Jika suami Anda telat
tiba di rumah, maka pasti ada alasan yang disampaikannya. Tidak peduli apakah
alasan itu hanya rekayasa ataukah memang benar faktanya. Begitu pula ketika
istri Anda belanjanya kebanyakan, maka iapun akan selalu mengemukakan alasannya
kenapa ia mesti belanja ini dan itu. Bahkan saat Anda mengambil jalan yang ini
dan bukan yang itu atau mesti belok kesini dan bukan belok kesitu, Anda akan
selalu menemukan alasan untuk dikemukakan. Anda akan selalu beralasan mengapa
memilih jalur tersebut.
Manusia adalah makhluk
alasan. Tanpa adanya alasan, hidup akan terasa hambar dan tak berarti. Itu
karena alasan adalah makna yang inheren pada diri kita. Dan makna inilah yang
membuat kita hidup atau mati (hampa). Makna ini jugalah yang membuat kita layak
menjalani kehidupan ataukah putus asa; bahagia atau menderita; hingga menaikkan
atau menurunkan derajat diri di hadapan Tuhan. Semua yang kita lakukan akan
selalu kita maknai sedemikian rupa. Bahkan untuk hanya sekedar makan dan minum
sekalipun. Inilah yang membedakan kita dengan hewan. Karena kita menjalani
hidup dan memenuhi kebutuhan kita, bukan hanya sekedar menjalani dan
memenuhinya semata; melainkan juga akan selalu ada makna yang mengiringinya.
Kadar makna menentukan
siapa kita. Itulah sebabnya, marketing pun mengalami evolusi. Marketing
berevolusi dikarenakan adanya kadar makna yang berbeda pada manusia seiring
dengan perubahan zaman. Dulu manusia memaknai suatu produk karena fungsional
dan keterjangkauannya semata. Baginya, jika suatu produk itu bagus dan
bermanfaat serta terjangkau, maka ia akan terus membeli. Inilah makna yang
dilekatkan manusia atas suatu produk. Jadi jangan heran, alasan yang
dikemukakan akan selalu pada konteks fungsional dan ekonomis produk.
Seiring perubahan waktu
dan zaman, manusia tidak lagi hanya memaknai produk dari fungsinya semata.
Manusia ingin diperhatikan dan dimanjakan. Baginya, suatu produk akan bermakna
ketika dirinya tidak hanya dipandang sebagai konsumen semata. Ia tidak mau
dibutuhkan hanya karena uangnya. Ia tidak mau lagi hubungan yang terjadi hanya
atas dasar transaksional semata. Terlebih lagi semakin banyak produk yang
menawarkan kualitas dan harga kompetitif. Manusia pada konteks ini tidak lagi
memaknai produk sebagaimana produk, melainkan memaknai produk yang inheren
dengan kepedulian atas dirinya. Baginya, suatu produk akan bermakna jika produk
tersebut inheren dengan kepedulian terhadap dirinya. Terjadi peningkatan makna
baru atas suatu produk. Itulah sebabnya, manusia akan memberi lagi alasan
tambahan mengapa ia memilih produk ini dan bukan yang itu. Alasan yang dibuat
sudah cenderung subjektivitas-emosional.
Karena manusia adalah
makhluk alasan; makhluk yang padanya inheren akan makna; dan tentu saja ada
pembaharuan makna pada dirinya, maka sudah pasti iapun akan memandang suatu
produk dengan cara pandang yang juga berbeda dari sebelumnya. Jika suatu produk
mampu memberikan makna kepedulian padanya, maka hal ini akan berevolusi pada
pemaknaan baru, yaitu tidak ada lagi sekat antara dirinya dan produk tersebut.
Baginya ia adalah produk tersebut, dan produk tersebut adalah dirinya. Dirinya
dan produk telah mengalami satu kesatuan utuh. Dan karenanya, produk tersebut
telah menjadi perwakilan atas dirinya; atas nilai-nilai yang ada pada dirinya.
Inilah makna baru yang melekat pada suatu produk. Alasan yang dikemukakan dalam
penggunaan produk, bukan hanya subjektivitas-emosional; tetapi juga sudah pada
jati dirinya.
Pada konteks ini,
marketing telah berevolusi kepada nilai-nilai terdalam manusia.
Jika seekor kucing makan hanya karena tubuhnya
membutuhkan makanan, maka manusia menginginkan sesuatu bukan hanya sekedar
kebutuhan tubuhnya; melainkan juga karena ingin memenuhi kebutuhan jiwanya,
baik disadari ataupun tidak disadari. Dan ini nampak jelas pada alasan yang
dikemukakan atas pilihannya pada suatu produk. Sekali lagi, derajat kita
ditentukan oleh kadar makna yang inheren pada diri kita sendiri.
No comments:
Post a Comment