Friday, May 4, 2007

MENJADI TEMPAT CURHAT

Suatu hari anak saya – Zaky Ruzbihan, berumur 1 tahun 9 bulan – bermain bersama anak-anak tetangga ditemani oleh ibunya. Sewaktu berlari-lari, ia terjatuh dan mengalami luka lecet pada bagian lutut sebelah kiri. Istri saya menenangkan dirinya, dan ia kemudian bermain-main lagi; sudah kembali riang dan gembira. Namun, apa yang terjadi ketika ia dan istri saya tiba di rumah. Saat itu saya lagi menulis buku saya yang berjudul Anda Bisa, Kok! Becoming a Superachiever, dan melihat anak saya dan istri saya muncul di pintu depan rumah. Begitu anak saya melihat saya, langsung ia menangis dan menunjukkan luka di bagian lutut yang ia alami tadi. Ia menangis bukan karena lututnya yang terasa sakit (walaupun lututnya juga terasa sakit kala itu), tapi saya melihat ia menangis lebih karena ia ingin mengadukan kejadian yang baru saja dialaminya. Kejadian yang membuat lututnya terluka. Ia ingin saya mendengar keluh kesahnya (dalam bentuk tangisan, tidak dalam bentuk ucapan kalimat).

Secara otomatis, saya langsung menghentikan pengetikan buku saya, dan langsung menghampiri dirinya dan menggendong dirinya. Anak saya semakin memperkeras volume tangisnya dan menunjuk bagian luka di lutunya. Setelah saya lihat luka tersebut, saya melihat luka yang tidak parah, hanya lecet di beberapa bagian lutut. Sempat terpikir oleh saya bahwa anak saya ini terlalu manja, terlalu melebih-lebihkan keadaan yang dialaminya. Saya teringat akan perkataan orang-orang tua dulu dan sekarang ketika melihat kejadian itu, akan berkata seperti: “Ah, begitu saja kok nangis!”, “Jangan cengeng, ah. Kamu kan anak laki-laki”, “Jangan terlalu manja, kamu!”, dan perkataan-perkataan sejenis yang biasanya ditujukan agar tangisan anak berhenti sesegera mungkin. Perkataan-perkatan tadi biasanya pula diiringi dengan sedikit menghardik, bahkan ada orang tua yang tidak segera menggendong anaknya, malah dibiarkan saja. Hal ini dilakukan, biasanya, agar anak-anak tidak menjadi manja, khususnya bagi anak laki-laki, karena tabu bagi anak laki-laki untuk menangis.

Namun kemudian saya segera menghapus pikiran saya tadi dan memfokuskan diri untuk mendengar keluh kesahnya, dan menggendong dirinya selama mungkin sampai ia merasa tenang dengan sendirinya. Saya memberikan kata-kata menghibur, saya dengan perlahan menenangkan dirinya. Sedapat mungkin saya berusaha mengganti fokusnya, agar ia tidak terlalu memikirkan kejadian yang baru dialaminya. Dan anak saya berhenti menangis dengan sendirinya. Pertanyaan yang mungkin Anda ajukan kepada saya adalah: kenapa saya tidak memperlakukan hal yang sama seperti yang kebanyakan orang tua lakukan ketika mengalami kejadian serupa? Kenapa saya tidak berusaha untuk “cuek” agar anak saya berhenti menjadi manja ketika mengalami kejadian itu?

Sesungguhnya luka anak saya itu tidak seberapa. Ia bahkan bisa menahan rasa sakit yang tidak seberapa di bagian lututnya. Ia hanya ingin berkeluh-kesah, ingin meluapkan emosinya, ingin berbagi masalah. Itulah yang dilakukan anak saya sewaktu melihat saya. Nah, berapa banyak orang tua yang mau mendengarkan curhat anaknya? Karena jika tidak, maka setiap masalah yang dihadapi oleh anak akan dilarikan ke arah yang tidak benar; masih mending kalau ke arah yang benar.

No comments:

Post a Comment