Wednesday, May 9, 2007

ORANG TUA DAN GURU: PEMBUNUH MASA DEPAN ANAK

Ketika saya mengatakan orang tua dan guru sebagai pembunuh masa depan anak, bukanlah berarti membunuh dalam arti yang sesungguhnya. Membunuh masa depan anak bukanlah dalam arti seperti kasus guru yang melempar seorang murid hingga pada akhirnya terbunuh, melainkan “membunuh” anak secara mental. Dan ini sering terjadi pada anak-anak yang dilakukan secara massal oleh orang tua dan guru di sekolah.

Untuk menjelaskan maksud saya, mari kita lihat beberapa contoh kisah nyata yang dialami oleh teman saya dalam menangani anak-anak yang sering dikategorikan “bermasalah”.

  1. Sandy adalah seorang anak SD kelas 4 di Surabaya. Ketika masih berumur kurang lebih 2 tahun, mamanya sering menakut-nakuti dirinya dengan situasi gelap. “Hiiiii awas ada setannya di tempat gelap itu!” demikian mamanya sering menggoda dirinya ketika dia masih kecil. Maksud mamanya adalah bergurau (ada juga orang tua yang melakukan cara ini untuk membuat anaknya berhenti bermain atau untuk membuat anaknya segera makan), tetapi hal itu diserap oleh pikiran bawah sadarnya dan diterima sebagai program. Ketika melihat kecoa mamanya juga menakuti dirinya, “Ihh kecoa, awas, jangan dekat-dekat!” Ketika mengatakan hal itu raut muka mamanya menunjukkan rasa takut dan sedikit ngeri, sambil langsung menggendong dirinya. Dia pun kaget dan saat itulah pintu gerbang pikiran bawah sadarnya terbuka dan kata-kata tersebut diterima sebagai program. Sekarang dia tidak berani berada di tempat gelap sendirian dan jika melihat kecoa dia langsung lari terbirit-birit seolah melihat monster mengerikan. Dalam hal itu, anak belajar merasa takut terhadap sesuatu. Rasa cemas dan takut yang dimiliki mamanya telah menular pada Sandy kecil dan menjadi bagian dari dirinya tanpa disadari.

  1. Kevin, kelas 5 SD, mempunyai masalah dengan gurunya. Kevin tidak mau berbicara jika ditanya oleh gurunya juga tidak mau disuruh maju untuk mengerjakan sesuatu. Dia diam saja di bangkunya. Apa yang sesungguhnya terjadi? Ternyata, pada saat Kevin kelas 3 SD, dia pernah ditanya gurunya dan dia tidak bisa menjawab. Kemudian gurunya membentaknya dengan suara keras dan dengan kata-kata negatif. Sejak saat itu, pikiran bawah sadarnya telah menyadari satu hal, bahwa jika lain kali saya menjawab pertanyaan, kemungkinan kejadian seperti itu bisa terjadi lagi pada saya. Dan akhirnya, tanpa disadari oleh Kevin sendiri, telah terjadi suatu pola perilaku berupa penolakan untuk selalu menjawab pertanyaan guru. Karena jika dilakukan, maka kekhawatiran untuk dibentak dan dimarahi pun kemungkinan besar akan terjadi dan akibatnya sangat menyakitkan. Dan kali berikutnya, ketika gurunya mengajukan pertanyaan kepada dirinya, peristiwa yang menyakitkan itu langsung memicu dirinya untuk membuat benteng pertahanan diri berupa penolakan. Akhirnya, walaupun sudah duduk di kelas 5 SD, pola perilaku ini susah untuk dikendalikan oleh Kevin sendiri. Secara sadar Kevin tahu bahwa dia bisa menjawab dan seharusnya menjawab. Akan tetapi pikiran bawah sadarnya menolak karena khawatir, jangan-jangan peristiwa yang lalu akan menimpa kembali dirinya. Dan, jika belum diterapi, maka hal ini akan selamanya menjadi konflik internal dalam diri Kevin.

Pada tingkat sekolah, apa yang menyebabkan kebanyakan siswa tidak menyukai belajar? Atau tidak menyukai mata pelajaran tertentu, bahkan semua mata pelajaran? Jika pertanyaan ini kita tanyakan kembali pada orang-orang tua, sewaktu mereka masih belajar dulu, apakah masih pantas? Dengan kata lain, kebanyakan orang-orang tua pun tidak menyukai belajar, bukan hanya semasa sekolah dulu, mungkin masih sampai sekarang. Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat jawaban yang diberikan oleh Buckminster Fuller.

Buckminster Fuller memberikan jawaban yang cukup mengagetkan dan sesuai dengan judul artikel saya ini. Kata beliau, “Setiap anak terlahir jenius, tetapi kita memupuskan kejeniusan mereka dalam enam bulan pertama.” Lho, kok bisa demikian? Bukankah setiap orang tua dan guru menginginkan anaknya itu jenius. Lantas apa sebabnya?

Untuk membahas jawaban ini, alangkah baiknya saya mengajak Anda terlebih dahulu untuk melihat potensi kecerdasan setiap anak. Perlu Anda ketahui, setiap anak yang lahir memiliki tingkat potensi cerdas yang luar biasa. Setiap anak yang lahir, memiliki otak dengan jumlah sel otak sebanyak 1 triliun sel. Dan setiap sel memiliki sampai 20 ribu tempat koneksi. Jika Anda mencoba membandingkan sel otak manusia ini dengan lebah atau monyet misalnya, maka akan Anda temukan bahwa jumlah sel otak manusia jauh melebihi lebah atau monyet. Lebah memiliki jumlah sel 7 ribu sel otak. Dengan jumlah sel yang demikian, lebah sudah bisa melakukan banyak hal, seperti: terbang, berkelahi, melihat, mendengar, mencium, mengecap, meraba, menyentuh, membangun sarang, mengendalikan suhu, menghitung, melindungi, kemampuan bernavigasi, berjalan, berlari, mengingat, bermain, mengasuh, berkembang biak, bekerjasama dalam sebuah komunitas. Dan ini baru lebah, belum lagi monyet yang memiliki jumlah sel yang lebih banyak dari lebah, yaitu 10 miliar sel otak. Anda bisa membayangkan, apa yang bisa dilakukan oleh monyet dengan jumlah sel demikian banyaknya. Dan apa yang bisa Anda bayangkan dengan setiap anak yang lahir yang memiliki jumlah sel terbanyak, seperti yang telah kita sebutkan di atas.

Namun, ada hal yang penting untuk diingat! Jumlah sel sebanyak 1 triliun ini belum menjadi satu-satunya syarat kecerdasan manusia. Karena, kecerdasan manusia dilihat dari seberapa banyak koneksi yang terjadi antar sel otaknya. Dengan kata lain, semakin banyak koneksi sel otak pada setiap anak, maka akan semakin cerdas anak tersebut. Dan untuk menciptakan koneksi yang banyak, setiap anak memerlukan stimulus positif dari lingkungan di sekitarnya.

Bersyukurlah karena Tuhan telah membuat setiap anak yang lahir untuk secara alami merespon apa yang diberikan lingkungannya. Secara alami, setiap anak memiliki dorongan positif untuk selalu belajar. Tapi mengapa ada saja anak yang masih kurang cerdas dan malas belajar? Penting untuk Anda ketahui bahwa dorongan alami anak untuk selalu belajar ini perlu senantiasa diberi dukungan positif dari orang tuanya dan gurunya di sekolah. Dan, ternyata kebanyakan orang tua dan guru - tanpa mereka sadari – tidak memberikan dukungan positif yang diharapkan setiap anak. Adalah betul bahwa setiap orang tua dan guru menginginkan anaknya menjadi cerdas dan berhasil, namun dalam upayanya untuk mencerdaskan anaknya ini seringkali tidak dalam bentuk dukungan positif bagi anak. Inilah seperti yang dimaksud oleh pernyataan Buckminster Fuller di atas.

Dengan melihat 2 kisah nyata di atas adalah merupakan contoh dukungan negatif yang diberikan kepada anak. Dan seringkali ini dilakukan tanpa disadari oleh orang tua dan guru. Apapun yang dilakukan oleh orang tua dan guru akan memberikan efek bagi anak. Jika efeknya positif, maka hal ini bukanlah masalah. Tapi bagaimana jika efeknya negatif.

Salah satu hal penting yang mesti diperhatikan dalam memberikan dukungan bagi anak adalah bahasa. Sebagai contoh: kebanyakan orang tua menginginkan anaknya memanggil orang lain dengan bahasa yang sopan, misalnya “kita” (tradisi Bugis-Makassar). Tapi anehnya, kebanyakan orang tua justru mencontohkan anaknya dengan memanggil anaknya sendiri dengan kata “kau”. Selain meniru orang tuanya dalam menggunakan kata “kau”, anak juga akan merasa tidak begitu penting bagi orang tuanya. Padahal, perasaan untuk dianggap penting dan berharga bagi orang tuanya merupakan suatu emosi yang paling dibutuhkan anak dan menunjang kepercayaan dirinya kelak.

Ada lagi yang lain. Banyak orang tua yang sering meminta anaknya untuk melakukan sesuatu dan harus cepat. Tapi anehnya, banyak anak-anak yang ketika meminta tolong kepada orang tuanya, selalu saja ada penundaan bahkan tidak jadi menolong anaknya. Atau, orang tua yang selalu menyuruh anaknya untuk rajin membaca dan belajar. Tapi anehnya, ketika orang tua memerintahkan demikian kepada anaknya, banyak orang tua yang justru asyik menonton televisi dan malas membaca dan belajar.

Inilah yang disebut dengan ketidak-konsistenan dalam mendidik anak. Orang tua justru melanggar sendiri apa yang diperintahkan kepada anaknya. Dan salah satu sifat anak adalah meniru lingkungan sekitarnya. Jadi jangan heran banyak anak yang menjadi tidak seperti yang diharapkan orang tuanya, tapi menjadi seperti apa yang dilakukan orang tuanya.

Hal-hal seperti ini pun banyak terjadi di sekolah. Banyak guru yang melarang siswanya untuk tidak merokok, tapi disaat yang bersamaan, banyak pula guru yang merokok di sekolah bahkan ada yang merokok sambil mengajar di kelas (saya tidak bermaksud untuk melarang guru-guru yang merokok untuk tidak merokok sama sekali. Tapi alangkah baiknya larangan merokok di sekolah berlaku juga bagi guru, seperti yang diterapkan oleh sebuah sekolah unggulan di Bandung). Belum lagi label “bodoh” yang selalu diberikan bagi anak-anak yang dianggap tidak memenuhi syarat. Padahal, jika dilihat dari penuturan tentang otak di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada satu pun anak yang “bodoh”. Kata “bodoh” seharusnya diganti dengan kata BELUM BISA.

Saya pernah menanyakan salah seorang anak. Kebetulan anak itu adalah anak teman saya. Yang saya tanyakan adalah: mata pelajaran apa yang paling disukai? Dia menyebutkan salah satu mata pelajaran yang disukainya. Dan ketika saya menanyakannya lagi: kenapa dia menyukainya? Ia menjawab karena guru yang mengajar mata pelajaran tersebut sangat baik kepada dirinya. Dalam penelitian, dapat dilihat bahwa jika ada mata pelajaran yang disukai, salah satu faktor penentu adalah guru yang mengajar mata pelajaran itu disukai oleh anak-anak. Begitu pula sebaliknya, jika ada mata pelajaran yang tidak disukai, maka hampir dapat dipastikan kalau guru yang mengajar mata pelajaran tersebut adalah guru “killer”. Lalu bagaimana, jika hampir semua atau semua mata pelajaran tersebut tidak disukai oleh kebanyakan anak? Maka hampir dapat dipastikan bahwa metode belajar dan suasana guru dan murid sangatlah tidak kondusif dan positif.

Untuk memperkuat argumen ini, mari kita lihat penelitian yang dilakukan oleh Profesor Robert Rosenthal dari Universitas Harvard tentang ekspektasi/tingkat pengharapan guru kepada siswanya:

Cerita singkatnya seperti ini. Pada tahun ajaran baru, seorang kepala sekolah memanggil guru untuk diberikan pengarahan. Guru tersebut diberi kehormatan dan kesempatan untuk mengajar di kelas pilihan. Kelas ini berisi anak-anak dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Tentu saja guru tersebut sangat senang mengajar di kelas ini. Dan pada akhir semester dilakukan evaluasi terhadap hasil belajar. Ternyata para murid itu mencapai hasil jauh di atas rata-rata. Dan sang guru tentu sangat bangga dengan prestasi ini. Berarti ia telah mengajar dengan baik.

Setelah melihat hasil evaluasi yang sangat baik, guru tersebut lalu diberitahu bahwa sebenarnya murid di kelas pilihan itu adalah murid yang prestasinya biasa-biasa saja dan malah cenderung agak rendah. Selain itu mayoritas anak di kelas itu sebenarnya masuk dalam kategori anak bermasalah (kebanyakan guru menyebut kelas ini sebagai tipe kelas “buangan”). Lalu, mengapa anak-anak tersebut dapat mencapai prestasi akademis yang begitu bagus?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi murid berbanding lurus dengan tingkat ekspektasi (tingkat pengharapan) guru. Karena guru tersebut tidak mengetahuinya, dan ia telah diberi “kehormatan”, maka label yang ia berikan kepada anak-anak tersebut sangatlah positif dan menganggap mereka semua adalah anak-anak yang cerdas.

Dapat Anda bayangkan bagaimana jika orang tua dan guru sudah terlanjur memberikan label negatif atau “bodoh dan nakal” kepada seorang anak. Dapat dipastikan bahwa apapun yang dilakukan oleh anak tersebut adalah sesuatu yang salah dan keliru. Andaikan pun anak tersebut pernah melakukan sebuah prestasi, kebanyakan orang tua dan guru sering menyebut peristiwa tersebut sebagai “kebetulan”. “Ahh, kebetulan saja dia hebat. Dia kan sebenarnya tidak bisa. Jangan-jangan ….”.

MENJADI ORANG TUA DAN GURU POSITIF

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh orang tua dan guru dalam mendidik anak? Ada beberapa hal penting untuk dilakukan berkenaan dengan memberikan dukungan positif, agar perkembangan intelektual dan emosional anak berkembang dengan sangat baik, yaitu:

  1. Perhatikan bahasa yang Anda gunakan. Cobalah untuk sedikit merenung tentang efek dari bahasa yang Anda gunakan sehari-hari kepada anak. Misalkan saja: “Ini baru anak Ayah/Ibu”. Anda bisa lihat bahwa pujian tersebut bukan ditujukan kepada anak, melainkan ditujukan kepada orang tuanya. Dan ketika anak Anda melakukan suatu kesalahan, yang sering terjadi justru Anda tidak mengakuinya sebagai anak, seperti: “Kok kamu bodoh amat. Ayah/Ibu tidak seperti kamu dulu. Memangnya kebodohan kamu turunan dari siapa sih?” (Masa anak Anda adalah anak tetangga?)

Ingatlah selalu akan pentingnya efek dari sebuah bahasa. Bukankah yang terjadi pada setiap orang adalah apa yang dipersepsikan oleh dirinya atas perkataan yang diberikan kepadanya?

  1. Bersikaplah konsisten. Jika Anda melarang anak Anda yang terlalu sering menonton televisi, maka Anda selaku orang tua yang mesti pertama kali melakukannya. Jangan membuat anak Anda menjadi bingung. Telinganya mendengar larangan Anda, tetapi matanya melihat Anda sering menonton televisi.

Begitu pula dengan jam tidur anak. Jika anak Anda sudah terbiasa bangun pagi untuk ke sekolah pada hari senin-sabtu, maka konsistenlah untuk membangunkannya juga pada pagi hari di hari libur. Jangan atas nama “kasihan” Anda membuatnya tidur hingga siang hari karena Anda berpikir bahwa hari minggu adalah hari libur. Jika hal ini terjadi, maka Anda telah mengganggu jam weker alamiah yang ada di otak anak Anda. Tetaplah bersikap konsisten untuk hal-hal yang baik bagi perkembangan mental anak Anda.

  1. Berikan cinta dan kasih sayang Anda kepada anak Anda. Tunjukkan bahwa Anda mencintai mereka. Jangan pernah berpikir bahwa anak Anda itu adalah paranormal, yang bisa mengetahui bahwa Anda mencintai mereka walaupun Anda tidak menunjukannya. Tataplah mata mereka ketika berbicara dengan mereka. Sejajarkan posisi tubuh Anda dengan anak Anda ketika berbicara dengan mereka. Lakukanlah sentuhan fisik dengan senantiasa memegang mereka ketika berbicara, dan bila perlu peluklah mereka selalu. Luangkan waktu Anda untuk bermain bersama mereka. Dan ingatlah poin penting berikut ini: seringkali kita lebih gampang bersikap ramah kepada orang lain dibandingkan keluarga kita sendiri, bahkan terhadap anak orang lain dibandingkan anak kita sendiri.

  1. Janganlah suka memberikan anak label bodoh, karena yang terjadi adalah mereka BELUM BISA. Jika kita memberikan dukungan positif berupa memotivasi anak untuk selalu mencoba dan mencoba, maka pada akhirnya ke-BELUM BISA-an anak tersebut akan menjadi BISA.

Mengingat keterbatasan ruang, maka saya ingin mengakhiri diskusi kita ini dengan himbauan sederhana. Anak-anak kita memiliki karunia dan potensi yang luar biasa. Mereka bahkan secara alamiah memiliki kemampuan untuk mandiri dan belajar sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah memberikan dukungan positif bagi perkembangan intelektual, mental, dan spiritual anak. Janganlah terlalu sering memaksakan kehendak Anda kepada mereka, karena setiap anak memiliki pilihan hidup masing-masing.

No comments:

Post a Comment