Saturday, April 21, 2007

APA YANG ANDA PERSAKSIKAN?

Saya seringkali mengungkapkan satu pernyataan kepada teman-teman saya ketika kami melakukan sebuah diskusi. Saya sering mengatakan bahwa tujuan hidup manusia dapat diringkas dengan sebuah kalimat pendek berikut ini: Inna Lillahi wa Inna Ilahi Rajiun, Semua berasal dari Allah dan pada akhirnya semua pun akan kembali kepada-Nya. Untuk apa kita kembali kepada-Nya? Menurut saya: adalah untuk memberikan persaksian atas apa yang telah kita lakukan selama kita hidup.

Tuhan telah menciptakan kita sebagai manusia, dan ketika kembali kepada-Nya pun “mestinya juga” sebagai manusia. Adakah orang-orang yang tidak kembali sebagai manusia? Ada, dan begitu banyak orang-orang yang kembali tidak sebagai manusia. Kok bisa demikian? Bukankah kita ini adalah manusia! Benar, kita diciptakan sebagai manusia. Namun, dalam menjalani proses hidup ini kita terkadang justru melenceng dari fitrah kemanusiaan kita. Anda mungkin masih ingat pembahasan saya pada bab 1. Saya membahas tentang kemampuan otak manusia dan membandingkan dengan otak lebah. Lebah yang hanya memiliki jumlah sel sebanyak 7 ribu sel otak mampu melakukan banyak hal seperti yang Anda bisa lihat pada bab 1. Kita, sebagai manusia yang memiliki jumlah sel sebanyak 1 triliun, kalau hanya bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh lebah saja, maka apa bedanya kita dengan lebah tersebut. Kita tidak jauh beda dengan binatang. Apalagi jika aktifitas kita hanya perut dan di bawah perut, maka apa bedanya kita dengan bakteri yang juga hanya bisa melakukan aktifitas perut dan di bawah perut.

Kita diberi potensi yang luar biasa sebagai bekal kita dalam menjalani hidup ini. Dengan bekal itu, kita ingin meraih semua impian-impian hidup. Dan dengan bekal itu pula, saya percaya kita semua dapat meraih impian-impian hidup kita, dengan satu syarat mutlak tentunya yaitu: kita senantiasa mau membuka diri untuk BELAJAR. Hidup ini adalah ladang pelajaran. Dengan belajar kita menemukan apa yang ingin kita temukan. Dengan belajar pula, kita dapat menjadi lebih dewasa dalam menjalani hidup, kita memiliki seperangkat nilai, kita dapat bersosialisasi, kita menemukan makna, kita dapat mengasah kecerdasan spiritual. Intinya, kita dapat menjalani hidup ini dengan suasana bahagia, jika kita mau membuka diri untuk senantiasa belajar dan belajar. Kita mesti mengembangkan semua potensi kita dengan belajar.

Dan seperti kita semua ketahui bahwa Tuhan menciptakan kita sebagai manusia. Sebagai manusia, sudah tentu kita unik (berbeda) dengan makhluk lainnya yang Tuhan ciptakan. Namun, seperti halnya kita ingin meraih segala impian-impian kita, kita pun perlu senantiasa belajar untuk meningkatkan taraf ke-manusia-an kita. Orang-orang yang sudah tidak mau lagi belajar dalam hidup ini, menurut saya, adalah orang-orang yang sudah mati. Kenapa demikian? Menurut Dave Meier, “Belajar adalah hidup.” Belajar menuntut kita untuk senantiasa berubah, dan perubahan itu terkadang “menyakitkan”. Orang-orang yang sudah tidak mau berubah maka dapat dikatakan “tidak bergerak”, “tidak berenergi”, “alias mati”. Begitu banyak orang yang merasa nyaman dengan kondisi mereka saat ini. Kebanyakan orang tidak ingin merasakan “sakit” ketika berubah. Padahal dengan berubah, kita akan tumbuh menjadi manusia dewasa. Ingat!!! pada pembahasan kita mengenai “menjadi dewasa” pada bab 4. Dan senantiasa berubah menjadi dewasa, seharusnya sudah menjadi sifat kita sampai kita mati. Jika Anda perhatikan! Tak ada satu pun makhluk yang tidak berubah (tumbuh), kecuali makhluk tersebut sudah mati. Pertumbuhan adalah sebuah keniscayaan bagi semua makhluk (dan semua makhluk tumbuh sampai batas maksimal pertumbuhannya), kecuali pada manusia yang bisa memilih untuk tumbuh atau “mati”.

Nah, dalam pertumbuhan hidup inilah kita pun belajar untuk memahami makna dari jalur kehidupan kita. Dengan kata lain, apa yang akan kita persaksikan atas apa yang kita lakukan sehari-hari dalam menjalani kehidupan kita kepada Tuhan? Apa yang akan kita laporkan kepada Tuhan, sebagai bentuk pertanggung jawaban kita kepada-Nya atas apa yang telah Dia berikan kepada kita? Seluruh potensi yang kita gunakan dalam menjalani hidup akan menjadi persaksian kita kepada-Nya. Anda belajar untuk memiliki kekayaan. Apa yang akan Anda persaksikan dengan kekayaan itu kepada Tuhan? Anda bekerja demi kelangsungan hidup. Apa yang akan Anda persaksikan dalam pekerjaan Anda tersebut? Saya saat ini lagi menulis buku. Apa yang akan saya persaksikan kelak, mengenai buku yang saya tulis ini?

Apapun aktifitas kita, akan kita persaksikan nanti atas apa yang telah kita lakukan selama hidup? Hal ini menyiratkan dengan jelas bahwa anggapan: 50% dunia dan 50% akhirat adalah keliru. Persaksian kepada Tuhan bukan hanya sebatas ibadah ritual saja, melainkan seluruh aktifitas kehidupan kita. Ini berarti hidup adalah untuk 100% akhirat. Metafora ladang menggambarkan hal ini dengan jelas. Hidup di dunia ibarat kita berada di sebuah ladang yang luas. Apapun yang akan kita tanam (aktifitas kita), akan menentukan seberapa baik hasilnya kelak. Dan mendapatkan hasil tanaman kita bukanlah pada saat kita menanamnya (bukan pada saat kita melakukan berbagai aktifitas di dunia ini), melainkan pada suatu hari kelak, dimana akan tiba masa kita memanen seluruh tanaman yang kita telah tanam. Hidup di dunia adalah untuk mendapatkan hasil panen di akhirat kelak. Dan hasil panen inilah yang akan kita persaksikan kepada Tuhan, karena Tuhan-lah “pemilik modal” bagi seluruh alam semesta. Dan seperti yang dikatakan Nabi Muhammad saw, “Yang paling bodoh di antara kamu adalah orang yang tidak belajar dari perubahan dalam dunia.” Apa yang telah kita pelajari dari hidup ini? Apa yang akan kita persaksikan kelak? Kita telah diciptakan sebagai manusia; apakah kita akan kembali pun sebagai manusia?

No comments:

Post a Comment