Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung
- QS 62:10
Diri jika tidak Anda sibukkan, maka dia akan
menyibukkan Anda
- Ali bin Abu
Thalib
Pada tahun 1908 terdapat dua buah
buku yang terbit bersamaan, buku pertama berjudul Introduction to Social Psychology, terbit di London, ditulis oleh
William McDougall, seorang psikolog. Dan buku yang kedua berjudul Social Psychology, terbit di New York,
ditulis oleh Edward Ross, seorang sosiolog.
Jika McDougall menekankan
faktor-faktor psikologis (personal) dalam menentukan interaksi sosialnya dalam
masyarakat, maka Ross menekankan pentingnya faktor-faktor situasional dan
sosial dalam interaksi kita di masyarakat. Sayangnya, kala itu psikologi dengan
mashab behaviorisme lagi sedang popoler, sehingga dalil-dalil McDougall
kehilangan suaranya dan membuat suara Ross menjadi nyaring.
Mashab behaviorisme lahir di negeri
Paman Sam, dan mashab ini merupakan sebuah aliran psikologi yang mengajarkan
bahwa perilaku manusia ditentukan, dipengaruhi, dan dikendalikan oleh
faktor-faktor eksternal atau lingkungan.
Hal ini dapat kita lihat pada dua
konsep penting dari mashab ini yaitu, pelaziman klasik dan pengondisian operan.
Pelaziman klasik sering disebut-sebut oleh para motivator melalui percobaan
Pavlov (1849 – 1936). Pavlov menyebutkan bahwa refleks pada manusia itu terbagi
atas dua: refleks bawaan dan refleks terkondisikan. Refleks bawaan itu adalah
respon yang kita berikan tanpa melalui proses belajar, seperti mengucapkan kata
“aduh” ketika kaki Anda tersandung.
Sedangkan penelitian refleks terkondisikan Pavlov
yang sangat terkenal adalah salvias (proses keluarnya air liur pada anjing).
Suatu ketika Pavlov meletakkan daging di depan anjing lapar yang hanya dapat
menciumi dan melihatnya tetapi tidak dapat menyentuhnya. Daging ini menjadi
rangsangan yang kuat bagi anjing merasakan rasa laparnya. Segera anjing-anjing
itu mengeluarkan air liur berlebihan. Sementara anjing-anjing ini sedang dalam
keadaan sangat lapar, Pavlov tetap membunyikan bel dengan nada tertentu. Segera
ia tidak membutuhkan daging lagi – ia hanya perlu membunyikan bel dan anjing
segera merasa lapar seolah ada daging di depan mereka. Ia telah menciptakan
hubungan saraf antara bunyi bel dan keadaan lapar atau keluarnya air liur.
Sejak saat itu, ia hanya perlu membunyikan bel dan anjing segera berada dalam
keadaan lapar.
Percobaan Pavlov ini kemudian menjelaskan tentang
daya sugesti (suggestibility) dalam dunia hipnosis. Setiap kata, perilaku, dan
faktor-faktor lingkungan merupakan stimulus yang kita terima yang memiliki daya
hipnosis yang ampuh. Jika Anda suka menonton sinetron dan begitu asyiknya
sehingga walau sinetronnya berhenti sesaat oleh iklan Anda tidak akan pindah
chanel, maka dapat dipastikan Anda telah terhipnosis oleh hampir semua iklan
yang ditayangkan. Mau bukti? Kalau saya sebut sabun mandi, maka merek apa yang
langsung terlintas dibenak Anda? Kalau mi instant gimana? Merek apa yang
terlintas? Anda pasti secara otomatis bisa menyebutkannya, padahal Anda tidak
melakukan upaya sadar untuk mengingat semua merek itu, tapi merek itu sudah
masuk dalam pikiran Anda. Anda telah terhipnosis. Seperti yang saya sebutkan
dalam buku pertama saya, The Secret of
Attractor Factor, terdapat dua jenis stimulus positif yang kita terima:
positif tapi negatif dan positif yang positif.
Jika percobaan Pavlov tadi menjelaskan tentang
pengondisian klasik, maka pada tahun 1930-an seorang pemikir lain, Burrhus
Frederick Skinner menjelaskan tentang pengondisian operan. Skinner melakukan
sebuah penelitian dengan burung merpati. Burung merpati tersebut dimasukkan ke
dalam sebuah kotak yang dapat diamati. Merpati tersebut bergerak sekehendaknya,
dan ketika kakinya menyentuh tombol kecil pada dinding kotak, makanan akan
keluar dan merpati tersebut merasa senang. Mula-mula merpati tersebut tidak
mengetahui hubungan antara menyentuh tombol kecil dengan makanan yang keluar.
Tapi ketika ia menyentuhnya lagi, makanan keluar lagi. Dengan beberapa kali
pengulangan, maka merpati tersebut mulai mengerti bahwa bila ia ingin makan,
cukup dengan menyentuh tombol tersebut.
Jika seorang karyawan mengerjakan tugasnya dengan
baik dan bos memberikan bonus. Maka akan terbentuk suasanan bahwa mengerjakan
tugas yang baik, pasti akan diberi bonus lagi. Inilah yang oleh Skinner disebut
sebagai peneguhan (reinforcement),
yaitu proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikan dengan stimuli
tertentu berkali-kali. Dalam dunia saat ini, peneguhan itu biasa disebut
sebagai reward. Peneguhan atau reward
inilah yang menguatkan respon karyawan tadi dalam bekerja dengan baik.
Mashab behaviorisme ini tidak memedulikan apakah
manusia itu baik atau buruk, rasional atau emosional; mashab ini hanya peduli
bagaimana manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Manusia melakukan
proses belajar yang didapat dari lingkungannya. Itulah sebabnya behavioris ini
disebut juga dengan teori belajar,
yang kemudian melahirkan konsep manusia mesin.
Jika kita menelusuri mashab ini, maka kita akan
sampai pada empirisisme dan hedonisme pada abad ke-17 sampai abad ke-18.
Empirisisme mengatakan bahwa sejak lahir manusia tidak memiliki “warna mental”,
hingga ia kemudian diwarnai oleh pengalaman. Sehingga menurut empirisisme,
satu-satunya sumber pengetahuan kita adalah pengalaman. Sedangkan hedonisme
merupakan paham filsafat etika yang memandang manusia sebagai makhluk yang
bergerak untuk memenuhi kepentingannya sendiri, mencari kesenangan dan
menghindari penderitaan.
Paham hedonisme inilah yang menurut saya dijelaskan
oleh Robert Kiyosaki dalam bukunya Rich
Dad, Poor Dad. Menurut Robert Kiyosaki, manusia dikendalikan oleh dua emosi
utama dalam mengejar kebutuhan hidup dan kekayaan, yang membuat mereka seperti
perlombaan tikus. “Kebanyakan orang mempunyai harga. Dan mereka mempunyai harga karena emosi manusia yang disebut ketakutan
dan ketamakan. Pertama, takut hidup tanpa uang memotivasi kita untuk
bekerja keras, dan kemudian setelah kita mendapat slip gaji, ketamakan atau
nafsu berpikir mengajak kita untuk mulai berpikir tentang semua hal indah yang
bisa di beli dengan uang. Pola itu pun kemudian terbentuk,” kata ayah kaya
dalam buku Robert Kiyosaki.
Kebanyakan manusia kemudian betul-betul menjadi
mesin otomatis yang dikendalikan sepenuhnya oleh lingkungan. Lewis Yablonsky
menyebut manusia seperti ini sebagai “robopaths”. Manusia dipisahkan dari makna
hidupnya, dari fitrah manusianya. Manusia berperilaku secara otomatis dan bersifat
rutinitas yang kehilangan spontanitas, kreatifitas, dan individualitas. Manusia
berperan sebagai robot yang bergerak secara monoton, tanpa emosi, tanpa nilai,
dan tanpa makna.
Manusia robot akan selalu melakukan rutinitas yang
itu-itu saja. Bangun pagi, makan, bekerja, pulang, menonton televisi, berlibur
sesekali; namun mereka makin lama makin stress dan merasa hidup ini semakin
hampa. Prinsip reward yang sering didapatkan karyawan di kantor memang
menaikkan produktivitas kerja. Namun, lama kelamaan akan kembali menjadi hambar
kembali. Dan ini akan terus berulang dalam proses kerja dan mencari kesuksesan.
Manusia kemudian laksana anjing dalam penelitian Pavlov atau Merpati dalam
penelitian Skinner.
Saya tidak bermaksud menjelekkan
mashab behaviorisme. Pada diri manusia memang ada sistim otomatis, dan dalam
perkembangannya penelitian Pavlov dan Skinner kemudian melahirkan berbagai
metode dahsyat dalam melakukan perubahan diri dan perilaku. Hanya saja,
menggambarkan manusia secara utuh sebagai sistem yang bersifat mekanik inilah
yang kemudian mendapat penentangan bagi mashab behavioris ini. Dan behavioris
ternyata tidak mampu menjelaskan tentang self-motivated.
Kata Dr. Jalaluddin Rakhmat, pakar
psikologi komunikasi, “Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi.
Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada
peristiwa-peristiwa eksternal.” Behaviorisme ini melupakan bahwa manusia tidak
sama dengan anjing atau merpati. Anjing dan merpati memiliki sifat mekanik yang
diatur oleh pola-pola tertentu, dan manusia memiliki lebih dari itu, yaitu
pikiran dan perasaannya.
Apa yang digambarkan selama ini oleh
kebanyakan motivator ternyata hanya bertumpu pada mengejar kesenangan dan
menghindari penderitaan (hedonisme). Salah satunya adalah menulis impian yang
ingin diraih. Pada dasarnya teknik ini justru telah membuat kita masuk dalam
perangkap hedonisme. Kita menulis segala hal yang ingin kita raih, dan
meninggalkan seluruh penderitaan kita.
Menulis impian selama ini kebanyakan
hanya digerakkan oleh dua emosi yang digambarkan oleh Robert Kiyosaki di atas,
tanpa memedulikan pada apa sih yang sebenarnya ingin dicari dalam hidup ini?
Deepak Chopra menggambarkan hal ini
dengan sangat indah: “Pada hampir semua orang, partisipasi dalam kisah-kisah
kehidupan kita ini terjadi otomatis, tanpa disadari. Kita hidup seperti aktor
dalam sebuah drama, yang diberikan peran tanpa memahami keseluruhan kisahnya.
Tetapi ketika Anda berhubungan dengan jiwa Anda, Anda lihat keseluruhan naskah
cerita dramanya. Anda mengerti. Anda tetap berpartisipasi dalam kisahnya,
tetapi sekarang Anda berpartisipasi dengan penuh sukacita, dengan sadar, dan
dengan sepenuhnya. Anda bisa membuat pilihan-pilihan yang didasarkan kepada
pengetahuan dan lahir dari keterbebasan. Setiap momennya menjadi lebih
berkualitas berkat penghargaan terhadap apa artinya itu dalam konteks kehidupan
kita.”
No comments:
Post a Comment