari saya, tetapi memiliki tingkat kenaifan yang sama dengan saya ketika masih amat muda.
Bekerja dengan orang lain, bahkan termasuk dengan pemilik perusahaan pun, tidak ada yang dinilai benar dan pintar. Setiap orang, di mata orang ini, hanyalah kumpulan manusia yang tidak patut dihargai. Kecuali, tentunya manusia-manusia dengan isi kepala yang sama, atau mau berkorban menyesuaikan diri sepenuhnya. Di salah satu perusahaan yang menjadi klien saya, orang mengenal seorang pimpinan yang diberi stempel Mr. Complain. Semua orang disekitarnya - dari sekretaris hingga boss besar – dikeluhkan begini dan begitu. Dengan saya, Tuhanpun sering di-complain. Dari salah profesi, keliru memilih istri, anak-anak yang tidak bisa diurus, sampai dengan pemilik perusahaan yang dia sebut super kampungan. Sebagai hasilnya, ia memiliki koleksi musuh yang demikian banyak, pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain, dan yang paling penting memiliki kehidupan yang kering kerontang. Di mata orang-orang seperti ini, Tuhan senantiasa tidak pernah benar.
Sulit sekali bagi manusia jenis ini untuk menerima saja lingkungan dan rezekinya. Yang ada hanyalah keluhan, keluhan dan keluhan. Dengan sedikit kejernihan, diri kita sebenarnya karunia Tuhan yang paling berharga. Anda dengan hidung, mata, bibir, kepribadian, ketrampilan, dan senyuman yang Anda miliki, hanya dimiliki oleh Anda sendiri. Tukang jahit jarang sekali membuat satu model baju untuk satu orang saja. Arsitek sedikit yang gambarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang saja. Kalaupun ada tukang jahit dan arsitek yang membuat disain khusus, dengan sangat mudah orang lain bisa menirunya. Tetapi Tuhan, mendisain setiap manusia semuanya dengan keunikan. Bahkan, manusia kembarpun tetap unik. Dan yang paling penting, tidak ada satupun yang bisa meniru Anda dengan seluruh keunikan Anda.
Bayangkan, betapa sulit dan besar energi yang dibutuhkan untuk mendisain sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru siapapun. Bercermin dari sini, disamping kita harus berterimakasih ke Tuhan karena menciptakan keunikan yang tidak ada tiruannya, sudah saatnya untuk mencari cara bagaimana keunikan dalam diri ini bisa dimaksimalkan. Hidung saya yang tidak mancung ini tentu saja hanya milik saya seorang diri. Dulu ia menjadi sumber rasa minder, namun ketika ada orang yang mengatakan ini penuh keberuntungan, maka berubahlah dia sebagai energi keberhasilan.
Kembali ke cerita awal tentang manusia yang kerap menempatkan Tuhan dalam posisi selalu tidak benar, sudah saatnya mungkin kita menerima dan menghargai seluruh keunikan yang hanya milik kita sendiri. Kalau memiliki rumah, mobil, baju yang hanya didisain khusus untuk kita, tentu saja ia amat membahagiakan dan membanggakan. Demikian juga dengan tubuh dan jiwa ini. Ia hanya didisain khusus untuk kita.
Baik, buruk, cantik, ganteng, menarik, simpatik atau membosankan sekalipun, sebenarnya hanyalah judul dan stempel yang kita berikan ke tubuh unik yang kita bawa ke mana-mana ini. Bedanya, judul ini kemudian tidak hanya merubah mata Anda, tetapi juga mata orang lain dalam melihat diri Anda sendiri.

Walhasil, bersyukur membawa kita pada kemampuan untuk mempersepsikan segala sesuatu dengan benar. Dan kemampuan ini akan membantu kita untuk meningkatkan kebahagiaan yang kita rasakan.

Dalam buku Meraih Kebahagiaan, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengangkat pembahasan SST (Sindrom Sukses Toksik ) dalam bab 5. Beliau mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Paul Pearsall, yang meneliti tentang sukses yang beracun. Sukses berkaitan dengan hasil usaha atau akibat dari usaha untuk meraih apa yang kita inginkan. Boleh jadi ada perbedaan antara orang-orang yang berlainan tentang apa yang diinginkan. Dan, bila orang sudah berhasil memenuhi keinginannya, ia merasa bahagia. Karena “bahagia” adalah memperoleh apa yang kita inginkan, maka dengan mudah kita menyamakan sukses dengan kebahagiaan. Jika kita ingin bahagia, kita harus sukses. Untuk mencapai sukses, kita harus berjuang keras. Karena itu, ironisnya, sukses lebih dekat dengan pergulatan daripada kenikmatan.

Malangnya lagi, kenikmatan sukses itu hanya berlangsung sebentar. Ada euforia – rasa senang yang luar biasa – ketika medali sukses dikalungkan di leher kita; tetapi setelah itu, kita dihantui oleh disforia – kesedihan, ketakutan, dan kecemasan. Anda tentu masih ingat dengan kisah di atas? Hal ini sama dengan perkataan para psikologi tentang pernikahan, “Perbedaan di rumah merupakan perkara lumrah, dan itu pasti terjadi. Hal itu terkadang terjadi setelah bulan madu, atau setelah tahun pertama atau kedua, dimana naluri seksual masih kuat sehingga menutupi masalah-masalah. Adapun setelah syahwat seksual mulai padam dan geloranya berkurang, urusan-urusan kehidupan sehari-hari mulai memilah-milah masalahnya.” Bayangkan saja, sebuah rumah tangga yang hanya dimulai dengan kepuasan seksual semata saja. Ini sama dengan sukses beracun tadi, bukan? Rasulullah saw sendiri pun berkata, “Yang terkaya di antara kalian adalah yang tidak terjebak keserakahan. Yang kikir adalah yang termiskin dari semua.”

Lebih lanjut, Dr. Rakhmat mengemukakan gejala-gejala SST, antara lain:
1. Self-sightedness, terpusat pada diri. Begitu keasyikan dengan apa yang dipikirkan, sehingga tidak dapat melihat dan merasakan kebutuhan orang lain.


2. Stress surrender, menyerah pada stres. Penderita SST tidak lagi dapat memilih perilaku yang dikehendaki. Ia jatuh dalam pusaran sistem.


3. Ups and downs, naik turunnya perasaan. Perasaan mereka naik turun. Sekali waktu mereka bergerak dengan semangat yang menggebu-gebu, dan pada waktu yang lain merasa kehilangan tenaga sama sekali.


4. Chronic cynicism, sinisme kronis. Mereka senang mengkritik, menyalahkan, dan memusuhi hampir semua orang.


5. Grouchiness, kerjanya bersungut-sungut melulu. Mereka tidak mampu, atau tidak bersedia, atau tidak mau menikmati hal-hal kecil dalam kehidupan. Mereka sukar menertawakan dirinya dan orang lain.


6. Feeling pestered, merasa terganggu, atau mudah tersinggung, kalau ada orang-orang di sekitarnya yang meminta perhatiannya.


7. Polyphasia, “multitasking”, mengerjakan banyak tugas pada waktu yang sama.


8. Psychological absenteeism, berpikir banyak. Berpikir ke belakang tentang apa yang belum dikerjakan (menimbulkan depresi) dan/atau berpikir ke depan tentang apa yang harus dikerjakan (menimbulkan kecemasan).


9. Weariness, kelelahan tanpa henti, pola tidur yang terganggu, dan mengantuk ketika sedang duduk.


10. Chrono-Currency, memandang waktu sebagai uang dan setiap waktu yang tidak menghasilkan uang, dianggap penghamburan.


11. Relationship-Exploitation, mengabaikan, tidak menghiraukan, dan melecehkan hubungan kita yang paling intim dengan sekedar menggunakannya untuk perlindungan sesaat dari stres, sebagai teknik mengurangi stres.


12. Spiritual Deficit Disorder (SDD), perasaan kekosongan ruhaniah dan kehilangan makna, yang seringkali diikuti dengan saat-saat kerinduan spiritual dan keinginan untuk mempertanyakan “makna semuanya”.


13. Inhibited Power Motive (IPM), keinginan yang tinggi untuk berkuasa, frustasi karena tidak punya cukup kekuasaan dan kendali, serta menurunnya tingkat kesadaran dan pengabaian akan kebutuhan kasih sayang.


14. Self Health and Help. Perhatian pada olahraga, diet, seminar-seminar untuk meningkatkan kepribadian, dan berbagai teknik mengurangi stres yang mudah dan cepat. Untuk “mengelola” dan bukan “mengatasi” stres.


15. Success Sickness. Sejumlah penyakit peradaban modern, sejak asma dan infeksi kronis sampai kanker dan penyakit jantung yang kita kenal sekarang sebagai efek samping SST.

Walaupun terdapat pula “jenis” sukses yang tidak beracun (membawa kebahagiaan), namun kebanyakan pula (seperti contoh kisah di atas) sukses itu tidak membawa pada kebahagiaan. Lantas, apa yang membuat sukses itu tidak melahirkan kebahagiaan? Kata Dr. Rakhmat, “Di antara sebab mengapa sukses menyebabkan derita adalah pandangan hidup yang menganggap sukses sebagai perjuangan hidup dan mati.” Sejalan dengan itu, Dr. Cutler – setelah menuturkan kisah yang saya kutip di atas – mengatakan, “Kedua teman saya ini menggambarkan prinsip penting bahwa kebahagiaan ditentukan lebih oleh situasi pikiran seseorang sendiri ketimbang oleh peristiwa-peristiwa luar.” Sedangkan Dr. Maxwell Maltz pun berkata, “Kalau Anda ingin bahagia, Anda harus bahagia – titik! – bukan bahagia “karena”.”

Jelas sudah, bahwa cara awal memulai kebahagiaan adalah dengan mengubah persepsi kita terhadap realitas. Cara ini pula akan mengantarkan kita dalam menerima kenyataan hidup, bukan hidup dalam sebuah opini. Jadi, kalau Anda telah rugi 1 milyar dalam sebuah bursa saham, maka kenyataannya adalah bahwa Anda rugi sebesar 1 milyar. Dan, adalah sebuah opini jika Anda merasa malu dan hancur, setelah mengalami kerugian tersebut. Lalu, gimana caranya agar mampu merubah persepsi?

Dalam film State and Main, seorang wanita muda dengan pandangan bahagia bercakap-cakap dengan seorang penulis dari kota besar, yang tertarik kepada kehidupan sang wanita di kota kecil. “Kamu ciptakan kesenanganmu sendiri?” sang penulis bertanya. “Menyenangkan hanya kalau kamu menjadikannya menyenangkan”, dengan sabar wanita itu menjelaskan. “Kalau orang lain yang melakukannya bagimu, itu hiburan namanya.” Senada dengan film tersebut, Abraham Lincoln berkata, “Kebanyakan orang itu menjadi bahagia sejauh mereka putuskan sendiri bahwa mereka bahagia.” Jadi, ambillah keputusan untuk memulai hidup bahagia.

Mari kita lanjutkan kembali hasil penelitian Dr. Paul Pearsall, yang dikemukakan oleh Dr. Rakhmat. Ada tiga resep sederhana agar kita tidak masuk ke dalam sukses yang beracun, tapi menikmati sukses yang manis, yaitu: kepuasan, ketenangan,dan ketersambungan. Kepuasan artinya perasaan cukup dengan yang sudah kita peroleh. Seperti halnya Dr. Jalaluddin Rakhmat, saya ingin mengartikan kepuasan ini dengan syukur. Perasaan syukur ini bukan berarti kita lantas berhenti bekerja, tapi memelihara perasaan yang selalu bersifat tamak atau tidak pernah merasa cukup dengan yang dipunyai sekarang.

Abraham Maslow memberikan kepada kita latihan syukur, “Hanya satu yang harus Anda lakukan: Pergilah ke rumah sakit dan dengarkan semua nikmat yang sederhana yang sebelumnya tidak pernah disadari orang sebagai nikmat – bisa buang air, tidur di samping pasangan, bisa menelan, menggaruk yang gatal, dst. Anda tentu masih ingat kisah penderita AIDS di atas. Dr. Maltz menyimpulkan hal ini dengan berkata, “Kita juga bukan bahagia karena dapat mengekang hawa nafsu; justru sebaliknya, karena kita bahagia, kita dapat mengekang hawa nafsu.”

Perasaan syukur ini akan mengantarkan kita pada ketenangan. Ketenangan berarti memperlambat tempo hidup Anda. Bahasa lain dari ketenangan ini adalah sabar. Orang-orang yang tidak sabaran akan mengalami berbagai gangguan penyakit jasmaniah dan psikologis. Syukur dan sabar inilah yang akan membawa kita pada ketersambungan. Ketersambungan bukanlah sesuatu yang harus kita cari. Kita hanya akan bahagia bila kita menyambungkan diri kita dengan orang lain.

Itulah sebabnya, dalam sebuah buku yang membahas kemuliaan sabar dan keagungan syukur, menjelaskan bahwa: sabar dan syukur ini adalah pondasi penting dalam Islam. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seluruh perilaku kita adalah untuk melatih kesyukuran dan kesabaran kita. Sebagai seorang suami yang harus menafkahkan keluarga, akan pergi bekerja, tidak lain hanyalah bagaimana melatih sabar dalam bekerja dan mensyukuri hasil dari pekerjaan tersebut. Begitu pula sang istri di rumah, harus menjaga keluarga di rumah, akan melatih kesabaran dengan seluruh pernak-pernik rumah dan mensyukuri keadaan rumah tangganya saat itu. Dengan kata lain, untuk menjadi bahagia adalah dengan mengembangkan fitrah kemanusiaan kita sendiri. Coba renungi perkataan tetua Hindu, Sri Nisargadatta Maharaj, berikut ini: “Anda Cuma ingin bahagia. Semua keinginan Anda, apapun itu, menginginkan kebahagiaan. Pada dasarnya, Anda ingin diri Anda dalam keadaan baik … Keinginan untuk diri sendiri tidaklah salah. Hal tersebut adalah hidup itu sendiri, kepentingan untuk tumbuh dalam pengetahuan dan pengalaman. Yang keliru adalah pilihan yang Anda buat. Membayangkan bahwa sejumlah hal kecil – makanan, seks, kekuatan, ketenaran – akan membuat Anda bahagia sama dengan menipu diri Anda sendiri. Hanya sesuatu yang luas dan dalam seperti diri sejati Anda yang dapat membuat Anda benar-benar dan selamanya bahagia.”

Dan seperti yang telah kita bicarakan, syukur dan sabar ini akan memberikan ketersambungan dengan orang lain. Tapi, bukan hanya dengan orang lain saja, tapi juga dengan Zat Yang Mahatinggi. “Hidup dapat dibawa ke taraf yang lebih tinggi. Terdapat pengalaman yang begitu dalam dan berarti sehingga hidup dan dunia tampak sepenuhnya suci. Terdapat saat-saat kebahagiaan yang melampaui kesenangan biasa seperti matahari dan kunang-kunang, saat-saat cinta dan simpati sehingga kita jatuh cinta tanpa daya pada semua ciptaan.”, tutur Roger Walsh, M.D, yang meneliti selama puluhan tahun mengenai riset dan praktik spiritual.

Dan resep yang paling manjur untuk menciptakan ketersambungan ini adalah cinta. Rumi bersyair, “Di mana pun kau berada, bagaimana pun kondisimu, selalulah mencoba menjadi pecinta.” Dengan jalan cinta inilah kita akan mengembangkan motif yang lebih tinggi atau dalam bahasa Dr. Walsh: motif meta. Yang perlu kita lakukan adalah berangkat dari motif ketamakan dan ketergesa-gesaan kepada motif syukur dan sabar. Ini berarti bahwa kita tidak perlu membuang kesenangan kita, tapi dengan membuang keterikatan kita pada hal-hal tersebut. Ini adalah proses terus-menerus, dan Rumi meringkas proses ini dalam sajaknya: “Semua manusia adalah anak-anak kecuali yang minum dengan Tuhan. Tidak ada orang matang yang tidak bebas dari keingingan demi diri sendiri.”

Ijinkan saya menutup bab ini dengan menuturkan kekuatan cinta, sebuah jalan yang hanya dapat diungkapkan dengan syukur dan sabar saja:

Kereta api itu berbunyi dan mendesis lewat pinggir kota Tokyo pada suatu sore musim semi yang teduh … Pada suatu stasiun pintu-pintu terbuka, dan tiba-tiba keheningan sore itu diguncangkan oleh seorang lelaki yang melenguhkan cacian kasar dan sepotong-sepotong. Lelaki itu berjalan terhuyung-huyung ke gerbong kami. Dia mengenakan pakaian pekerja, dan dia bertubuh besar, mabuk, dan kotor. Sambil menjerit, ia mengayunkan tangan pada seorang wanita yang membawa bayi. Hantaman itu membuat wanita itu terputar ke pangkuan pasutri tua. Adalah keajaiban bayi wanita itu tidak terluka.
Karena ketakutan, pasutri itu meloncat dan berjuang menuju ujung lain dari gerbong. Sang pekerja mengarahkan tendangan pada punggung sang wanita tua yang melarikan diri itu tetapi meleset karena wanita itu mempercepat larinya demi keselamatan. Hal ini membuat sang pemabuk begitu marah sehingga ia meraih galah logam dari tengah mobil dan mencoba merenggutnnya lepas dari tiang penyanggahnya. Aku dapat melihat bahwa satu tangannya teriris dan berdarah. Kereta itu melesat ke depan, para penumpang terdiam ketakutan. Aku berdiri.
Saat itu saya masih muda, sekitar dua puluh tahun lalu, dan dalam kondisi baik. Saya telah memberikan delapan jam penuh untuk latihan Aikido hampir setiap hari selama tiga tahun terakhir. Saya suka melempar dan meraih. Saya menganggap diri saya tangguh. Masalahnya, keahlian bela diri saya tidak teruji dalam perkelahian sesungguhnya. Sebagai murid-murid Aikido, kami tidak diizinkan berkelahi.
“Aikido,” kata guru saya lagi dan lagi, “adalah seni perdamaian. Siapa yang mempunyai pikiran untuk berkelahi telah merusak hubungannya dengan semesta. Jika kau mencoba mendominasi orang, kau sudah dikalahkan. Kita mempelajarinya untuk memecahkan konflik, bukan untuk memulainya.”
Saya mendengarkan perkataannya. Saya berusaha keras. Saya bahkan sampai menyeberang jalan untuk menghindari chimpira, berandalan pinball yang berkeliaran di stasiun kereta. Kesabaran saya mengagungkan saya. Saya merasa tangguh dan suci. Tetapi di dalam hati saya menginginkan suatu kesempatan yang sepenuhnya sah di mana saya mungkin menyelamatkan orang-orang tak bersalah dengan menghancurkan yang bersalah.
“Ini kesempatanku!” kata saya pada diri sendiri saat berdiri. “Orang dalam bahaya. Jika saya tidak cepat berbuat sesuatu, seseorang mungkin akan terluka.”
Melihat saya berdiri, sang pemabuk mendapati kesempatan untuk memfokuskan kemarahannya. “Aha!” raungnya. “Orang asing! Kau perlu pelajaran dengan cara Jepang!”
Saya memberi isyarat pada para penumpang yang terpancang di depan dan memberi orang itu pandangan jijik dan menolak. Saya berencana menghajar orang ini, tetapi dia harus menyerang lebih dahulu. Saya ingin dia marah, jadi saya merapatkan kedua bibir saya dan meniupkan ciuman kurang ajar.
“Baik!” teriaknya. “Kau akan mendapat pelajaran.” Dia bersiap menyerbu saya.
Sepersekian detik sebelum dia dapat bergerak, seseorang berteriak “Hei!” yang memekakkan telinga. Saya mengingat kualitas berirama dan secara aneh menyenangkan dari teriakan itu – seperti jika Anda dan seorang teman telah mencari sesuatu dengan tekun, dan dia tiba-tiba menemukannya. “Hei!”
Saya berputar ke kiri; sang pemabuk berputar ke kanannya. Berdua kami melihat seorang lelaki Jepang tua. Dia pastilah berusia tujuh puluh tahunan, lelaki kecil ini, duduk rapi dalam kimononya. Dia tidak memperhatikan saya, tetapi tatapannya menembus dengan senang pada sang pekerja, seakan-akan dia mempunyai rahasia paling penting dan paling disambut untuk berbagi.
“Ke sinilah,” kata si orang tua dengan logat sehari-hari, memberi isyarat pada sang pemabuk. “Kemari dan omong-omong dengan saya.” Dia melambaikan tangan dengan santai.
Lelaki besar itu menurut, seperti ditarik tali. Dia menancapkan kedua kaki dengan pongah di depan lelaki tua, dan berteriak mengatasi bunyi roda kereta, “Mengapa saya harus bicara denganmu?” Sang pemabuk sekarang membelakangi saya. Jika sikunya bergerak satu milimeter saja, saya akan menjatuhkannya ke lantai.
Si orang tua terus menatap sang pekerja. “Kau minum apa?” Tanyannya, matanya bersinar penuh keingintahuan. “Saya minum sake,” balas sang pekerja dengan keras, “dan itu bukan urusanmu!” Bintik-bintik air ludah memerciki orang tua itu.
“Oh, bagus sekali,” kata sang orang tua, “sangat bagus. Kau tahu, saya juga suka sake. Setiap malam, saya dan istri (kau tahu, umurnya tujuh puluh enam) memanaskan sebotol kecil sake dan membawanya ke kebun, dan kami duduk di kursi kayu tua. Kami memandang matahari terbenam, dan kami mengamati perkembangan pohon kesemek kami. Kakek buyut saya menanam pohon itu, dan kita khawatir apakah ia akan bertahan dari badai es yang terjadi musim dingin lalu. Tetapi pohon itu bertahan lebih baik dari yang saya kira, khususnya jika mempertimbangkan kualitas tanah yang buruk. Puas rasanya melihatnya saat kami mengambil sake dan keluar menikmati sore hari – sekalipun saat hujan!” Dia memandang sang pekerja, matanya bersinar-sinar.
Saat sang pekerja berjuang mengikuti percakapan sang orang tua, wajah sang pemabuk mulai melunak. Kepalan tinjunya perlahan terbuka. “Ya,” katanya. “Saya juga suka kesemek .…” Suaranya mengecil.
“Ya,” kata orang tua itu, sambil tersemyum, “dan saya yakin kau punya istri yang baik.”
“Tidak,” jawab sang pekerja. “Istriku meninggal.” Dengan sangat lambat, terguncang oleh gerakan kereta, lelaki besar itu mulai tersedu-sedu. “Aku tak punya istri, tak punya rumah, tak punya pekerjaan. Aku begitu malu pada diri sendiri.” Air mata mengalir ke pipinya; kekejangan oleh keputus-asaan beriak di tubuhnya.
Sekarang giliranku. Berdiri di sini dengan kemurnian muda yang terasah baik dan kebenaran membuat – dunia – aman – demi – demokrasi saya, saya tiba-tiba merasa lebih kotor dari dia.
Kemudian kereta tiba di pemberhentian saya. Saat pintu-pintu terbuka, saya mendengar sang orang tua berdecak dengan simpati. “Hmm,” katanya, “tentu saja itu keadaan yang sulit. Duduklah di sini dan ceritakanlah padaku.”
Saya memalingkan kepala untuk pandangan terakhir. Sang pekerja tergeletak di tempat duduk, kepalanya dalam pangkuan si orang tua. Orang itu sedang mengelus rambutnya yang kotor dan kusut.
Saat kereta berangkat lagi, saya duduk di kursi. Apa yang ingin saya lakukan dengan otot telah diselesaikan dengan kata-kata yang baik. Saya baru saja melihat Aikido diujikan dalam pertarungan, dan intisarinya adalah cinta.


Ingatlah selalu!

BERSYUKUR BUKANLAH BERARTI ANDA MENGINGKARI KENYATAAN HIDUP, MELAINKAN ANDA MEMILIH UNTUK MELIHAT DAN MENAFSIRKAN HIDUP DENGAN LEBIH POSITIF. ANDA SENANTIASA MAMPU MELIHAT HAL BAIK DALAM SETIAP ASPEK KEHIDUPAN, KARENA HAL MENDASAR DARI PENCIPTAAN ADALAH KEBAIKAN.


No comments:

Post a Comment