Thursday, May 31, 2007

Filsafat dan Kebahagiaan


Dalam tulisan: “Kebahagiaan: Antara Jiwa, Raga, dan Ruh”, Haidar Bagir mendefenisikan kebahagiaan sebagai berikut:


  1. Kesejahteraan (well-being), yakni kepuasaan atau pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup (eksternal). Lawannya adalah ketiadaan atau kekurangan (deprivation) hal-hal tersebut.

  2. Kerelaan, yakni terhadap keadaan yang di dalamnya seseorang berada (internal). Lawannya adalah kegelisahan atau kecemasan.

  3. Perasaan mengetahui makna hidup.


Walaupun kebahagiaan sering dihubungkan dengan kesenangan dan kegembiraan, namun demikian, tidak semua hal-hal yang bersifat menyenangkan akan mampu memberikan kebahagiaan kepada seseorang. Karena, ada saja orang-orang yang tidak gembira atau sedih, namun secara keseluruhan hidupnya penuh kebahagiaan.

Mari kita lihat lagi, apa yang dikatakan Haidar Bagir mengenai kegembiraan dan kebahagiaan:


Meski kesenangan dan kegembiraan boleh jadi juga merupakan turunan dari kebahagiaan, namun kebahagiaan bisa amat tergantung pada – banyak sedikitnya – instansi (instances) yang di dalamnya orang gembira dan senang atau tidak. Maka, barangkali, persoalan gembira dan senang (yang bersifat temporer) ini tak langsung berhubungan dengan masalah-masalah spiritualistik atau filosofis. Sebaliknya ia erat terkait dengan persoalan-persoalan pikiran yang bersifat rasional-praktis.


Ketika berbicara tentang hubungan antara pikiran dan kebahagiaan, saya langsung teringat akan penuturan Dr. Aaron Beck – seorang psikiater. Dr. Beck telah mempelajari bagaimana pikiran kita dapat membuat hidup ini menjadi tidak bahagia. Semua ini ada hubungannya dengan cara kita memandang/persepsi terhadap realitas hidup. Paling tidak, menurut Beck, ada tujuh kesalahan persepsi yang sering dilakukan kebanyakan orang dalam memandang hidup ini.

  1. Black-and-White Thinking

Orang sering memandang segala sesuatu dengan ekstrim, tanpa jalan tengah sama sekali. Baik atau buruk, sempurna versus tak berguna, sukses atau gagal, benar lawan salah. Dengan melakukan ini, mereka melewatkan kenyataan. Dengan kata lain, begitu banyak “abu-abu” di sekitar kita. Cara pikir ini melibatkan pembicaraan dengan diri sendiri, seperti:

  • Manusia itu jujur atau pendusta”

  • Jika tak sempurna, maka tak berguna”

  • Kalau kau tak mencintaiku, kau pasti membenciku”

  • Hanya ada dua macam manusia di dunia ini”

  • Bila tidak benar pasti salah”

Nah, ketika Anda mulai berpikir hitam-putih, maka Anda akan cenderung melihat segala sesuatu yang salah dan mengabaikan hal-hal positif. Pada saat ini, Anda telah melakukan filtering.

  1. Filtering

Filtering ini sering diungkapkan dengan kata-kata berikut:

    • Tak ada apapun yang kudapatkan”

    • Aku tak melihat sisi baik dari situasi ini”

    • Tak ada harapan”

    • Yang kuperoleh hanyalah penderitaan”

    • Aku tak meraih apapun yang berharga dalam hidupku”

Pada umumnya, orang melakukan filtering ke arah negatif, tetapi juga bisa berlaku sebaliknya, misalnya:

  • Dia pasti benar”

  • Lebih baik memelihara perdamaian. Aku tak akan berkata tidak kepada putraku sekarang. Masih banyak waktu untuk pendisiplinan di tahun-tahun mendatang”

Ketika Anda menyaksikan hidup Anda, sepertinya berjalan salah. Maka kecenderungan ini akan selalu membuat kita untuk mengabaikan hal-hal positif dalam hidup. Begitu seringnya hal ini terjadi, akan mengakibatkan overgeneralising.

  1. Overgeneralising

Penyimpangan ini berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membangun sesuatu mengenai diri atau keadaan mereka sendiri, dan akhirnya berpikir bahwa hal ini mewakili situasi seluruhnya. Dengan kata lain, mereka menyimpulkan sesuatu yang universal dari suatu peristiwa khusus. Misalnya:

  • Segala sesuatunya tidak beres”

  • Tak ada apapun yang kulakukan dengan benar”

  • Setiap orang menganggapku tolol”

Setelah mengambil kesimpulan demikian, maka hal yang sering terjadi adalah pengambilan kesimpulan yang lebih ekstrim atau disebut dengan mind-reading.

  1. Mind-Reading

Membaca pikiran orang atau membuat dugaan dengan kesimpulan-kesimpulan yang keliru, merupakan suatu kesimpulan yang tidak mempunyai bukti. Hal ini terjadi setelah mengambil kesimpulan yang bersifat overgenaralising tadi. Misalnya:

  • Dia mengabaikanku dengan sengaja”

  • Kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku”

  • Dia marah padaku”

  • Mereka pikir aku membosankan”

Yang lebih parah lagi adalah mengambil kesimpulan untuk sesuatu yang belum terjadi. Ini telah melibatkan keseluruhan hidup, dan secara “dugaan” telah mengambil kesimpulan yang keliru. Ini disebut dengan fortune-telling.

  1. Fortune-Telling

Cara ini adalah pengambilan kesimpulan dengan memperlakukan keyakinan tentang masa depan sebagai realitas, bukan sekedar perkiraan. Misalnya:

  • Aku akan selalu gagal”

  • Aku tak akan mendapatkan pekerjaan lain”

  • Semuanya akan menjadi lebih buruk”

  • Aku akan menjadi gila”

  • Tak ada harapan”

Cara lain lagi untuk membuat kesimpulan adalah dengan mengatakan kepada diri sendiri, dimana Anda merasa yakin akan sesuatu, maka itulah kenyataannya. Cara ini disebut dengan emotional reasoning.

  1. Emotional Reasoning

Contoh emotional reasoning:

  • Aku merasa sebagai orang yang gagal, jadi aku memang gagal”

  • Kurasa aku tak menarik, berarti aku memang tak menarik”

  • Jika aku marah, kau tentu telah berbuat sesuatu yang membuatku marah”

Penalaran emosional ini dapat membuat Anda menganggap bahwa kemarahan itu bisa “dibenarkan”, seperti contoh di atas. Dengan demikian, terpeliharalah suatu lingkaran setan yang dapat memerosotkan diri sendiri. Bahkan membuat kekhawatiran itu memangsa diri sendiri.

Ada satu kesimpulan lagi dalam hal ini, dimana kesimpulan itu berkaitan dengan diri sendiri atau personalising.

  1. Personalising

  • Semua orang mengamatiku”

  • Kritik itu ditujukan kepadaku”

  • Pasti aku yang membuatnya merasa tidak enak”

  • Dia tidak membalas sapaanku. Apa salahku?”

Setelah kita melihat bagaimana kesalahan persepsi di atas, lantas, apa hubungannya dengan filsafat? Apakah filsafat membuat orang tidak bahagia? Atau filsafat justru mengantarkan kita menuju kebahagiaan?

Secara istilah, filsafat sering diartikan sebagai pencinta kebijaksanaan. Istilah ini – konon – pertama kali dikemukakan oleh Socrates untuk membedakan dirinya dengan “orang-orang tolol” pada waktu itu. Walaupun banyak mazhab dalam filsafat, namun secara umum filsafat sering diartikan sebagai bentuk studi yang njelimet. Hal umum lain yang mengenai filsafat adalah filsafat sering dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat pasti, layaknya matematika. Itulah sebabnya, matematika – pada awal mula sejarah filsafat – dimasukkan sebagai bagian dari filsafat. Bahkan semua ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu praktis, juga teologi merupakan bagian dari filsafat. Hal ini yang kemudian menggambarkan filsafat sebagai induk dari semua ilmu.

Kita tidak akan mempertajam pembahasan filsafat untuk hal-hal yang sangat detail. Cukup untuk dipahami bahwa filsafat itu bersifat pasti. Benar dan salah, keberadaan dan ketiadaan, merupakan bagian-bagian yang dipelajari dalam filsafat. Hal ini yang kemudian mengantarkan – sebagian orang yang berfilsafat – untuk cenderung berpikir hitam-putih atau dalam bahasa Aaron Beck: black-and-white thinking. Dan seperti yang telah dibahas, berpikir hitam putih merupakan awalan untuk mengambil kesimpulan yang keliru.

Kecenderungan berpikir hitam putih ini terjadi dikarenakan kekeliruan dalam memahami filsafat. Karena filsafat sering diartikan benar dan salah, maka kehidupan pun selalu dipahami sebagai benar dan salah. Ini bukan berarti bahwa filsafat yang keliru atau kehidupan kita yang keliru. Lantas, bagaimana mencari solusinya?

Mari kita lihat penuturan Ayatullah Muhammad Baqir ash-Shadr tentang masalah ini:


adalah mungkin berdasarkan prinsip-prinsip ini (prinsip non-kontradiksi, kausalitas, dan matematis primer. Prinsip-prinsip ini merupakan pengetahuan primer yang keniscayaannya tidak mungkin dibuktikan dan yang kebenarannya tak dapat dipaparkan. Tetapi pikiran menyadari keniscayaan untuk menerimanya dan mempercayai kebenarannya. Dengan kata lain, bersifat pasti. Misalnya: 1 beda dengan 2, karena 1 hanya sama dengan 1 dan 2 hanya sama dengan 2, dimana 1 dan 2 mustahil sama), untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dalam metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam, sekalipun ilmu-ilmu alam berbeda dalam satu hal, yaitu bahwa mendapatkan pengetahuan alam dengan menerapkan prinsip-prinsip primer itu bergantung pada eksperimen, yang menyediakan kondisi-kondisi penerapan bagi manusia. Sedangkan metafisika dan matematika, penerapannya kiranya tidak membutuhkan eksperimen eksternal sama sekali. Inilah sebabnya, mengapa kebanyakan kesimpulan-kesimpulan metafisika dan matematika adalah kesimpulan-kesimpulan yang pasti, tidak seperti kesimpulan ilmiah dalam ilmu-ilmu alam.


Agak sulit menyederhanakan penggalan tulisan di atas. Dengan mengambil resiko penyederhanaan, dapat dikatakan bahwa manusia itu beda dengan pembahasan metafisika dan matematika yang bersifat pasti. Walaupun pada manusia juga berlaku kepastian – baik dan buruk atau benar dan salah – namun dalam proses menuju kepastian itu ada suatu “gerak” atau dalam bahasa saya: proses menjadi. Oleh sebab itu, melihat perilaku manusia atau realitas kehidupan manusia secara non-kontradiksi atau hitam-putih semata, akan mengakibatkan banyak distorsi dalam kehidupan.

Bagaimana menghindari agar hal tersebut tidak terjadi, atau bagaimana seseorang dapat meraih kebahagiaan. Dalam filsafat, dikenal istilah keadilan. Keadilan ini merupakan prinsip kehidupan. Keadilan dapat diartikan sebagai kesetimbangan, proporsional, kestabilan, kemantapan, dan ketenangan. Oleh karena itu, hidup yang adil adalah hidup yang mampu melihat realitas sebagaimana realitas, bukan berdasarkan kepada egoisme semata.

Mari kita lihat lagi tinjauan psikologis, yang dipaparkan oleh Dr. Albert Ellis. Menurut Ellis, salah satu hal yang membuat kita terlalu berpikir sempit terhadap kehidupan adalah budaya keharusan. Kita sering melompat dari “Saya sungguh-sungguh ingin sukses” ke “Saya sudah pasti harus sukses!”. Dari “Saya sungguh berharap Anda menyukai saya” ke “Oleh karena itu, Anda harus menyukai saya!”. Tuntutan akan “keharusan” inilah yang membuat kita tidak proporsional melihat kehidupan atau dengan kata lain, tidak berlaku adil terhadap diri sendiri.

Albert Ellis kemudian mengemukakan sebuah teori, yang dibuat atas dasar karya filsuf (bukan karya psikologi) pada tahun 1950. Teori kognitif ini dapat ringkas dengan REBT (Rational Emotive Behavior Therapy). Secara sederhana dapat dijelaskan – menurut Wayne Froggatt – dengan kalimat berikut: pilihlah bahagia. Jadi, selalulah berhubungan dengan realitas dengan mengembalikan sesuatu pada perspektifnya. Di mana, jika Anda berpikir: “Segala sesuatunya tidak beres”, cobalah untuk memilih bahagia dengan bersikap realistis. Sehingga pikiran Anda dapat diganti dengan: “Saat ini aku sedang menghadapi sejumlah masalah”. Apakah Anda mau memilih bahagia?

No comments:

Post a Comment