Saturday, April 21, 2007

MENEMUKAN MAKNA

Seorang pengusaha Amerika sedang berdiri di dermaga di sebuah desa pantai di Meksiko ketika sebuah perahu kecil yang hanya memuat seorang nelayan berlabuh. Di dalam perahu terdapat beberapa ikan tuna sirip kuning. Orang Amerika itu memuji si nelayan Meksiko atas kualitas ikannya dan bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangkapnya.

Nelayan Meksiko itu menjawab, “Hanya sebentar.”

Selanjutnya, orang Amerika itu bertanya mengapa dia tidak tinggal di laut lebih lama agar dapat menangkap ikan lebih banyak.

Nelayan Meksiko itu menjawab bahwa yang dibawanya sudah cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya saat ini.

Lalu, orang Amerika itu bertanya, “Tetapi, apa yang Anda lakukan dengan waktu Anda selebihnya?”

Nelayan Meksiko itu berkata, “Saya tidur larut, memancing sebentar, bermain dengan anak-anak saya, tidur siang bersama istri saya, Maria, berjalan-jalan ke desa setiap malam untuk saya menyesap anggur dan bermain gitar bersama kawan-kawan saya. Saya mempunyai kehidupan yang lengkap dan sibuk, Señor.”

Orang Amerika itu mencemooh, “Saya seorang MBA lulusan Harvard dan dapat menolong Anda. Anda mestinya menggunakan waktu lebih banyak untuk menangkap ikan. Dengan keuntungan dari situ, Anda dapat membeli perahu yang lebih besar. Dari hasil perahu yang lebih besar, Anda dapat membeli beberapa perahu lagi. Pada akhirnya, Anda akan memiliki armada perahu nelayan. Bukannya menjual tangkapan kepada tengkulak, Anda dapat menjual langsung pada pabrik pengolah ikan, dan akhirnya, Anda bisa membuka usaha pengalengan sendiri. Anda akan mengontrol produk, pemrosesan, dan distribusi. Nantinya, Anda harus meninggalkan desa pantai yang kecil ini dan pindah ke kota Meksiko, lalu ke Los Angeles, dan akhirnya, ke New York, dan Anda akan menjalankan perusahaan Anda sendiri yang semakin berkembang.”

Nelayan Meksiko itu bertanya, “Tetapi Señor, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk ini?”

Orang Amerika itu menjawab, “Lima belas sampai dua puluh lima tahun.”

“Tetapi, kemudian setelah itu apa, Señor?”

Orang Amerika itu tertawa dan berkata bahwa itulah bagian yang paling baik. “Jika waktunya sudah tepat, Anda akan menjual saham perusahaan kepada masyarakat dan menjadi sangat kaya. Anda akan menghasilkan uang berjuta-juta.”

“Berjuta-juta, Señor? Lalu untuk apa?

Orang Amerika itu berkata, “Lalu, Anda akan pensiun. Pindah ke kota pantai kecil supaya Anda bisa tidur larut, memancing sedikit, bermain dengan anak-anak, menikmati tidur siang bersama istri, berjalan-jalan ke desa di malam hari dan menyesap anggur serta bermain gitar bersama kawan-kawan.”

Kisah di atas kemudian diberi penjelasan oleh Danah Zohar sebagai berikut:

Kita dapat dengan mudah melihat bahwa pengusaha Amerika dalam cerita ini bodoh secara spiritual, sedangkan nelayan Meksiko itu cerdas. Mengapa? Sang nelayan memiliki pemahaman yang cerdas mengenai tujuan hidupnya sendiri yang dianggapnya penting, motivasinya sendiri yang paling dalam. Dia menjalani gaya hidup yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun keluarganya, dia meluangkan waktu untuk hal-hal yang berarti baginya, dia merasa damai, dia terpusat. Pengusaha Amerika itu, sebaliknya, adalah anak dari kebudayaannya sendiri yang bodoh secara spiritual. Dia ambisius, dia harus mencapai sesuatu demi pencapaian itu sendiri, dia tidak bersentuhan dengan hal-hal dalam kehidupan yang dapat memberi motivasi mendalam kepada seseorang seperti nelayan tersebut, dia telah menyerap cita-cita tak bermakna hanya karena cita-cita itu dia pelajari di Harvard. Nelayan itu kemungkinan besar akan berumur panjang dan akhirnya meninggal dengan damai. Sang pengusaha akan terkena serangan jantung pada usia 55 tahun dan meninggal dengan perasaan sedih bahwa dia tidak pernah berhasil mencapai cita-citanya.

Saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang telah kita raih hanyalah merupakan sebentuk alat bagi kita untuk melanjutkan perjalanan panjang kita berikutnya. Ini membuktikan bahwa meraih nuansa spiritualisme tidak hanya ketika kita berada dalam ritual-ritual tertentu, melainkan juga dalam keselurahan kehidupan kita adalah nuansa untuk meraih tingkat spiritual yang lebih tinggi. Apa yang diraih, sekali lagi, bukanlah tujuan, melainkan sekedar alat untuk membantu perjalanan kita berikutnya.

Menemukan makna adalah penting dalam menjalani hidup ini, apapun aktifitas kita. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan, yaitu kebebasan untuk memilih makna dari setiap kejadian yang kita alami. Saya ingin mengutipkan kepada Anda apa yang ditulis oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang menemukan makna:

  1. Makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (self-discovery). Sa’di, penyair besar Iran, pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika dia sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, dia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria. Tampak dalam perhatiannya bahwa penceramah itu patah kedua kakinya. Tiba-tiba, dia disadarkan. Segala kejengkelannya mencair. Dia sedih kehilangan sepatu padahal di sini ada orang yang tertawa ria walaupun kehilangan kedua kakinya.
  2. Makna muncul ketika kita menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam satu keadaan; ketika kita tidak dapat memilih. Seorang eksekutif pindah dari Bandung ke Jakarta. Dia mendapat posisi yang sangat baik dengan gaji yang berlimpah. Akan tetapi, dia juga kehilangan waktu untuk berkencan dengan keluarga dan anak-anaknya. Dia ingin mempertahankan jabatannya dan ingin mempunyai waktu lebih banyak untuk keluarga. Pada suatu hari, dia berdiri di depan rapat pimpinan dan menyatakan mengundurkan diri. Saat itu, dia merasakan kebahagiaan menemukan kembali makna hidupnya.
  3. Makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain. “Aku senang bersama cucuku,” kata seorang kakek. “Cucuku suka mengatakan ‘Ikuti aku, Opa’ dan aku menuruti semua kemauannya. Tidak seorang pun yang dapat melakukan itu baginya. Ibunya juga tidak karena terlalu sibuk.” Seorang mahasiswa merasa sangat bahagia ketika Margaret Mead menanyakan pendapatnya. “Bayangkan, seorang Margaret Mead menanyakan pendapatku!” Untuk mendapatkan pengalaman seperti itu, kata Fabry, kita tidak selalu memerlukan Margaret Mead. Carilah orang yang mendengarkan kita dengan penuh perhatian, kita akan merasa hidup kita bermakna.
  4. Makna membersit dalam tanggung jawab. Fabry berkisah tentang seorang perempuan yang berlibur ke Acapulco tanpa suaminya. Di sana, dia berkenalan dengan seorang anak muda yang tampan. Dia jatuh pada rayuannya. Ketika sang pemuda mohon diizinkan untuk mengunjunginya di kamar hotelnya, perempuan itu menyetujuinya. Dia tidak pernah berselingkuh, tetapi dia sudah berpisah dengan suaminya selama dua minggu. Ada hasrat seksual yang bergejolak. Dia menunggu pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi, ketika pemuda itu mengetuk pintu kamarnya, perempuan itu merasakan sengatan keras di jantungnya. Ketika ketukan pintunya itu makin keras, dia teringat suaminya. Dia memutuskan untuk tidak membuka pintu. “Lalu,” kata perempuan itu, “… aku mendengar langkah-langkah kakinya menjauh. Aku menengok dia lewat jendela. Ketika aku melihatnya pergi, aku mengalami perasaan bahagia yang paling intens dalam hidupku.”
  5. Makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal di atas. Ketika mentransendensikan diri kita, kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi, kata Zohar, adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar pengalaman kita yang biasa, ke luar suka dan duka kita, ke luar diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transensdensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir – ultimate meaning – yang menyadarkan kita akan aturan agung yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar, yang ditampakkan kepada kita. Tidak menjadi soal apakah ia berasal dari the collective unconscious Jung atau dimensi spiritual Frankl.

Banyak yang mengira bahwa meraih suatu prestasi adalah tujuan hidup yang sesungguhnya, padahal tidaklah demikian adanya. Anda bisa melihat hasil penelitian yang telah saya bahas pada bab 6, sub-bab Mengungkapkan Rasa Syukur. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat spiritualitas kita maka dengan sendirinya apapun yang kita ingin raih dapat dengan mudah terjadi. Andaikan ada yang tidak memiliki tingkat spiritualitas pada level tinggi seperti yang berada pada tabel tersebut, dan telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, maka yakin sajalah bahwa jiwa mereka pun pasti kering.

Penelitian David Myers telah membuktikan hal ini. Amerika sebagai Dunia Pertama, yang memiliki hampir semua apa yang diimpikan oleh sebagian besar orang berupa kekayaan yang berlimpah, tetapi ternyata di tengah-tengah kemakmuran tersebut David Myers menemukan penderitaan. Semakin banyak uang ternyata membuat semakin menderita. Orang-orang yang kaya banyak mengalami krisis makna hidup. Myers juga membuktikan dalam sebuah statistik bahwa kenaikan pendapatan ternyata tidak seiring dengan peningkatan kebahagiaan. Daniel Goleman pun menuturkan, “Pada sebagian negara kaya kemungkinan orang yang lahir setelah 1955 untuk menderita depresi besar – bukan hanya kesedihan, tetapi kesepian yang melumpuhkan, kehilangan semangat, kehilangan harga diri, ditambah perasaan tidak berdaya yang luar biasa – pada satu titik kehidupan lebih dari tiga kali lebih besar daripada generasi kakek mereka.” Dan seperti yang telah kita urai di atas, hal ini terjadi karena kekayaan dianggap sebagai tujuan hidup, kekayaan dilihat sebagai pemenuhan keingingan.

No comments:

Post a Comment