Wednesday, June 13, 2007

MERUBAH PERSEPSI


Di tanah dimana orang berhenti mendambakan kedamaian

datanglah kepastian

- Lao Tzu -

Peristiwanya sendiri tidaklah penting.

Yang penting adalah bagaimana kita memandang dan

memaknai peristiwa tersebut

- I Tjing -

Pada tahun 1870, Russel H. Conwell yang berusia 27 tahun bekerja sebagai koresponden internasional untuk majalah American Traveler, sebuah jurnal mingguan yang diterbitkan di Boston. Karena tugas, ia sedang menumpang karavan yang dihela oleh unta di sepanjang lembah diantara sungai Tigris dengan sungai Efrat di Mesopotamia ketika ia dan pemandu Arabnya berdongeng untuk menghibur para turis Amerika itu.

Conwell yang masih muda sangat terkesan dengan legenda tentang seorang petani Persia yang sangat makmur, Ali Hafed. Terpancing oleh dongeng seorang Imam Budha, Ali Hafed meninggalkan ladangnya sendiri yang subur untuk mencari kekayaan luar biasa di ladang berlian yang dimitoskan.

Ke mana-mana Ali Hafed menjelajah, dengan kaki sakit serta lesu. Usia muda dan kekayaannya menghilang, dan ia mati jauh dari rumahnya, sebagai seorang pengemis tua yang kecewa. Tidak lama setelah itu, kata sang pemandu, berhektar-hektar berlian yang indah ditemukan di ladang Ali Hafed sendiri.

Bagi turis lainnya, itu hanya satu lagi dongeng yang menggiurkan, tetapi dalam benak Conwell telah ditaburkan suatu kebenaran besar. Baginya dongeng tersebut mengatakan: “Berlianmu bukanlah di pegunungan atau lautan yang jauh, berlianmu ada di halaman belakangmu sendiri, kalau saja kamu mau menggalinya.”

Seumur hidupnya Conwell menerapkan pelajaran berharga tersebut berulang kali. Walaupun ia menulis 40 judul buku, ia paling dikenang karena ceramahnya yang terkenal “Berhektar-hektar Berlian”. Di awal tahun 1900-an ia menjadi orator panggung yang paling terkemuka di Amerika. Menjelang akhir hayatnya, pada tahun 1925 ia telah menyampaikan ceramahnya lebih dari 6000 kali di kota demi kota di seluruh penjuru Amerika. Ceramahnya didengar oleh jutaan dari mimbar maupun panggung umum, dan lewat radio, dan hari ini masih banyak yang membaca cerita pendeknya yang praktis dan optimis, serta mendengarkannya lewat kaset. Uang dari pidatonya digunakan untuk membiayai beasiswa bagi kecintaan Conwell yang lain – Temple University di Philadelphia. Bagaimana ini terjadi sudah merupakan cerita besar tersendiri.

Suatu malam pada tahun 1884, seorang pemuda mendekati Conwell dan mengekspresikan hasrat untuk menyiapkan suatu pelayanan Kristiani. Conwell menawarkan untuk mengajari pemuda ini satu malam setiap minggunya, tetapi pada malam yang disepakati ternyata muncul tujuh pemuda yang tulus. Kelas Conwell pun segera berkembang jumlahnya, sehingga terpaksa dicari guru-guru lainnya, sampai harus menyewa sebuah ruangan, lalu sebuah gedung, lalu dua gedung. Dalam waktu beberapa tahun kelompok studi ini telah berkembang dari tujuh orang menjadi beberapa ratus murid, dan akte pendirian “The Temple College” pun diterbitkan pada tahun 1888. Tentu, Conwell sudah terpilih menjadi presidennya, posisi yang dipegangnya selama 38 tahun berikutnya. Akte pendirian Temple University diterbitkan pada tahun 1907.

Sekarang ini, Temple University mempunyai 29.000 siswa. Ini adalah universitas terbesar ke-39 di Amerika Serikat dan penyedia pendidikan professional terbesar di negara ini.

Dengan menggunakan bahasa Conwell, ladang berlian yang dimaksud adalah potensi Anda, potensi yang ada pada diri kita masing-masing. Salah satu potensi manusia yang luar biasa adalah kemampuan untuk berpikir. “Dengan menguji pikiran seseorang tanpa kenal lelah, ia bisa memahami sifatnya sendiri. Seseorang yang memahami sifatnya memahami surga,” kata Mencius.

Berbicara tentang pikiran, maka kita akan melihat bahwa pikiran kita adalah “makhluk” yang gelisah. Selalu bergerak, mereka berkeliaran tanpa henti, melompat dari ingatan masa lalu menuju fantasi masa depan, secara konstan merancang dan merencanakan, mengejar kesenangan dan menghindari ketakutan.

Tak heran jika begitu banyak orang merasa letih sepanjang hari dan kehabisan tenaga di akhir hari. Tak heran juga jika begitu banyak orang mencoba membungkam pikiran mereka dengan televisi, alkohol atau narkoba.

Kenneth R. Pelletier, Ph.D, pengarang Mind as Healer, Mind as Slayer, mencatat sejumlah penelitian mengenai supremasi kemarahan. Karena pikiran kita melibatkan emosional, maka pikiran yang tak sehat dapat menimbulkan kemarahan. Dan ternyata, penelitian yang dilakukan tersebut terhadap 5.000 pasien arthritis rematoid, menemukan bahwa banyak diantara mereka yang mempunyai ciri-ciri khas kepribadian tertentu yang sama. Hal serupa dilakukan pula oleh Marjorie Brooks, Ph.D, seorang professor di Jefferson Medical College di Philadelphia, terhadap pola-pola riwayat hidup 400 pasien kanker. Pasien-pasien tersebut memiliki beberapa kemiripan yang menarik, yaitu ketidakmampuan untuk menyatakan marah. Kemarahan yang melanda mereka terjadi akibat pola pikir yang tidak sehat, sehingga menyebabkan kemarahan, yang ironisnya kemarahan tersebut dikekang atau seringnya melakukan sikap permusuhan yang tidak ditampakkan.

Seperti perkataan Ivan Burnell, “Hanya hal-hal terbaik yang pernah terjadi pada diri Anda atau … Hanya hal-hal terburuk yang pernah terjadi pada diri Anda.” Semuanya, pada akhirnya, tergantung pada pilihan kita masing-masing. Dan pilihan tersebut diawali dengan perubahan persepsi terlebih dahulu.

Saya akan menutup tulisan ini (mohon doanya, agar tulisan-tulisan saya dapat terus berlanjut sebagai sebuah seri tulisan) dengan sebuah kisah:

Benarkah hidup itu indah? Di mata seorang wanita tua, yang terjadi justru sebaliknya: Hidup begitu menyedihkan! Bahkan wanita ini menangis setiap hari. Apabila hari hujan ia menangis, begitu pula bila hari panas. Seorang lelaki yang kebetulan lewat merasa iba dan bertanya kepadanya, “Mengapa Ibu menangis?” Sambil tersedu-sedu, wanita itu menjawab, “Aku punya dua orang putri, yang sulung menjual sepatu kain dan yang bungsu menjual payung. Apabila hujan turun, aku sedih memikirkan putri sulungku yang sepatu kainnya tidak laku. Sebaliknya bila cuaca panas, aku sedih memikirkan putri bungsuku yang payungnya tidak laku.” Mendengar hal itu lelaki tadi berkata, “Agar bisa bahagia, cobalah Ibu pikirkan yang sebaliknya. Kalau hujan turun, pikirkan putri bungsumu. Pasti payungnya akan banyak terjual. Sebaliknya kalau cuaca panas pikirkan putri sulungmu. Bukankah sepatu kainnya akan laku keras pada saat itu?” Wanita itu mendengarkan nasihat tersebut dengan sungguh-sungguh, dan sejak saat itu ia tak pernah menangis lagi. Bahkan, ia selalu bersyukur dan tertawa setiap hari.

No comments:

Post a Comment