Saya
cukup tercengang ketika mendengarkan penuturan seorang psikolog yang sekian
puluh tahun malang melintang di dunia psikologi bengkel. Psikologi bengkel
adalah sebutan untuk dunia psikologi yang mengajarkan dan (mencoba)
menyelesaikan berbagai masalah hidup. Fokusnya adalah kerusakan pada sistem
mental manusia, mulai dari stres ringan hingga kecemasan dan depresi berat yang
berkepanjangan. Buku sakti psikologi bengkel disebut DSM (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders) yang berisi berbagai
gejala-gejala penyakit mental. Saat ini – saking banyaknya ditemukan penyakit
mental – DSM yang terbaru adalah DSM-5. Dan biasanya buku sakti ini sangat
tebal karena saking banyaknya penyakit mental beserta gejala-gejalanya. Jadi
kalau Anda mau tahu jenis penyakit mental yang Anda derita, Anda bisa membuka
buku DSM-5 ini untuk merujuk gejala-gejala yang Anda alami kemudian Anda bisa
mengetahui penyakit mental apa yang Anda derita.
Kembali kepada psikolog yang saya
ceritakan tadi, namanya Martin Seligman. Beliau pernah menduduki jabatan
Presiden American Psychological Association (APA) di tahun 1997 dengan
perolehan suara terbanyak di sepanjang sejarah organisasi para psikolog ini. Selama
empat puluh tahun beliau bergelut dengan psikologi bengkel karena memang itulah
yang selama ini diajarkan kepada para mahasiswa psikologi. Dan selama rentang
tahun tersebut, Seligman banyak mengelola bantuan dana dari pemerintah untuk
menjalankan berbagai riset dan penelitiannya di seputar psikologi bengkel. Dan
salah satu lembaga yang selalu memberikan bantuan dana kepada Seligman adalah
National Institute of Mental Health (NIMH).
Namun ada sesuatu yang berubah dan
hal itu membuat Seligman tersadar. Menurut Seligman, ternyata ada rahasia
tersembunyi pada psikoterapi dan obat-obatan yang dijual untuk menangani
penyakit mental seseorang. Hal ini bermula ketika Seligman menyadari satu hal
utama selama ini dalam dunia psikologi, bahwa selama ini psikologi selalu
menitikberatkan pada masalah yang ada pada manusia. Kenapa psikologi tidak membuat
arah baru untuk mem-fokuskan kepada kekuatan-kekuatan positif yang ada pada
manusia? Bukankah manusia juga memiliki kekuatan-kekuatan khas yang positif dan
hal itu bisa membuat manusia semakin konstruktif? Maka lahirlah aliran baru
dalam dunia psikologi, yang disebut dengan Psikologi Positif, dimana Martin
Seligman disebut sebagai Bapak Psikologi Positif.
Dengan semakin bergulirnya waktu,
psikologi positif ini semakin menyebar luas dan memberikan efek positif yang
mencengangkan. Dibandingkan harus fokus pada masalah – dan ternyata membuat
masalah semakin bertumpuk – maka psikologi positif ini bukan hanya membuat
seseorang semakin berdaya secara positif, juga semua gejala-gejala depresinya
pun semakin berkurang. Kalau kita menilik hal ini dari sudut pandang neurosains
memang sangat masuk akal, karena sel otak akan semakin menguat pada hal-hal
yang kita fokuskan, dan semakin melemah pada hal-hal yang tidak mendapat
perhatian. Jadi ketika psikologi positif mengajarkan untuk fokus pada kekuatan
positif diri dan bagaimana mengembangkan kekuatan tersebut, maka secara
otomatis jaringan sel otak yang mem-proses berbagai stres dan depresi akan
semakin lemah, bahkan menghilang.
Itulah sebabnya, untuk pertama kalinya
NIMH menolak pengajuan proposal bantuan dana Seligman, ketika ia mengajukan
proposal bantuan dana untuk penelitian efek psikoterapi positif pada berbagai
penderita depresi. Paling tidak menurut keyakinan Seligman, psikoterapi positif
bisa memberikan efek yang kurang lebih sama dengan terapi dan obat-obatan antidepresan.
Dan ternyata proposal bantuan dana riset itu ditolak oleh NIMH sebanyak tiga
kali tanpa dikaji.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), depresi adalah penyakit paling mahal
di dunia…wow. Dan ternyata pilihan penanganan depresi ini hanya dua saja, yaitu
obat-obatan dan psikoterapi. Jadi jangan heran kalau industri obat-obatan antidepresan
bernilai milyaran dolar. Karena rata-rata penanganan kasus depresi membutuhkan
dana sekitar 5.000 dolar setiap tahun. Dan di Amerika saja, terdapat sekitar 10
juta kasus depresi setiap tahunnya. Bisa dibayangkan betapa banyaknya jumlah
kasus depresi di seluruh dunia.
Ada satu rahasia menarik yang perlu
Anda ketahui bahwa ternyata obat-obatan dan psikologi klinis sudah lama
meninggalkan pandangan tentang penyembuhan. Andai pun penyembuhan menjadi
tujuan utamanya, maka hal tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama. Hasil
dari studi komparatif yang dipublish oleh American Health Magazine, psikoterapi
klinis mampu melakukan recovery hanya berkisar 38% setelah melewati 600 sesi
terapi. Itulah sebabnya, psikoterapi klinis dan obat-obatan hanya berkaitan
dengan manajemen krisis jangka pendek dan pemberian perlakukan kosmetik.
Oh iya, Anda perlu tahu bahwa ada
dua jenis pengobatan: obat-obatan kosmetik dan obat-obatan kuratif. Obat kuratif
itu bekerja laiknya antibiotik. Ketika Anda meminum obat antibiotik cukup lama,
maka antibiotik itu akan mengobati dengan cara membunuh bakteri jahat. Saat
berhenti meminumnya, penyakit tidak akan kambuh lagi karena pathogen telah
mati. Lain halnya dengan obat-obatan kosmetik, yang hanya bersifat meredakan
gejala. Saat Anda mulai meminum obat antidepresan, maka gejala-gejalanya akan
hilang. Namun saat Anda berhenti meminum obat antidepresan tersebut, maka
gejalanya akan timbul kembali. Inilah obat kosmetik yang hanya bekerja untuk
meredakan gejala. Menurut Seligman, peredaan memang baik, tapi bukan yang
terbaik, karena peredaan harusnya sekadar menjadi tempat singgah dalam
perjalanan menuju kesembuhan.
Faktanya adalah bahwa psikiatri
biologis telah menyerah untuk menyembuhkan. Saat ini yang banyak beredar adalah
obat-obatan kosmetik yang tujuannya hanya berhenti pada meredakan gejala saja,
tapi tidak menyembuhkan sama sekali. Padahal kalau kita melihat sejarah
psikologi, kita akan menemukan seorang sosok legenda dalam dunia psikologi
bernama Sigmund Freud, yang merupakan pendiri mashab psikoanalisa dalam dunia
psikologi. Menurut Freud, psikoterapi itu harusnya bertujuan untuk
menyembuhkan, dan mestinya senantiasa mengupayakan penyembuhan tersebut. Freud
tidak mengharapkan psikoterapinya hanya berhenti pada menghilangkan gejala saja.
Ada hal lainnya yang juga perlu Anda
ketahui, yaitu bahwa ternyata efek dari psikoterapi dan obat-obatan
antidepresan hampir selalu “kecil”. Jika dibandingkan antara obat-obatan
antidepresan dengan efek dari placebo, maka hampir tak ditemukan perbedaan
antara obat dan placebo. Artinya, jauh lebih memungkinkan Anda sehat dengan
menggunakan kekuatan positif diri Anda (dan itu terbukti dengan percobaan
placebo), dibandingkan harus mengandalkan obat antidepresan. Karena – sekali
lagi – setiap obat tersebut memiliki sifat yang hanya sekadar meredakan gejala,
dimana begitu Anda berhenti meminumnya, Anda kembali ke keadaan semula,
penyakit akan kambuh dan muncul kembali.
Jika kita melihat penelitian di
negara-negara maju, maka semakin modern suatu negara tingkat orang yang
mengalami depresi juga semakin tinggi. Budaya hedonisme (fanatik kepada materi
dan kesenangan materi) pada suatu negara modern semakin meng-absahkan depresi
yang dialami penduduknya. Di tambah dengan pendekatan psikoterapi dan obat yang
hanya meredakan gejala (dan ada industri obat yang bernilai milyaran dolar di
belakangnya), maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa Anda dilahirkan untuk
mengalami depresi. Karena ternyata tingkat orang-orang yang mengalami depresi
tidak hanya menimpa orang dewasa, melainkan juga anak-anak dan remaja. Semakin
maju suatu negara, semakin banyak penduduknya yang mengalami depresi. Dan
semakin banyak orang yang depresi, maka semakin kaya-lah industri obat. Seperti
kata WHO, depresi adalah penyakit yang paling mahal.
Oleh sebab itu, agar Anda tidak
dilahirkan untuk menjadi depresi, maka mulailah menyadari kekuatan-kekuatan
positif yang pada diri sendiri. Dengan teknik yang tepat dan menjadi tuan atas
pikiran sendiri, maka Anda bisa memilih dengan kesadaran Anda untuk menjadi
semakin berdaya. Hidup dengan banyak materi itu perlu, tetapi Anda perlu
mengontrol hati Anda agar tidak tergantung kepada materi. Karena ketika
seseorang yang hatinya sudah tergantung kepada materi, maka benaknya akan
selalu dipenuhi oleh ketakutan, kegelisahan, kecemasan, bahkan depresi, tak
peduli apakah hartanya sedikit atau hartanya sangat banyak.
No comments:
Post a Comment