Tuesday, April 24, 2007

BERPURA-PURALAH

PERLAKUKAN ORANG SEOLAH MEREKA SUDAH MENJADI APA YANG MAMPU MEREKA WUJUDKAN, DENGAN DEMIKIAN ENGKAU MEMBANTU MEREKA MEWUJUDKANNYA

- Goethe -

Ketika Anda berpura-pura, Anda akan mulai sungguh-sungguh percaya

bahwa Anda sudah menerimanya

- Rhonda Byrne, The Secret -

Kenapa mesti berpura-pura? Manfaat apa yang saya dapatkan jika saya berpura-pura? Inilah beberapa pertanyaan yang mungkin terlintas di benak Anda ketika membaca judul artikel saya ini. Ok, kalau begitu mari kita mulai dengan menyimak pernyataan Goethe di atas:

Perlakukan orang seolah mereka sudah menjadi apa yang mampu mereka wujudkan, dengan demikian engkau membantu mereka mewujudkannya.

Apa yang dinyatakan oleh Goethe ini telah memiliki alasan ilmiah dengan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Robert Rosenthal, yang sering juga disebut dengan Efek Pygmalion:

Bentuk standar dari penelitian ini diawali dengan pemberian daftar murid dari sebuah kelas yang berisi murid berusia sepuluh tahun kepada guru baru mereka di awal tahun ajaran baru. Daftar ini dibuat berdasarkan peringkat perolehan nilai IQ mereka dengan urutan dari yang tertinggi ke yang terendah: nama murid dengan nilai IQ tertinggi (mungkin sekitar 150) ditaruh pada urutan teratas dan nama murid dengan nilai IQ terendah (mungkin sekitar 85) ditaruh pada urutan terbawah. Guru yang bersangkutan diberitahu bahwa daftar ini tidaklah dianggap penting, semata-mata untuk pengetahuannya saja.

Di akhir tahun ajaran, prestasi akademis dan prestasi “sosial” atau perilaku para murid tersebut dihitung, dan kemudian dibandingkan dengan daftar IQ yang telah diberikan kepada guru mereka di awal tahun ajaran baru.

Yang mengejutkan dari eksperimen ini adalah urutan dalam daftar IQ yang asli sebenarnya telah dibalik sehingga urutan dalam daftar kelas yang digunakan guru justru berlawanan dengan yang sebenarnya! Dengan kata lain, anak dengan IQ tertinggi ditempatkan di urutan terakhir dalam daftar, dan anak dengan IQ terendah berada pada urutan teratas dalam daftar, di mana besarnya nilai IQ tetap dicantumkan di samping nama masing-masing anak dengan urutan dari tinggi ke rendah. Dan daftar anak yang memiliki IQ tertinggi yang berada dalam daftar “palsu” itu ternyata anak yang pada akhir tahun ajaran memiliki nilai yang sama dengan daftar IQ tertinggi pada daftar “palsu” tersebut, di mana anak tersebut sesungguhnya berada pada urutan IQ terendah dalam daftar yang asli.

Ternyata yang menjadi penyebab dari kemajuan anak yang “bodoh” tersebut adalah ekspektasi (tingkat pengharapan) guru. Jika guru mengharapkan anak berkinerja baik untuk alasan apapun, terdapat 80 persen kemungkinan yang lebih besar bahwa dia akan berkinerja baik. Demikian juga, jika guru mengharapkan anak untuk berkinerja buruk, juga terdapat 80 persen kemungkinan bahwa anak akan berkinerja buruk, entah berapa pun IQ-nya.

Apa yang dapat digambarkan adalah betapa pun rendahnya IQ anak, jika kita menganggapnya atau paling tidak berpura-pura (Anda harus ingat bahwa pada dasarnya guru dalam eksperimen di atas itu pun sesungguhnya berpura-pura bahwa anak dengan IQ rendah itu cerdas, walaupun kepura-puraannya tanpa sepengatahuan dirinya) bahwa seorang anak itu cerdas, maka seperti kata Goethe kita telah membantu mereka untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.

Menganggap seseorang itu cerdas atau pun bodoh juga terdapat dalam penelitian psikologi kognitif. Dalam psikologi kognitif, kita mengenal apa yang disebut dengan citra diri, yaitu apa yang kita gambarkan atau bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri. Jika kita menganggap diri kita cerdas, maka hasilnya pun kita akan menjadi cerdas. Citra diri pun dipengaruhi oleh orang lain, dimana jika orang lain menganggap Anda cerdas, maka Anda pun akan melihat diri Anda sebagai orang yang cerdas. Dengan kata lain, walaupun hanya sekedar berpura-pura, Anda bisa merubah keadaan Anda menjadi apa yang Anda inginkan. Karena seperti kata Rhonda Byrne, “Ketika Anda berpura-pura, maka Anda akan mulai untuk sungguh-sungguh percaya.”

Dalam penelitian di bidang neurosains pun mendukung argumen ini. Pernahkah Anda mengalami sebuah peristiwa di mana Anda jatuh dari gedung yang sangat tinggi. Anda begitu ketakutan dan berteriak histeris. Tepat sebelum Anda jatuh mengenai bumi, Anda terbangun. Wuiihh, ternyata cuma mimpi. Anda mengelap keringat yang membasahi sekujur tubuh Anda. Tapi, Anda seperti merasakan bahwa kejadian barusan seperti sungguhan. Ya, karena pikiran bawah sadar kita tidak mampu membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Apa yang Anda pikirkan, baik itu imajinasi maupun kenyataan, akan diterima sebagai suatu kebenaran oleh pikiran bawah sadar, dan pada akhirnya akan diwujudkan dalam realitas fisik. Jadi, apa alasan Anda untuk tidak mau berpura-pura terhadap apa yang Anda inginkan. Jika Anda belum kaya, maka berpura-puralah hidup sebagai orang kaya. SELAMAT BERPURA-PURA!!!

No comments:

Post a Comment