Saturday, April 7, 2007

PENTINGNYA SEBUAH HAMBATAN

Ketika Tuhan mencintai seorang hamba yang taat, Dia mengirimkan kepadanya cobaan. Jika dia memikulnya dengan sabar, Tuhan mengistimewakan dia; jika dia puas, Tuhan menyucikannya

- Nabi Muhammad saw -

Buah pada pohon ada di ujung dahan! Semua pembelajaran dan perubahan memiliki resiko

- Colin Rose -

Memandang malapetaka sebagai anugerah tidaklah mudah. Kita terbiasa melihat sisi negatif dari malapetaka apa pun, dan tak menangkap sisi positifnya. Intelek cenderung menganggap buruk segala yang tak berjalan dengan kita, tak memenuhi aspirasi kita, atau mengancam kesejahteraan kita. Kecenderungan bawaan ini bisa bermanfaat bagi kita. Ia memotivasi kita mencari strategi-strategi untuk menciptakan perasaan yang lebih nyaman dan melindungi kita dari bencana dan kerugian. Namun, dalam situasi-situasi tertentu, penderitaan bisa menjadi berkah tersembunyi. Penderitaan dapat menjadi seruan untuk bangkit, menggaet perhatin kita, dan memecut kita mengubah arah perjalanan hidup. Dean Ornish menulis, “Banyak pasien bilang pada saya, ‘Serangan jantung adalah hal terbaik yang terjadi pada saya’. Jantung fisik mereka mungkin sakit dan tersumbat, tetapi jantung emosional dan spiritual mereka membuka sehingga menghasilkan kesenangan dan makna hidup.”

Saya tentu tak pernah menari-nari di jalan dengan riang gembira ketika diagnosis dokter menyebutkan bahwa saya, yang kala itu berumur 52 tahun, terkena diabetes. Faktor genetik, kebiasaan duduk dalam waktu yang lama sepanjang hidup, dan stres berat menimbulkan penyakit ini. Dokter memberikan obat-obat yang harus saya minum, dan menyuruh saya menemui perawat khusus penyakit diabetes untuk membuat rencana makan harian dan pergantian makanan yang harus saya patuhi dengan ketat. Bagi saya, segala sesuatu yang ketat senantisa menyulut pemberontakan. Saya menyukai kebebasan yang menuntun hidup saya di jalannya sendiri. Saya dimanjakan oleh kebebasan. Saya menjadi guru besar di program doktoral, mendapat kebebasan yang cukup untuk datang dan meninggalkan kampus sesuka saya, untuk memilih kelas-kelas yang akan saya ajar dan untuk melakukan riset yang saya senangi. Maka, aturan dokter untuk mengikat hidup saya pada sebuah neraca yang selalu menakar makanan dan menghitung pertukaran makanan tampak seperti memenjarakan diri saya dalam sebuah sangkar. Pada saat yang sama, tiada jalan untuk mengabaikan fakta bahwa diabetes merupakan penyakit berat. Diabetes yang tak terkendali dapat menimbulkan gagal ginjal, gangguan sistem saraf tepi, kebutaan, kerusakan anggota badan yang kemudian perlu diamputasi, dan kematian.

Syahdan, saya pun berkompromi. Saya mulai menjalani pengobatan, tetapi tak lagi menemui perawat khusus penyakit diabetes setelah pertemuan pertama. Alih-alih, saya melakukan semua hal semampunya untuk diet tanpa pernah mengikatkan diri pada aturan-aturan ketat dan daftar pergantian makanan, dan saya mengubah pola makan saya sesuai dengan aturan-aturan tersebut. Saya pun mengurangi berat badan, berolah raga, dan meredakan stres. Dengan tinggi badan 177 cm dan berat 98 kg, selama ini saya jarang sekali berolah raga secara sistematis dan tak bisa meredakan stres secara akif. Lalu, saya mulai berolah raga secara terprogram, teratur minum obat, dan mengatur makanan secara teliti, sehingga berat badan saya turun secara berangsur-angsur. Namun, diabetes saya belum terkendalikan dengan baik, bahkan obat dengan dosis maksimal tak berfungsi lagi. Lantas, dokter betul-betul merekomendasikan agar saya disuntik insulin dua kali sehari.

Ini benar-benar keterlaluan – penderitaan yang bertumpuk-tumpuk, saya merasakannya demikian. Saya selalu amat takut dengan jarum suntik. Saya selalu menghindari transfusi darah atau menolak suntikan sebisa-bisanya. Akan tetapi, sekarang saya mau tak mau harus melihat jarum suntik dan menentukan pilihan: disuntik insulin seumur hidup, atau didera segala komplikasi diabetes yang mengerikan. Apa yang akan terjadi? Tak banyak pilihan. Saya mengalami penderitaan yang campur aduk dan sangat berat. Namun, saya mesti memilih, dan pilihannya sudah terang: disuntik insulin.

Suntikan insulin membawa sejumlah kerugian. Saya mempunyai jadwal ceramah dan konsultasi yang padat. Acap kali, saya terpaksa menyuntik sendiri di kamar mandi bandara dan restoran. Orang-orang memerhatikan saya dan mungkin bertanya-tanya siapa pemadat berpakaian perlente ini yang secara sembrono menyuntikkan morfin di kamar mandi umum. Saya tak bisa memberi tahu mereka bahwa saya menderita diabetes dan ini bukan morfin, melainkan insulin, walaupun berkali-kali saya sungguh tergerak untuk memberitahukannya agar mereka urung merendahkan saya.

Kerugian lainnya adalah bahwa suntikan insulin memudahkan saya melanggar diet dan program olah raga. Bila ingin makan sepotong pie, saya tinggal menambahkan satu suntikan insulin lagi. Mendadak, penjara insulin ini membekap tubuh saya kuat-kuat. Parahnya lagi, saya kerap merasakan reaksi-reaksi insulin yang berbahaya ketika kadar gula tubuh saya turun drastis yang menimbulkan akibat lebih buruk, pingsan, koma, dan bahkan kematian. Saat ber-jogging sebagai olah raga sehari-hari sekitar sepuluh blok dari rumah saya, saya ambruk di rerumputan depan sebuah rumah. Syukurlah, ada seorang anak yang sedang bermain di lapangan, dan saya langsung menyuruhnya memanggil ayah atau ibunya. Ibunya keluar, dan saya memintanya menelepon istri saya supaya datang menjemput. Saya juga minta makanan – apa pun – yang manis. Wajah saya pucat pasi. Sesudah menelepon istri saya, ibu itu mengambilkan sebool soda. Saya yakin pasti sudah mati di atas rerumputan itu seandainya tak ada anak yang bermain di sana.

Tentu saja, saya sangat tidak bahagia karena penyakit diabetes ini. Saya merenung benarkah malapetaka ini berkah terselubung sebagaimana bunyi ajaran Bahâ’î: Wahai, anak manusia. Malapetaka yang Kutimpakan adalah anugerah-Ku untuk kalian. Secara lahiriah, ia adalah api dan siksaan, tetapi secara batiniah adalah cahaya dan rahmat. Kemudian, saya melakukan sesuatu yang tak saya anjurkan kepada siapa pun, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter. Saya melakukannya atas keinginan sendiri, sebab saya tahu dokter pasti akan melarang tindakan itu. Saya menghentikan pengibatan dengan insulin setelah secara seksama menempuh pengobatan alternatif. Saya merasa perlu mencobanya. Jika pengobatan ini tak berhasil, saya akan kembali menggunakan insulin, pikir saya. Seluruh langkah pengobatan ini dapat diringkas sebagai berikut:

  • Mengontrol diet
  • Berolah raga setiap hari
  • Menurunkan kelebihan berat badan dan menjaga stabilitasnya
  • Meredakan dan secara efektif mengatasi stres
  • Bedoa dan bermeditasi saban hari
  • Meminum obat-obat hypoglycemic

Hampir lima belas tahun saya menderita diabetes. Nyatanya, terbukti bahwa malapetaka ini adalah berkah. Diabetes menyita perhatian saya. Saya dipaksa untuk melihat kehidupan saya secara komprehensif dan, dengan pelbagai cara, mengubah seluruhnya – saya yakin – demi kehidupan yang lebih baik. Agaknya, saya harus melakukan banyak perbaikan. Sampai sekarang, saya masih terus berusaha keras untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam segala segi.

Segera saja berat badan saya turun 20 kg, dan selama bertahun-tahun berikutnya saya menjaga stabilitas berat badan ini. Penurunan berat badan itu mengurangi jumlah suntikan insulin, dan mendorong pankreas saya bekerja lebih baik bagi sel-sel yang jumlahnya kini telah berkurang. Ini mengingatkan saya akan sebuah pepatah Timur yang lawas: “Sebuah desa yang makmur lebih baik daripada seratus kota miskin”. Tubuh yang lebih langsing dan tak banyak lemak adalah desa makmur saya sekarang, sedangkan tubuh yang gendut adalah seratus kota miskin saya terdahulu.

Secara spiritual, penyakit diabetes saya itu membawa berkah yang luar biasa. Saya diharuskan merenungkan hal-ihwal yang sebelumnya hanya dilihat sepintas lalu atau sedikit terperhatikan. Saya berdoa dan bermeditasi dengan sungguh-sungguh untuk kesehatan dan kehidupan saya. Doa dan meditasi menjadi sumber-sumber kesenangan sejati. Hasil yang bisa langsung dipetik dari doa dan meditasi adlah meredakan stres secara signifikan. Saya juga belajar berdikari, sebuah kearifan yang amat luhur. Tentu saja, Anda harus berobat ke dokter bila menderita diabetes atau penyakit-penyakit lain. Namun, dokter tidak akan menyembuhkan Anda. Dokter bukanlah seorang mekanik yang mengganti onderdil-onderdil rusak dalam mobil Anda, dan Anda juga bukan mobil. Dokter memberi Anda beberapa perkakas dan ketrampilan. Anda sendirilah yang senyatanya akan menyembuhkan tubuh Anda. Apabila Anda melakukannya, berarti Anda sedang bersandar pada diri sendiri, dan hidup berdikari sungguh membebaskan dan menggembirakan. Hidup berdikari adalah sebentuk kebebasan yang penting, memimpin hidup Anda, dan siap menikmati hadiah-hadiah atas segala jerih payah Anda. Bagi saya, seluruh hasil ini luar biasa:

  • Sesudah lima belas tahun menderita diabetes yang cukup parah dan sembuh, saya tak merasakan dampak-dampaknya yang meletihkan
  • Saya berhasil mempertahankan kadar gula yang sempurna selama lima tahun terakhir tanpa bantuan insulin
  • Saya merasa diri saya menjadi sangat matang setelah berhasil mengalahkan musuh (diabetes) dan membuatnya menjadi kawan saya
  • Saya tak pernah merasa sebahagia ini sepanjang hidup

Menangani diabetes, dari dulu hingga sekarang, tidaklah mudah. Akan tetapi, melakoni hidup sehari-hari tanpa penyakit, dengan jerih payah sendiri, luar biasa memuaskan – tak berbeda dari bermain tennis dengan mengerahkan setiap kelihaian dan tenaga Anda sehingga Anda berhasil memenangi sebuah pertandingan alot.

JADILAH DEWASA

Bila seorang tak alami ujian dan cobaan, kapan jadinya; Bila angin dan hujan tak datang, bunga mana yang beraroma

- Nasir Khusru -

Anda sudah cukup berpanjang lebar membaca kisah dari Khalil A. Khavari, Ph.D – seorang guru besar yang juga seorang konsultan dan penulis buku-buku best seller serta seorang peneliti – yang ditulisnya sendiri dalam bukunya yang berjudul: Spiritual Intelligence: A Practical Guide to Personal Happiness. Kisah Khavari di atas menjadi pengantar kita akan pentingnya sebuah hambatan dalam hidup ini, dalam meraih apapun yang Anda inginkan termasuk dalam menjalani hidup ini hingga akhir hayat Anda.

Adakah di dalam hidup ini yang tidak memiliki hambatan? Saya dengan penuh keyakinan menyatakan TIDAK ADA. Kenapa? Karena Anda tak akan pernah dewasa jika tak ada yang namanya hambatan. Hambatan membuat seseorang menjadi dewasa. Ilustrasi cerita tentang kupu-kupu menjelaskan hal ini dengan sangat baik.

Seseorang menemukan sebuah kepompong raja kupu-kupu, kemudian membawanya pulang dan memeliharanya. Beberapa hari berikutnya, tampaklah sebuah lubang kecil, dan selama beberapa jam kupu-kupu di dalamnya berusaha keras untuk keluar, tetapi gagal. Ia terlihat menderita sekali. Orang itu merasa kasihan, dan kemudian membantunya keluar dengan memperlebar lubang kecil tersebut. Akhirnya, kupu-kupu itu bisa keluar dengan gampang, tubuhnya besar dan gemuk, sayap-sayapnya kecil dan masih kisut.

Orang itu berpikiran bahwa beberapa jam lagi sayap-sayap kupu-kupu tadi akan mengembang indah, tetapi nyatanya tidak. Alih-alih berkembang jadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas, binatang itu malah lumpuh dan hanya bisa mengingsutkan tubuhnya yang gendut dan sayapnya yang kisut.

Kepompong yang membelenggu, usaha keras, dan penderitaan yang dibutuhkan untuk keluar dari lubang kecil itu berfungsi untuk mengeluarkan cairan dari tubuhnya lewat sayap-sayapnya. Bantuan orang tadi justru merugikan si kupu-kupu, yakni menghalangi pertumbuhan sayap-sayapnya.

Usaha keras dan “penderitaan” (saya beri tanda kutip, karena sebenarnya tidak ada yang disebut dengan penderitaan. Karena penderitaan hanyalah persepsi keliru terhadap hambatan hidup) ternyata dibutuhkan oleh kita untuk menjadi dewasa. Kata “dewasa” dalam pengertian ini mengandung dua makna sekaligus. Makna yang pertama adalah dewasa secara fisik; artinya Anda tumbuh menjadi manusia berdasarkan ukuran fisik. Dan yang kedua adalah pengertian kata “dewasa” untuk menjelaskan arti dari pertumbuhan jiwa dan spiritual seseorang.

Baik makna pertama dan makna kedua, kita membutuhkan hambatan untuk menumbuhkan diri kita menjadi dewasa. Mungkin Anda pernah mendengar bahwa semua makhluk ketika terlahir ke dunia sudah bisa menjadi mandiri sampai dalam batas tertentu kecuali manusia. Sebagai contoh, kupu-kupu yang saya ceritakan tadi. Begitu muncul ke dunia, maka secara otomatis bisa terbang dengan secara mandiri melatih sayapnya. Jika Anda pernah melihat bayi kanguru yang baru lahir, maka dapat Anda perhatikan bahwa begitu bayi kanguru tersebut lahir, ia sudah bisa berjalan sendiri menuju kantong induknya. Burung atau binatang unggas ketika lahir sudah bisa secara mandiri berlatih untuk berdiri dan mulai berjalan.

Berbeda dengan manusia, ketika lahir ke dunia maka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menggerak-gerakkan dirinya dan menangis. Itulah sebabnya para peneliti menyebutkan bahwa hanya pada diri manusia sajalah terdapat sebuah potensi dasar yang hanya bisa berkembang ketika diberi rangsangan/stimulus. Nah, ketika seorang bayi diberi stimulus, maka secara otomatis dia mulai mengembangkan motorik kasarnya. Jika Anda memperhatikan pertumbuhan seorang anak, maka Anda mengerti bahwa anak membutuhkan banyak stimulus untuk melatih perkembangan tubuh dan otaknya. Anak-anak akan menjelajahi berbagai hal dan hambatan, sebenarnya untuk melatih perkembangan motorik tubuhnya dan otaknya. Dengan kata lain, hambatan-hambatan yang ada pada seseorang justru membuat dirinya tumbuh menjadi dewasa. Memiliki struktur tubuh yang kuat.

Hambatan ini sebenarnya terjadi karena seseorang belum mengetahui atau baru akan melalui sebuah jalan/cara/metode baru. Dengan kata lain, ikatan antar-sel di otak kita baru akan terjadi dan mencoba untuk saling mengikat secara kuat. Walaupun demikian, ada juga hambatan yang lain, yaitu musibah misalnya, dimana hambatan jenis ini merupakan hambatan yang bersifat eksternal. Apapun jenis hambatannya, hambatan ini justru membuat seseorang menjadi dewasa, baik fisik maupun jiwa dan spiritualnya.

Saya ingin memberi sebuah contoh yang lain lagi, akan pentingnya sebuah hambatan. Kalau Anda ingin membuat tubuh Anda berotot maka cara yang terbaik adalah Anda akan pergi ke tempat fitness. Di sana Anda akan diajarkan cara mengangkat berbagai jenis beban. Fungsi dari mengangkat jenis-jenis beban ini sesungguhnya untuk membuat tegangan/kontraksi pada otot Anda, sehingga perlahan tapi pasti akan membuat bagian tubuh yang Anda inginkan berotot. Memang betul bahwa ketika berlatih pada tahap awal akan membuat Anda merasakan kesakitan pada bagian-bagian tertentu di tubuh Anda. Namun dengan kesabaran berlatih, maka lambat laun Anda akan terbiasa dan pada akhirnya hambatan (beban) yang Anda pergunakan justru menjadi lebih ringan dan bentuk ideal tubuh Anda pun menuai hasil. Itulah sebabnya Hafizh Syirazi pernah berkata, “Kesabaran dan keberhasilan merupakan dua sahabat lama. Di mana ada kesabaran, tak jauh dibelakangnya niscaya ada keberhasilan.”

Ilustrasi ini menegaskan kepada kita bahwa apapun yang kita lakukan pasti akan menemui hambatan – besar atau kecilnya hambatan itu. Namun, dengan kesabaran yang terus terjaga maka lambat laun kita pun akan menuai hasil. Fungsi hambatan untuk membuat Anda menjadi dewasa. Selain itu, dengan adanya hambatan, maka Anda akan memiliki segudang pengalaman baru untuk membantu Anda menjadi lebih bijak di masa yang akan datang. Napoleon pun berkata, “Begitu aku mengalami kekalahan kudapati cara untuk mengalahkan.”

Seorang peneliti yang bernama E.M. Gray pernah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari satu faktor yang dimiliki semua orang sukses. Ia pada akhirnya berhasil menemukan satu faktor tersebut. Faktor tersebut adalah bahwa semua orang-orang sukses memiliki visi kesuksesan yang lebih kuat daripada kemalasannya. Dengan kata lain, mereka setia pada tekadnya. Mereka bersabar dengan apa yang mereka lakukan. Dan perlu Anda ketahui, bahwa orang-orang yang tidak sukses, sebenarnya, adalah orang-orang yang tidak bersabar dengan jalannya. Mereka berhenti di tengah jalan. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka. Mereka hanya fokus pada rasa sakit yang mereka derita ketika menemui hambatan, mereka tidak fokus pada visi mereka, mereka berhenti berproses, mereka tidak mencoba untuk mempertahankan kesabaran mereka dalam melakukan sesuatu. “Kehidupan yang belum diuji tidak patut ditempuh,” demikian mutiara dari Plato.

Saya ingin mengutipkan kepada Anda salah satu ciri orang spiritualis, menurut Danah Zohar, yang saya kutip dari bukunya tentang SQ:

Langkah pertama menuju kecerdasan spiritual adalah mengambil kembali tanggung jawab atas kehidupan saya. Saya harus memanfaatkan spontanitas mendalam yang merupakan karunia dari SQ bawaan saya, untuk menanggapi secara jujur dan segar lingkungan saya dan situasi yang saya hadapi sekarang. Dan saya harus mengambil tanggung jawab atas peranan saya di dalamnya. Saya mungkin menemukan diri saya dalam suatu situasi yang menyakitkan atau tidak menyenangkan, tetapi hanya saya yang dapat mempengaruhi cara saya menanggapinya. Hanya saya yang dapat menentukan sikap saya terhadap hal-hal yang terjadi kepada saya. Hanya saya yang dapat memberi makna pada apa yang terjadi kepada saya. Saya mungkin mempunyai penyakit yang tak dapat disembuhkan, namun sayalah yang memutuskan bagaimana saya menanggapi itu. Hanya saya yang dapat mati untuk saya.

Dan untuk senantiasa mengembangkan diri kita untuk menjadi lebih dewasa kita membutuhkan hambatan. Sampai kapan? Sampai kita meninggal. Kok demikian? Ijinkan saya menjelaskan hal ini dengan menceritakan tentang seseorang yang pernah berkonsultasi kepada saya.

Pernah ada seorang kawan yang datang untuk curhat kepada saya mengenai masalahnya dengan sang kekasih. Setelah cukup panjang kami berbagi ide, maka sampailah kami pada satu kesimpulan bahwa dalam menjalani hidup dengan segala masalahnya diperlukan kesabaran. Terus teman saya ini nyelutuk, “Bagaimana kalau kesabaran saya sudah habis?”

Pertanyaan ini mungkin juga pernah melanda Anda. Oleh sebab itu, ijinkan saya mengemukakan pendapat saya mengenai kesabaran dan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Saya ingin menanyakan satu hal kepada Anda: sewaktu Anda sekolah, kapan Anda dinyatakan lulus atau berhasil sekolah? Jawaban yang mungkin dari pertanyaan ini cuma satu, yaitu ketika Anda berhasil mengikuti ujian-ujian yang diberikan kepada Anda menjelang akhir masa sekolah. Artinya, Anda dinyatakan lulus ketika berhasil lolos dari serangkaian ujian-ujian. Nah, dalam kehidupan ini saya ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepada Anda: kapan Anda dinyatakan berhasil melalui hidup ini? Ya, nanti ketika sudah mati. Ketika Tuhan menentukan nasib kita kelak, dimana akan dinyatakan kepada kita apakah kita berhasil lolos atau tidak dalam ujian-ujian di dunia. Kesabaran itu adalah sebuah ujian. Kesabaran itu adalah sebuah derajat spiritual. Seseorang dinyatakan berhasil sabar ketika ia berhasil melalui serangkaian ujian selama hidup hingga meninggal nanti.

Ini berarti bahwa istilah “saya kehabisan kesabaran” adalah tidak tepat. Yang benar ialah bahwa “saya berhenti untuk menjadi orang yang sabar”. Anda tidak bisa dinyatakan telah bersabar ketika Anda belum berhasil melalui serangkaian ujian/hambatan hingga Anda meninggal kelak. Dengan kata lain, salah satu bagian dari kehidupan inilah adalah bagaimana kita melatih kesabaran. Dan cara terbaik adalah bagaimana kita mampu mengendalikan diri kita di saat kita menghadapi hambatan-hambatan hidup. “Kesabaran adalah penjaga pintu hasrat. Kesabaran menganjurkan kontemplasi ketimbang tindakan reaksioner,” demikian sebuah ungkapan bijak. Virginia Satir pun pernah berkata, “Kehidupan bukanlah seperti yang seharusnya, itu memang seperti adanya. Cara Anda menghadapinya itulah yang membuat perbedaan.” Dan saya ingin menegaskan hal ini dengan suatu kalimat indah dari Al-Qur’an, “Aku uji kalian dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa serta buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang bersabar.” (QS 2:155). Muthahhari kemudian menafsirkan ayat ini bahwa ujian dan kesulitan merupakan hal-hal yang bermanfaat dan berdampak positif bagi orang-orang yang tegar dalam menghadapinya. Karenanya, mereka berhak mendapatkan berita gembira dan kebaikan.

Mari kita lihat kisah nyata yang begitu menarik, sebuah dialog yang dilakukan oleh Adi W. Gunawan – trainer Accelerated Learning – dengan seorang Ibu yang mengikuti lokakaryanya:

Ibu ini menceritakan keadaan anaknya yang duduk di kelas 4 SD. Anak ini pandai memainkan piano. Karena permainannya dirasa cukup baik, oleh kedua orangtuanya anak ini hendak diikutsertakan dalam lomba. Ternyata anaknya menolak untuk ikut. Dengan segala bujuk rayu anak itu tetap tidak mau. Ibu itu bertanya mengapa ini bisa terjadi dan apa yang harus mereka lakukan sebagai orangtua.

Yang pertama saya tanyakan adalah, “Anak Ibu ini di kelas ranking ya?”

“Lho, Bapak kok tahu?” balas si ibu.

“Kalau memang benar di kelas ranking, maka saya tahu alasannya mengapa anak Ibu tidak mau ikut lomba,” jawab saya.

“Lalu apa sebabnya, Pak? Tanya ibu itu lagi.

Ternyata, sesuai dengan analisis saya, kedua orangtua anak ini termasuk orangtua yang menuntut anak untuk selalu ranking atau juara kelas. Telah ditanamkan dalam pikiran anak ini sejak masih kecil bahwa dia harus bisa juara. Untuk menjadi juara tentunya nilainya harus baik. Nilai baik berarti tidak boleh membuat kesalahan. Dan dia hanya akan menjadi juara dengan mengalahkan teman-temannya yang lain. Kalau sampai nilainya kalah dibandingkan dengan temannya maka dia akan gagal.

Coba Anda bayangkan pola pikir yang ditanamkan orangtua tersebut pada anaknya. Dan biasanya, pola pikir ini akan terus merembes dalam kehidupan sang anak selanjutnya. Pola pikir apakah itu? Pola pikir yang berpandangan bahwa membuat kesalahan adalah hal yang jelek. Sehingga kebanyakan orang menghindar untuk berbuat salah. Padahal kesalahan adalah suatu pelajaran untuk memahami apa arti kebaikan. Dan dalam setiap upaya untuk selalu fokus, akan ada saja kesalahan yang kita buat. Hal ini terjadi karena adanya hambatan-hambatan dalam upaya kita menuai kesuksesan. Namun kesalahan inilah yang akan membuat kita untuk selalu bisa tetap fokus dan berlatih kesabaran. Seperti kata seorang bijak, “Anda bisa melakukan apa saja yang Anda mau asalkan Anda melakukannya dengan sepenuh hati.”

Dengan demikian, hambatan senantiasa kita butuhkan untuk membangun diri kita sendiri. Hambatan sebenarnya untuk kebahagiaan kita. Bagi manusia, hambatan adalah tabungan amaliah kehidupan. Di masa mendatang ia menjadi sarana kemajuan dan pengembangan mereka. Maka dari itu, ketika mereka menghadapi berbagai masalah, dengan bermodalkan pengalaman, mereka dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan dengan baik. Ali bin Abi Thalib a.s yang dikenal dengan kekuatan dan keagungan roh serta kokoh di hadapan badai musibah menjelaskan akan pentingnya hambatan ini dengan sangat baik, “Andai aku ditanya, ‘Apakah yang menyebabkan jasmani dan rohanimu menjadi berani dan kokoh, padahal engkau cuma makan gandum, garam, dan cuka?’ Maka aku akan menjawab, ‘Pepohonan sahara yang berada di tanah bebatuan serta di bawah terik mentari yang membakar dan beradu dengan berbagai faktor kepahitan, lebih kuat dan tahan daripada pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang berada di tepi pengairan. Pepohonan di tepi pengairan yang tumbuh dalam buaian kenikmatan dan buaian tukang kebun, tak terbiasa dengan masalah dan musibah. Sedangkan pepohonan sahara tumbuh besar dalam dekapan berbagai masalah. Ia menjadi murid musibah-musibah, pengasuhnya adalah angin panas, mentari menyengat, air yang sedikit dan ketiadaan hujan.”

HAMBATAN MENAMPAKKAN KESUKSESAN

Dengan nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami hilangkan darimu bebanmu yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan sebutan (nama)-mu. Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS 94:1-8)

Kalau Anda mengikuti pelajaran renang, maka adalah suatu kemutlakkan bagi seorang pelatih renang untuk melatih Anda dengan segala usaha dan mengerahkan segala kemampuannya agar Anda bisa berenang. Anda tentu tidak bisa berenang dengan hanya membaca buku panduan renang saja. Tetapi Anda harus menceburkan diri Anda ke dalam air dan mencoba bertarung dengan air agar tidak tenggelam. Bahkan, kadang-kadang, Anda harus menghadapi maut jika Anda berenang jauh meninggalkan pantai. Artinya, tidak bisa tidak, setiap orang harus pernah menghadapi kesulitan di dunia, sehingga ia bisa belajar menyelamatkan diri darinya.

Walaupun Anda telah membaca cukup panjang melihat pentingnya sebuah hambatan, tapi mungkin Anda akan bertanya lebih jauh lagi: Buat apa harus ada hambatan itu? Pertanyaan ini mungkin masih menyisakan rasa penasaran. Karena walaupun sudah sejauh ini kita membahas, mungkin masih saja ada yang masih tidak puas atau berharap yang namanya hambatan atau kesulitan itu tidak ada. Karena masih saja banyak orang-orang yang tidak melihat pentingnya hambatan itu, tapi justru merasa semakin sengsara dan menderita dengan adanya hambatan dan kesulitan hidup.

Jawaban pertama yang akan saya berikan adalah bahwa sesungguhnya kesulitan dan kenikmatan itu relatif sifatnya. Artinya, sewaktu musibah yang dialami seseorang itu dipandang sebagai suatu kenikmatan, maka ia dapat mengambil manfaat darinya, dan sewaktu ia menghadapi guncangan-guncangan yang muncul darinya dengan bersabar, maka sempurnalah jiwanya. Sedangkan bila ia menghindarinya, kemudian menjerit dan berkeluh-kesah, maka musibah itu akan betul-betul menjadi bencana.

Murtadha Muthahhari kemudian menjelaskan bahwa pada dasarnya, kenikmatan duniawi yang besar itu adalah seumpama musibah. Ia bisa menjadi sebab kebahagiaan, dan bisa pula menjadi sebab kesengsaraan. Kemisikinan bukanlah kesengsaraan mutlak, dan kekayaan pun bukan pula kebahagiaan mutlak. Banyak kali suatu kemiskinan menjadi faktor pendidikan yang baik dan dapat menyempurnakan seseorang, dan betapa banyak pula kekayaan yang menjadi sebab bagi kesengsaraan dan penderitaan. Dengan begitu, kenikmatan dan cobaan keduanya bisa menjadi rahmat, karena masing-masing bisa memberikan faedah yang baik. Tetapi mungkin pula menjadi musibah dan malapetaka apabila keduanya menjadi faktor kejatuhan dan kehancuran. Karenanya, kita bisa mencapai kebahagiaan dengan kemiskinan, dan bisa pula dengan kekayaan. Demikian pula halnya, kita bisa sengsara dengan kemiskinan, dan bisa pula dengan kekayaan. Adanya seseorang bisa disebut bahagia, banyak terkait dengan reaksinya terhadap kenikmatan tersebut: apakah ia bersyukur atau tidak? Dan adanya seseorang disebut sengsara juga berkaitan dengan bagaimana reaksinya terhadap kesengsaraan itu: apakah ia bersabar dan tegar, atau lunglai, hancur, dan fatalis?

Dengan demikian, tampaklah bahwa sesuatu yang satu itu berbeda-beda posisinya antara seseorang dengan yang lainnya. Sesuatu yang dalam hubungannya dengan orang tertentu bisa dipandang sebagai kenikmatan, bisa merupakan kesengsaraan dalam nisbatnya dengan orang lain. Inilah yang dimaksud dengan, bahwa kenikmatan dan hambatan itu merupakan dua hal relatif.

Jawaban kedua atas pertanyaan di atas adalah apa yang saya sebut sebagai “dualisme”. Tanda petik saya berikan karena pada dasarnya tidak ada yang disebut sebagai dualisme kehidupan. Kita ambil contoh sederhana, siang dan malam. Banyak juga yang suka mengambil contoh ini untuk menguatkan argumentasi dualisme mereka. Oleh sebab itu, ijinkan saya dalam kesempatan ini mengungkapkan argumentasi saya bahwa dualisme itu pada dasarnya tidak ada. Anda bisa melihat siang, Anda bisa pula melihat malam. Namun jika kita sama-sama memperhatikan dengan seksama, maka pada dasarnya yang ada itu hanyalah siang (terang) saja. Mari kita sederhanakan pembahasan ini dengan bertanya: Adakah sumber siang (terang) itu? Jawaban Anda pasti sama dengan jawaban saya, yaitu ada. Dan sumber terang itu adalah matahari, seperti yang bisa Anda saksikan sendiri. Sekarang pertanyaan yang sama kita tanyakan kepada malam (gelap): Adakah sumber malam (gelap)? Jawaban yang ada adalah: tidak ada. Anda bisa membenarkan argumen saya ini, karena memang tidak ada yang disebut sebagai sumber gelap. Malam (gelap) hanya terjadi ketika suatu objek menjauhi sumber terang. Artinya, semakin suatu objek menjauhi sumber terang, maka akan semakin gelap objek tersebut, dan sebaliknya, semakin mendekati sumber terang, maka akan semakin terang objek itu. Jadi yang ada hanyalah terang saja. Yang ada hanyalah ketunggalan wujud. Pembahasan ini akan kita bahas lebih mendetail pada bab 9 nanti.

Cukuplah sampai di sini penjelasan bahwa “dualisme” itu tidak ada. Namun, kenapa kita melihat hal ini sebagai “dualisme”? Inilah yang akan kita bahas bersama. Dualisme itu berguna untuk menampakkan sesuatu yang lain. Sebagai contoh: gagah dan cantik. Anda tidak akan bisa disebut sebagai seorang yang gagah atau cantik, jika tidak ada yang disebut jelek. Jika semua orang terlahir dengan memiliki paras wajah yang sama, maka tidak ada lagi yang disebut gagah dan cantik, dan juga jelek. Gagah dan cantik itu memperoleh makna dan konsepnya dari sesuatu yang jelek. Sebab, kesadaran tentang gagah dan cantik itu terkait dengan adanya kejelekan dan perbandingan keduanya. Itulah kenapa orang yang gagah atau cantik harus berterima kasih kepada yang jelek, karena berutang budi kepada orang-orang yang jelek.

Nah, jika kita meneruskan argumen ini akan terlihat dengan jelas bahwa sesuatu yang lain akan menampakkan dirinya karena sesuatu yang berlawanan, dan biasa disebut sebagai dualisme. Sekiranya semua orang itu pahlawan, maka tidak ada yang bisa disebut sebagai kepahlawanan. Para pahlawan menerima penghargaan seperti itu dikarenakan mereka adalah manusia-manusia tertentu saja. Rasa estetika seseorang tidak mungkin terjadi kecuali di bawah syarat-syarat tertentu, yaitu apabila terhadap yang indah itu, terdapat sesuatu yang buruk. Dengan demikian, orang tertarik oleh yang indah karena mereka melihat yang jelek yang tidak mereka sukai. Sekiranya tidak ada gunung, niscaya tidak akan ada lembah dan tidak pula ada air yang mengalir darinya. Dan sekiranya tidak ada yang nama hambatan, kegagalan, dan musibah, niscaya tidak akan ada juga yang disebut kesuksesan. Hambatan menampakkan kesuksesan.

Hal ini terjadi karena daya tarik yang dimiliki oleh sesuatu yang indah dikarenakan adanya daya tolak yang dimiliki oleh sesuatu yang jelek. Dari semua ini akan menjelaskan kenapa ada yang disebut dengan dinamika, usaha, cinta, cumbu rayu, penderitaan, kesengsaraan, cemburu, kesuksesan, kehancuran, dan kehangatan. Jadi jika Anda protes kepada Tuhan dan berharap Tuhan menciptakan semua itu sama, maka pada dasarnya akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang baik dan indah, semangat dan dinamika, perjalanan dan transformasi. Karena itu, “Di pabrik cinta harus ada kekufuran,” demikian syair Hafizh. Ini seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi yang berbeda.

MENDAPATKAN INFORMASI BERHARGA

Apakah Anda tahu bahwa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka setiap orang harus belajar dan memenuhi sekian syarat-syarat? Anda mungkin akan menjawab: Kalau itu sih saya juga sudah tahu. Ok. Kalau begitu mari kita lihat bagaimana proses ini terjadi secara lebih mendetail.

Mari kita lihat contoh menanam padi di sawah. Sebelum kita melanjutkan contoh ini, saya ingin mengatakan bahwa saya sendiri pun bukan ahli persawahan, namun bukan berarti kita tidak bisa mengambil contoh dari situ dan membuat contoh tersebut sebagai analogi kehidupan kita. Nah sekarang, apa yang menjadi syarat-syarat agar kita bisa mendapatkan/memanen padi yang bermutu. Syarat-syarat yang mungkin adalah: kita butuh tanah, benih padi unggul, air yang cukup, pupuk, semprotan hama, dan orang yang mau menanam padi.

Jika sudah lengkap semua syarat itu, maka berdasarkan pengetahuan yang kita miliki, kita sudah bisa menghasilkan padi unggul, padi yang terbaik. Namun ternyata, setelah tiba masa memanen, terjadi “kegagalan” memanen. Artinya, banyak padi yang rusak, tidak sesuai harapan, bahkan mengalami kerugian yang cukup banyak. Bagi orang yang suka mengeluh, maka kejadian ini akan dipandang sebagai masalah, dan sudah tentu akan marah-marah dan mengalami stres berat, bahkan mungkin mengalami serangan jantung mendadak hingga akhirnya meninggal (tragis amat, kasihan!!!).

Namun jika kita mau bersikap terbuka dengan berbagai keadaan yang terjadi, maka kita akan melihat “kegagalan” memanen ini sebagai ladang pelajaran untuk mendapatkan informasi berharga. Dengan adanya “kegagalan” memanen, maka kita bisa melihat sebab dari “kegagalan” tersebut. Kita bisa belajar untuk mencari tahu dan akhirnya kita akan mendapatkan lagi pengetahuan baru. Misalkan saja, ternyata setelah melakukan pencarian sebab, ditemukan bahwa hama tikuslah yang menjadi penyebab “kegagalan” panen tahun ini. Ini berarti apa? Ini berarti bahwa kita telah mendapatkan lagi syarat baru agar kita bisa menciptakan sebuah padi yang bermutu dan hasil yang banyak.

Jika kita kembali ke syarat-syarat terbentuknya padi yang diharapkan, maka kita telah memiliki pengetahuan atau informasi baru untuk ditambahkan ke dalam syarat-syarat terciptanya padi yang diinginkan. Jadi, seperti yang telah kita sebutkan di atas, kita butuh tanah, benih padi unggul, air yang cukup, pupuk, semprotan hama, dan orang yang mau menanam padi. Sekarang syaratnya bertambah lagi satu, yaitu kita butuh cara untuk mengusir hama tikus tersebut. Kita telah mendapatkan syarat baru lagi untuk mendapatkan padi yang terbaik.

Seperti analogi padi di atas, dalam kehidupan ini pun juga demikian. Untuk menggapai impian kita butuh sekian syarat agar terwujud. Kita bisa belajar syarat-syarat itu dari orang-orang yang sudah berpengalaman. Kita bisa mendapat informasi tentang syarat-syarat tersebut dari internet, seminar, buku, diskusi, dan berbagai sumber informasi. Namun, jangan lantas mengira bahwa kita sudah pasti memiliki semua syarat yang ada untuk mewujudkan impian kita. Kenapa? Karena di dunia ini tidak ada kepastian dalam mewujudkan impian. Inilah peran dari belajar. Inilah peran dari hambatan. Agar dengan keinginan belajar dan adanya hambatan, kita bisa menemukan syarat baru lagi untuk terwujudnya impian-impian kita.

Begitu banyak orang yang telah belajar dari seminar, buku, orang-orang berpengalaman, dan dari berbagai sumber informasi, tapi ternyata dalam perjalanannya untuk mewujudkan impian, masih saja ada hambatan. Hal ini terjadi karena pengalaman unik yang terjadi pada setiap orang itu berbeda-beda. Inilah pentingnya belajar dari hambatan tersebut. Inilah arti dari hambatan. Dan sudah tentu, hal ini hanya bisa berguna bagi Anda yang mau belajar dengan adanya perubahan hidup terus-menerus.

GANTILAH FOKUS ANDA!

Seperti penjelasan saya di atas, terdapat juga hanya satu simbol dalam bahasa Cina yang mengartikan kata “krisis” dan “kesempatan”. Mengapa? Karena menurut filosofi Cina, krisis adalah kata lain untuk kesempatan. Di balik sebuah krisis ada sebuah kesempatan dan keberuntungan. Di balik malam akan ada terang. Di balik kemarau akan ada hujan (kecuali negara-negara yang memiliki empat musim he…he…he…). Adalah sesuatu yang mustahil sifatnya jika tak ada yang namanya keberuntungan dan kesuksesan kalau ada yang namanya hambatan dan masalah. Ini sudah merupakan sifat alam semesta. Kalau kita mengenal hambatan dan masalah, maka sudah seharusnya kita pun akan mengenal keberuntungan dan kesuksesan. Yang saya maksudkan di sini adalah begitu banyak orang yang ketika menghadapi masalah, menganggap seolah-olah sudah tidak ada lagi keberuntungan, kesuksesan, pencerahan, kegembiraan, keceriaan, dan semua hal-hal yang bersifat positif. Hal ini sesungguhnya terjadi karena, begitu banyak orang yang justru terlalu memfokuskan diri hanya pada masalah.

Cobalah Anda melakukan percobaan berikut ini. Cobalah untuk memikirkan suatu masalah yang pernah Anda alami. Bayangkan dan rasakan perasaan Anda ketika mengalami masalah tersebut! Anda mungkin merasa sakit hati dan menderita. Ok. Hentikan pikiran Anda tersebut sekarang! Sekarang ganti pikiran Anda untuk memikirkan kebahagiaan yang pernah Anda rasakan! Bayangkan dan rasakan perasaan Anda saat itu! Kemungkinan besar Anda akan merasa sangat gembira dan bahagia. Nah sekarang, cobalah membayangkan kedua hal tersebut secara bersamaan. Maksud saya adalah cobalah untuk membayangkan masalah dan kebahagiaan yang pernah Anda alami secara bersamaan! Apakah masih bisa Anda bayangkan? Adalah sangat tidak mungkin membayangkan dan mengalami keduanya sekaligus, karena manusia hanya bisa fokus pada satu keadaan di satu waktu. Ketika Anda fokus dengan masalah Anda, maka secara otomatis Anda mengirimkan signal kepada otak Anda untuk mengakses semua masalah-masalah yang pernah Anda hadapi dan masalah-masalah yang kemungkinan akan Anda hadapi nanti. Semakin dalam fokus Anda kepada masalah, maka semakin banyak data yang akan diberikan otak Anda kepada Anda. Dan semua data itu mendukung fokus Anda saat itu.

Kalau Anda fokus pada kejengkelan Anda kepada pasangan Anda, maka secara otomatis otak Anda pun akan bekerja untuk memberikan data-data yang mendukung fokus Anda, seperti: “Kamu dulu pernah menyakiti hati saya”, “Kamu tidak pernah mau mendengar apa yang saya katakan", “Kamu seorang pembohong”, “Saya tidak akan percaya lagi sama kamu”, dan semua data-data yang berkenan dengan masa lalu dan apa yang akan terjadi nanti. Jika sudah begini, maka pertanyaan yang biasa saya ajukan adalah: Apakah Anda tidak pernah sedikit pun merasakan kebahagiaan? Apakah tidak ada satu pun saat di sepanjang umur Anda, dimana Anda pernah merasakan kebahagiaan walaupun hanya sekali? Jawaban-jawaban dari pertanyaan ini adalah: PERNAH.

Artinya, adalah sesuatu yang sangat mustahil, jika seseorang dalam hidupnya tidak pernah merasakan saat-saat yang membahagiakan. Bukankah kebahagiaan adalah persepsi yang benar terhadap kejadian yang menimpa kita. Anda bisa membaca tentang kisah Viktor Frankl yang dikurung dan disiksa dalam kamp konsentrasi NAZI dalam buku yang ditulisnya Man’s Search for Meaning, tetapi berhasil menemukan makna hidup dan kebahagiaan selama penyiksaannya di sana. Jadi apa yang terjadi ketika menghadapi masalah-masalah ini? Yang terjadi adalah begitu banyak orang yang suka dan cenderung memfokuskan diri hanya pada masalah, dan bukan mengganti fokusnya pada hal-hal yang membantu dirinya menjadi lebih baik. Kita tidak bisa fokus pada masalah dan kebahagiaan sekaligus, jadi ketika Anda mendapat masalah dan mulai fokus pada masalah Anda, maka cobalah untuk mengganti fokus Anda pada hal-hal yang akan membantu Anda keluar dari masalah. Jangan mempertajam fokus Anda pada masalah. Karena jika ini terjadi – seperti yang telah kita bahas tadi – maka akan semakin banyak data pendukung yang mendukung pada fokus masalah Anda. Dan jika terjadi terus-menerus, maka adalah sangat mungkin Anda akan mengambil keputusan yang keliru. Keputusan Anda akan mengacu pada masalah, yang biasanya berujung pada menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah menyalahkan Tuhan.

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat lagi salah satu contoh yang sering terjadi di sekitar kita tentang fokus pada hal negatif. Jika kita terus bertahan pada fokus kita tersebut (negatif atau positif), maka kita akan melihat diri kita dan sekitar kita sesuai dengan arah fokus kita tersebut. Contoh yang saya maksudkan tersebut adalah seringnya kita melihat diri kita sendiri sebagai orang yang negatif dengan berkata: “Bodoh amat saya ini”, “Kok gitu saja saya tidak bisa”, “Saya betul-betul tolol”. Anda bisa melihat kata-kata Anda sendiri mengenai diri Anda baik yang Anda ucapkan secara verbal maupun berupa pikiran-pikiran yang bersifat negatif yang sering terjadi pada level bawah sadar Anda. Dan biasanya hal ini semakin diperkuat dengan suka menonton berita-berita “negatif”, maka sangatlah besar kemungkinan kita akan melihat diri kita dan sekeliling kita sebagai semuanya bencana (tidak ada lagi kebaikan).

Mempertahankan fokus seperti ini pada akhirnya membuat kita untuk susah percaya kepada orang lain. Dan ini sering dilakukan dengan senantiasa berdalih memberikan argumen semasuk akal mungkin untuk mendukung kepercayaan kita bahwa kita susah percaya sama orang lain. Pada orang-orang tertentu ada yang kemudian secara ekstrim mulai meramalkan kiamat dengan memberikan argumen-argumen yang menurut dirinya masuk akal. Padahal, kalau Anda menyimak sejarah, ramalan tentang kiamat ini sudah dilakukan oleh orang-orang sejak ribuan tahun lalu. Salah satu ramalan tentang kimat ini pernah dilakukan pada tahun 2800 SM. Dan ramalan ini selalu dilengkapi dengan argumen tentang fenomena bahwa di muka bumi sudah terlalu banyak terjadi kekacauan dan kedurhakaan. Coba Anda renungi! Menurut saya, argumen ini dilandasi oleh terlalu seringnya seseorang fokus pada masalah dan hal-hal yang negatif, sehingga tampak keseluruhan dunia ini kacau-balau. Kebanyakan dari kita terlalu merekayasa diri dan sekelilingnya dengan arah fokus yang negatif. Dan jika kita menyimak penelitian-penelitian dibidang komunikasi, maka hal ini bukanlah sesuatu yang aneh. Karena semakin sering sebuah berita dipublikasikan/diberitakan, semakin orang-orang meyakini kebenarannya tak peduli apakah berita tersebut benar atau salah.

Saya ingin mengajak Anda untuk mengganti fokus Anda. Masih banyak hal-hal positif di dunia ini. Bahkan menurut saya, Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan keseluruhannya bernilai positif. Kalau Anda suka melihat segalanya negatif, maka sebenarnya Anda secara tidak langsung telah menghina Tuhan dengan segala kesempurnaan ciptaan-Nya. Mungkin perkataan saya barusan agak kurang diterima oleh Anda. Saya tidak ingin membahasnya lebih lanjut karena akan menjadi satu bab tersendiri jika kita membahasnya. Cukuplah bagi Anda untuk mengikut anjuran yang diberikan oleh Wallace D. Wattles dalam bukunya The Science of Getting Rich:

Jangan membaca buku yang mengatakan bahwa dunia akan segera berakhir, dan jangan membaca tulisan dari para pembuka kasus-kasus korupsi dan para filosof yang pesimistis yang mengatakan bahwa dunia akan dikuasai setan. Dunia tidak akan dikuasai setan; dunia akan dikuasai oleh Tuhan. Dan dunia akan menjadi tempat yang indah.

Memang dalam kondisi seperti sekarang ini, mungkin sangat banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita atau tidak kita setujui, tetapi apa gunanya mempelajari hal itu jika ternyata semuanya ini pasti akan berlalu, dan tak ada gunanya juga mengkaji hal itu jika malah cenderung akan memperlambat berlalunya keadaan itu dan terus membuatnya selalu ada diantara kita?

Mengapa kita harus menghabiskan waktu dan perhatian terhadap sesuatu yang akan terhapus oleh pergerakan evolusi, kapan Anda akan dapat segera melenyapkannya hanya dengan memberikan dukungan yang terlalu kecil?

Ingatlah selalu akan “dualisme” hidup ini. Ada gelap dan ada terang, ada masalah dan pasti juga ada kesempatan. Begitu Anda memindahkan fokus Anda pada hal-hal yang lebih baik, maka secara otomatis pula Anda mengirim signal kepada otak Anda untuk mengakses semua data-data yang berkenan dengan apa yang Anda fokuskan.

Oleh sebab itu, mulailah untuk memperhatikan fokus Anda. Ubahlah persepsi Anda terhadap suatu hambatan. Karena ketahuilah bahwa ketika menghadapi hambatan, manusia mengerahkan kekuatan otak lalu menemukan sejumlah solusi. Sebenarnya, masalah-masalah itu memotivasi mereka untuk mencari jalan keluar, maka dari itu motivasi merupakan tangga sebuah peningkatan. Napoleon pernah berkata, “Berbagai cobaan dan kepedihan membuat kecerdasan manusia semakin tumbuh dan tajam.” Nietzsche malah menyukai adanya hambatan itu dengan berkata, “Saya suka kalau Anda mendapat ujian, guncangan, dan kegagalan. Dengan semua ini, saya tidak merasa iba karena saya menyukai Anda. Tahukah Anda kenapa sebabnya? Saya berharap potensi-potensi yang tersimpan di dalam diri Anda keluar, sehingga meskipun ada cobaan-cobaan yang berat menghadang hidup Anda, Anda bangkit bersama jiwa yang berkekuatan.”

Saya ingin menutup bab ini dengan mengajak Anda merenungi sebuah syair dari R.W. Servis:

Dan begitu pula dalam perjuangan, dari pertempuran hidup,

Mudah untuk bertarung bila Anda sedang menang.

Mudah untuk banting tulang, dan lapar, dan menjadi berani

Bila fajar kesuksesan mulai.

Namun orang yang dapat bertemu dengan keputusasaan dan kekalahan

Dengan keceriaan sekarang terdapat orang yang Allah pilih.

Orang yang dapat bertarung dengan ketinggian surgawi adalah

orang yang dapat bertarung sewaktu ia sedang kalah.

Ingatlah!!!

Badai cobaan menguatkan moral dan spiritual.

- Goethe -

Sesungguhnya, semakin susah kita, semakin mendalam dan banyak kecakapan dan sifat mulia yang kita miliki sebagai bekal untuk perjalanan abadi kita.

- Khalil A. Khavari -

Kami yang pernah hidup di kamp konsentrasi masih ingat orang-orang yang berjalan dari barak ke barak menghibur sesama, memberikan kepingan roti terakhir mereka. Jumlah orang semacam itu memang hanya sedikit, tetapi mereka membuktikan bahwa ada satu hal yang tidak bisa di rampas dari seorang manusia: kebebasan manusia yang paling dasar – kebebasan untuk memilih sikap kita, bagaimanapun situasinya. Memilih cara kita sendiri.

- Viktor Frankl -

Anda tidak akan dapat mempertahankan visi yang jelas mengenai kemakmuran jika Anda selalu mengarahkan perhatian pada gambaran yang berlawanan, entah itu gambaran nyata atau hanya dalam imajinasi.

- Wallace D. Wattles -

No comments:

Post a Comment