Thursday, May 31, 2007

Filsafat dan Kebahagiaan


Dalam tulisan: “Kebahagiaan: Antara Jiwa, Raga, dan Ruh”, Haidar Bagir mendefenisikan kebahagiaan sebagai berikut:


  1. Kesejahteraan (well-being), yakni kepuasaan atau pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup (eksternal). Lawannya adalah ketiadaan atau kekurangan (deprivation) hal-hal tersebut.

  2. Kerelaan, yakni terhadap keadaan yang di dalamnya seseorang berada (internal). Lawannya adalah kegelisahan atau kecemasan.

  3. Perasaan mengetahui makna hidup.


Walaupun kebahagiaan sering dihubungkan dengan kesenangan dan kegembiraan, namun demikian, tidak semua hal-hal yang bersifat menyenangkan akan mampu memberikan kebahagiaan kepada seseorang. Karena, ada saja orang-orang yang tidak gembira atau sedih, namun secara keseluruhan hidupnya penuh kebahagiaan.

Mari kita lihat lagi, apa yang dikatakan Haidar Bagir mengenai kegembiraan dan kebahagiaan:


Meski kesenangan dan kegembiraan boleh jadi juga merupakan turunan dari kebahagiaan, namun kebahagiaan bisa amat tergantung pada – banyak sedikitnya – instansi (instances) yang di dalamnya orang gembira dan senang atau tidak. Maka, barangkali, persoalan gembira dan senang (yang bersifat temporer) ini tak langsung berhubungan dengan masalah-masalah spiritualistik atau filosofis. Sebaliknya ia erat terkait dengan persoalan-persoalan pikiran yang bersifat rasional-praktis.


Ketika berbicara tentang hubungan antara pikiran dan kebahagiaan, saya langsung teringat akan penuturan Dr. Aaron Beck – seorang psikiater. Dr. Beck telah mempelajari bagaimana pikiran kita dapat membuat hidup ini menjadi tidak bahagia. Semua ini ada hubungannya dengan cara kita memandang/persepsi terhadap realitas hidup. Paling tidak, menurut Beck, ada tujuh kesalahan persepsi yang sering dilakukan kebanyakan orang dalam memandang hidup ini.

  1. Black-and-White Thinking

Orang sering memandang segala sesuatu dengan ekstrim, tanpa jalan tengah sama sekali. Baik atau buruk, sempurna versus tak berguna, sukses atau gagal, benar lawan salah. Dengan melakukan ini, mereka melewatkan kenyataan. Dengan kata lain, begitu banyak “abu-abu” di sekitar kita. Cara pikir ini melibatkan pembicaraan dengan diri sendiri, seperti:

  • Manusia itu jujur atau pendusta”

  • Jika tak sempurna, maka tak berguna”

  • Kalau kau tak mencintaiku, kau pasti membenciku”

  • Hanya ada dua macam manusia di dunia ini”

  • Bila tidak benar pasti salah”

Nah, ketika Anda mulai berpikir hitam-putih, maka Anda akan cenderung melihat segala sesuatu yang salah dan mengabaikan hal-hal positif. Pada saat ini, Anda telah melakukan filtering.

  1. Filtering

Filtering ini sering diungkapkan dengan kata-kata berikut:

    • Tak ada apapun yang kudapatkan”

    • Aku tak melihat sisi baik dari situasi ini”

    • Tak ada harapan”

    • Yang kuperoleh hanyalah penderitaan”

    • Aku tak meraih apapun yang berharga dalam hidupku”

Pada umumnya, orang melakukan filtering ke arah negatif, tetapi juga bisa berlaku sebaliknya, misalnya:

  • Dia pasti benar”

  • Lebih baik memelihara perdamaian. Aku tak akan berkata tidak kepada putraku sekarang. Masih banyak waktu untuk pendisiplinan di tahun-tahun mendatang”

Ketika Anda menyaksikan hidup Anda, sepertinya berjalan salah. Maka kecenderungan ini akan selalu membuat kita untuk mengabaikan hal-hal positif dalam hidup. Begitu seringnya hal ini terjadi, akan mengakibatkan overgeneralising.

  1. Overgeneralising

Penyimpangan ini berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membangun sesuatu mengenai diri atau keadaan mereka sendiri, dan akhirnya berpikir bahwa hal ini mewakili situasi seluruhnya. Dengan kata lain, mereka menyimpulkan sesuatu yang universal dari suatu peristiwa khusus. Misalnya:

  • Segala sesuatunya tidak beres”

  • Tak ada apapun yang kulakukan dengan benar”

  • Setiap orang menganggapku tolol”

Setelah mengambil kesimpulan demikian, maka hal yang sering terjadi adalah pengambilan kesimpulan yang lebih ekstrim atau disebut dengan mind-reading.

  1. Mind-Reading

Membaca pikiran orang atau membuat dugaan dengan kesimpulan-kesimpulan yang keliru, merupakan suatu kesimpulan yang tidak mempunyai bukti. Hal ini terjadi setelah mengambil kesimpulan yang bersifat overgenaralising tadi. Misalnya:

  • Dia mengabaikanku dengan sengaja”

  • Kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku”

  • Dia marah padaku”

  • Mereka pikir aku membosankan”

Yang lebih parah lagi adalah mengambil kesimpulan untuk sesuatu yang belum terjadi. Ini telah melibatkan keseluruhan hidup, dan secara “dugaan” telah mengambil kesimpulan yang keliru. Ini disebut dengan fortune-telling.

  1. Fortune-Telling

Cara ini adalah pengambilan kesimpulan dengan memperlakukan keyakinan tentang masa depan sebagai realitas, bukan sekedar perkiraan. Misalnya:

  • Aku akan selalu gagal”

  • Aku tak akan mendapatkan pekerjaan lain”

  • Semuanya akan menjadi lebih buruk”

  • Aku akan menjadi gila”

  • Tak ada harapan”

Cara lain lagi untuk membuat kesimpulan adalah dengan mengatakan kepada diri sendiri, dimana Anda merasa yakin akan sesuatu, maka itulah kenyataannya. Cara ini disebut dengan emotional reasoning.

  1. Emotional Reasoning

Contoh emotional reasoning:

  • Aku merasa sebagai orang yang gagal, jadi aku memang gagal”

  • Kurasa aku tak menarik, berarti aku memang tak menarik”

  • Jika aku marah, kau tentu telah berbuat sesuatu yang membuatku marah”

Penalaran emosional ini dapat membuat Anda menganggap bahwa kemarahan itu bisa “dibenarkan”, seperti contoh di atas. Dengan demikian, terpeliharalah suatu lingkaran setan yang dapat memerosotkan diri sendiri. Bahkan membuat kekhawatiran itu memangsa diri sendiri.

Ada satu kesimpulan lagi dalam hal ini, dimana kesimpulan itu berkaitan dengan diri sendiri atau personalising.

  1. Personalising

  • Semua orang mengamatiku”

  • Kritik itu ditujukan kepadaku”

  • Pasti aku yang membuatnya merasa tidak enak”

  • Dia tidak membalas sapaanku. Apa salahku?”

Setelah kita melihat bagaimana kesalahan persepsi di atas, lantas, apa hubungannya dengan filsafat? Apakah filsafat membuat orang tidak bahagia? Atau filsafat justru mengantarkan kita menuju kebahagiaan?

Secara istilah, filsafat sering diartikan sebagai pencinta kebijaksanaan. Istilah ini – konon – pertama kali dikemukakan oleh Socrates untuk membedakan dirinya dengan “orang-orang tolol” pada waktu itu. Walaupun banyak mazhab dalam filsafat, namun secara umum filsafat sering diartikan sebagai bentuk studi yang njelimet. Hal umum lain yang mengenai filsafat adalah filsafat sering dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat pasti, layaknya matematika. Itulah sebabnya, matematika – pada awal mula sejarah filsafat – dimasukkan sebagai bagian dari filsafat. Bahkan semua ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu praktis, juga teologi merupakan bagian dari filsafat. Hal ini yang kemudian menggambarkan filsafat sebagai induk dari semua ilmu.

Kita tidak akan mempertajam pembahasan filsafat untuk hal-hal yang sangat detail. Cukup untuk dipahami bahwa filsafat itu bersifat pasti. Benar dan salah, keberadaan dan ketiadaan, merupakan bagian-bagian yang dipelajari dalam filsafat. Hal ini yang kemudian mengantarkan – sebagian orang yang berfilsafat – untuk cenderung berpikir hitam-putih atau dalam bahasa Aaron Beck: black-and-white thinking. Dan seperti yang telah dibahas, berpikir hitam putih merupakan awalan untuk mengambil kesimpulan yang keliru.

Kecenderungan berpikir hitam putih ini terjadi dikarenakan kekeliruan dalam memahami filsafat. Karena filsafat sering diartikan benar dan salah, maka kehidupan pun selalu dipahami sebagai benar dan salah. Ini bukan berarti bahwa filsafat yang keliru atau kehidupan kita yang keliru. Lantas, bagaimana mencari solusinya?

Mari kita lihat penuturan Ayatullah Muhammad Baqir ash-Shadr tentang masalah ini:


adalah mungkin berdasarkan prinsip-prinsip ini (prinsip non-kontradiksi, kausalitas, dan matematis primer. Prinsip-prinsip ini merupakan pengetahuan primer yang keniscayaannya tidak mungkin dibuktikan dan yang kebenarannya tak dapat dipaparkan. Tetapi pikiran menyadari keniscayaan untuk menerimanya dan mempercayai kebenarannya. Dengan kata lain, bersifat pasti. Misalnya: 1 beda dengan 2, karena 1 hanya sama dengan 1 dan 2 hanya sama dengan 2, dimana 1 dan 2 mustahil sama), untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dalam metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam, sekalipun ilmu-ilmu alam berbeda dalam satu hal, yaitu bahwa mendapatkan pengetahuan alam dengan menerapkan prinsip-prinsip primer itu bergantung pada eksperimen, yang menyediakan kondisi-kondisi penerapan bagi manusia. Sedangkan metafisika dan matematika, penerapannya kiranya tidak membutuhkan eksperimen eksternal sama sekali. Inilah sebabnya, mengapa kebanyakan kesimpulan-kesimpulan metafisika dan matematika adalah kesimpulan-kesimpulan yang pasti, tidak seperti kesimpulan ilmiah dalam ilmu-ilmu alam.


Agak sulit menyederhanakan penggalan tulisan di atas. Dengan mengambil resiko penyederhanaan, dapat dikatakan bahwa manusia itu beda dengan pembahasan metafisika dan matematika yang bersifat pasti. Walaupun pada manusia juga berlaku kepastian – baik dan buruk atau benar dan salah – namun dalam proses menuju kepastian itu ada suatu “gerak” atau dalam bahasa saya: proses menjadi. Oleh sebab itu, melihat perilaku manusia atau realitas kehidupan manusia secara non-kontradiksi atau hitam-putih semata, akan mengakibatkan banyak distorsi dalam kehidupan.

Bagaimana menghindari agar hal tersebut tidak terjadi, atau bagaimana seseorang dapat meraih kebahagiaan. Dalam filsafat, dikenal istilah keadilan. Keadilan ini merupakan prinsip kehidupan. Keadilan dapat diartikan sebagai kesetimbangan, proporsional, kestabilan, kemantapan, dan ketenangan. Oleh karena itu, hidup yang adil adalah hidup yang mampu melihat realitas sebagaimana realitas, bukan berdasarkan kepada egoisme semata.

Mari kita lihat lagi tinjauan psikologis, yang dipaparkan oleh Dr. Albert Ellis. Menurut Ellis, salah satu hal yang membuat kita terlalu berpikir sempit terhadap kehidupan adalah budaya keharusan. Kita sering melompat dari “Saya sungguh-sungguh ingin sukses” ke “Saya sudah pasti harus sukses!”. Dari “Saya sungguh berharap Anda menyukai saya” ke “Oleh karena itu, Anda harus menyukai saya!”. Tuntutan akan “keharusan” inilah yang membuat kita tidak proporsional melihat kehidupan atau dengan kata lain, tidak berlaku adil terhadap diri sendiri.

Albert Ellis kemudian mengemukakan sebuah teori, yang dibuat atas dasar karya filsuf (bukan karya psikologi) pada tahun 1950. Teori kognitif ini dapat ringkas dengan REBT (Rational Emotive Behavior Therapy). Secara sederhana dapat dijelaskan – menurut Wayne Froggatt – dengan kalimat berikut: pilihlah bahagia. Jadi, selalulah berhubungan dengan realitas dengan mengembalikan sesuatu pada perspektifnya. Di mana, jika Anda berpikir: “Segala sesuatunya tidak beres”, cobalah untuk memilih bahagia dengan bersikap realistis. Sehingga pikiran Anda dapat diganti dengan: “Saat ini aku sedang menghadapi sejumlah masalah”. Apakah Anda mau memilih bahagia?

Wednesday, May 30, 2007

BERPIKIR SAAT INI



Aku tidak akan menukar satu jam waktu bersenang-senang dengan belajar,

tidak pula satu jam untuk belajar dengan bersenang-senang

- Nasehat Imam Khomeini kepada cucunya -

Talenta dan kelebihan hanyalah
bagaimana manusia memusatkan kepandaiannya pada satu titik.

- Anonim -

Adalah benar bahwa setiap sebab pasti memiliki akibat, setiap usaha pasti memiliki konsekuensi. Tapi, jika Anda terlalu memikirkan konsekuensi, maka yang terjadi adalah Anda tidak fokus pada apa yang Anda kerjakan saat ini. Penelitian yang dilakukan pada orang-orang yang luar biasa, ditemukan bahwa untuk menuai keberhasilan dengan tingkat kemungkinan yang tinggi, maka Anda dituntut untuk tidak memerhatikan hasil setiap kali melakukan sesuatu. Tidak memerhatikan hasil dalam setiap kali bertindak ini dimaksud untuk senantiasa mempertahankan agar tahapan penampilan berdiri sendiri dari tahapan penampilan berikutnya, dan inilah yang dimaksud dengan berpikir/fokus pada saat ini.

Saya pernah mendengar sebuah ceramah yang membicarkan tentang bagaimana melakukan shalat yang khusu’. Katanya agar lebih khusu’ dalam melakukan shalat agar fokus pada apa yang dibaca satu demi satu, fokus pada gerakan shalat satu demi satu. Awalnya saya tidak punya intrepretasi pada ceramah ini. Namun saat ini, saya menyadari bahwa memfokuskan diri pada setiap tahapan proses, bukan hanya menghilangkan pertimbangan-pertimbangan negatif yang lain, namun juga membantu kita untuk lebih berkonsentrasi dalam melakukan suatu pekerjaan. Hal ini disebabkan karena kita berpikir pada saat ini, sehingga pusat konsentrasi/fokus kita menjadi lebih kecil atau sedikit. Seperti halnya kaca pembesar yang memiliki fokus yang kecil/sedikit, maka dengan mudah akan membakar kertas yang dikenainya. Fokus/pemusatan pikiran itu ibarat dongkrak bagi fisik. Kerja dongkrak ialah memusatkan kekuatan-kekuatan pada satu titik, sehingga ketika dongkrak memberikan satu tekanan yang tepat, ia bisa mengangkat benda yang berat. Berkenan kembali dengan shalat, maka fokus kita adalah pada setiap elemen shalat dan setiap ayat-ayat yang kita baca. Melatih diri kita untuk berkonsentrasi pada setiap tahapan dan kemudian pindah ke tahapan selanjutnya jika tahapan yang sebelumnya sudah selesai.

Seperti yang sudah saya sebutkan, penelitan pada orang-orang yang luar biasa juga memiliki gaya berpikir yang demikian. Para ahli psikologi menyebut hal ini sebagai “benar-benar berfokus pada saat ini”. Jack Welch – seorang eksekutif kepala yang dihormati yang telah bekerja di General Electric selama 20 tahun – pernah berkata, “Jikalau engkau tidak bingung, engkau tidak tahu apa yang sedang terjadi.” Perkataan ini menyiratkan satu keadaan yang jelas bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Dari pada sibuk memikirkan apa yang akan terjadi, alangkah bagusnya jika kita fokus pada saat ini. Pandangan fokus seperti ini biasa juga disebut sebagai pandangan terowongan (tunnel vision), yaitu hanya melihat satu hal pada setiap keadaan yang dilalui.

Begitu banyak orang yang hidup di saat ini, tapi pikiran mereka hidup di masa lalu atau hidup di masa depan. Bagi yang hidup di masa lalu, mereka terlalu sering memikirkan penyesalan-penyesalan mereka, apa yang gagal mereka capai, kenangan manis yang ingin diulang kembali, dan sekian banyak pikiran yang justru membuat kekhwatiran terlalu banyak. Dan bagi yang hidup di masa depan, justru terlalu berfokus pada hasil yang ingin dicapai, terlalu fokus pada harapan. Mereka tidak berfokus pada apa yang akan mereka lakukan saat ini, tapi justru terlalu pusing memikirkan apa yang ingin dicapai; mereka terlalu fokus pada hasil. Dan ketika terlalu fokus pada hasil, maka yang terjadi adalah ketakutan, stres, dan berbagai macam depresi. Hal ini bukanlah dimaksudkan bahwa saya melarang Anda untuk memikirkan apa yang ingin Anda capai (hasil). Tetapi, dengan terlalu fokus pada hasil, Anda justru melupakan apa yang akan Anda kerjakan saat ini untuk mencapai hasil. Terlalu banyak memikirkan hasil, justru membuat Anda terlalu banyak menganalisis (Anda mungkin masih ingat tentang pembahasan berpikir unik sebelumnya), yang pada akhirnya akan lebih sering membuat Anda ragu menatap masa depan.

Terdapat gambaran yang sangat menarik dalam kisah nyata berikut ini yang dialami oleh Tyler Hamilton tentang kekuatan fokus:

Pada tanggal 6 Juli 2003, masih dengan 500 m lagi untuk menyelesaikan etape pertama dalam balap sepeda selama tiga minggu sejauh 3.428 km yang dikenal sebagai Tour de France, dalam peristiwa paling berat dari berbagai kejuaraan, pembalap asal Spanyol bernama José Enrique Gutierrez tergelincir ketika sedang membelok. Sepedanya tiba-tiba jatuh dan menghalangi pembalap-pembalap lainnya serta membuat 35 pembalap lainnya di belakangnya tersungkur. Tyler Hamilton, pembalap berusia 32 tahun asal AS dan kapten CSC Tiscali, tim yang disponsori oleh perusahaan peranti lunak komputer asal Denmark, melayang di atas sepedanya dengan kecepatan 48 km per jam, jatuh di trotoar pada bahu kanannya sehingga tulang selangkanya retak di dua tempat.

Satu tulang selangka yang retak sudah cukup untuk membuat atlet olahraga paling kuat sekalipun dirawat selama enam minggu. Sebagai bagian tubuh yang tidak mungkin digips, tulang selangka yang patah akan membuat penderitanya kesakitan setiap kali berjalan dan menolehkan kepala, dan sekali terbatuk kecil saja dapat membuat Anda pingsan. Tetapi keesokan harinya orang melihat Hamilton berjalan dengan hati-hati ke garis start dengan bahu diperban tebal. Sepedanya diberi tiga lapis busa untuk membuatnya tidak kesakitan selama bertanding di jalan pedesaan Prancis yang berkerikil sejauh 3.000 km. Apakah kemungkinan jatuh lagi membuatnya khawatir? Hamilton tidak memahami pertanyaan itu. Pengalaman jatuh dari sepeda tidak ada dalam otaknya. Yang ia pikirkan hanyalah jarak yang harus ia tempuh dengan sepedanya. Tim CSC Tiscali mengahdapi etape kedua, dan mereka membutuhkan kapten mereka.

Analisis balap sepeda terkejut dengan keberanian Hamilton, dan berkata ia bisa merasa kesakitan ketika melewati pegunungan dan pasti akan menyerah. Di l’Alpe d’Huez, ketika tanjakan vertikal harus dilalui, 22 pembalap mundur, tetapi Hamilton bertahan. Ketika banyak pesaingnya mundur, Hamilton yang terus membayang rekan satu negaranya, Lance Armstrong, berhasil mendahului Armstrong yang dijagokan akan meraih gelar kelima di Tour de France. Dua minggu kemudian, Hamilton memimpin lomba dalam etape sepanjang 197 km dengan jalanan menurun di Gunung Pyrenees. Hebatnya, Hamilton meraih kemenangan dalam etape itu dan menjadi etape pertama yang ia menangkan dan ia menyodok ke posisi enam.

Kritikus menuduh Hamilton pura-pura cedera untuk mengganggu mental pesaingnya, seperti ketika Lance pura-pura kelelahan pada tahun 2002 ketika berlomba di jalur pegunungan. Dokter tim CSC harus muncul di televisi Prancis – Tour de France adalah ajang olahraga yang dianggap serius di negara itu – dan menunjukkan foto roentgen yang menggambarkan bahwa tulang selangka Hamilton benar-benar retak di dua tempat dan membentuk huruf V. Hamilton terus bertanding dan meraih tempat keempat dalam Tour de France 2003, hanya dengan selisih 6 menit 17 detik di belakang sang juara, Armstrong. Juara Tour de France itu berkata bahwa inilah penampilan paling berani dalam sejarah olahraga. Hamilton tidak sedang berusaha membuat siapa pun terkesan. Sesungguhnya, ia begitu menahan rasa sakit sehingga 11 giginya harus dicabut. “Saya hanya menjalaninya hari per hari,” kata Hamilton. Selama 24 hari berturut-turut, Tyler Hamilton hanya memikirkan apa yang harus ia lakukan, yaitu membuat sepedanya melaju.

Jadi, “Apapun pekerjaan Anda, jangan repot-repot memikirkan konsekuensi dan sisi positif atau negatif dari usaha Anda. Benamkan diri Anda dalam pelaksanaan strategi yang sudah Anda ketahui,” demikian ungkap John Eliot. Atau seperti ungkapan dari Ayatullah Ja’far Subhani, “Seandainya tetes-tetes air hujan berkumpul pada satu titik, mereka akan membentuk sebuah danau. Namun sekiranya mereka bercerai berai, mereka akan meresap ke dalam perut bumi.”

Tuesday, May 29, 2007

Kesuksesan Justru Terletak di Usia Dini


Anggapan bahwa kesuksesan anak itu diukur saat ia sudah kuliah atau bekerja ternyata keliru. Awal kesuksesan justru terjadi di usia dini, terutama di usia 0-5 tahun.

"Anak sering bertanya, bermain, aktif, mau bergaul adalah tanda anak akan sukses," kata tokoh pendidikan Arief Rachman dalam seminar guru TK yang diselenggarakan oleh majalah anak Mombi di Jakarta, Selasa (20/6).

Sayangnya, belum semua orangtua menyadari hal itu. Hingga kini pemerintah pun belum sepenuhnya memberikan perhatian pada pendidikan anak usia dini. Padahal pembentukan sebuah bangsa bergantung pada pendidikan dini anak-anaknya. "Negara-negara yang jelek, bisa dipastikan pendidikan TK-nya tidak beres," kata Arief.

Selain pelayanan pendidikan pada anak usia dini belum optimal, kesibukan orangtua juga jadi salah satu penyebab tidak terpantaunya pendidikan anak- anak mereka. Orangtua juga sering tidak realistis menempatkan harapan pada anaknya tanpa melihat kemampuan si anak. Banyak orangtua yang terlalu mengikuti tren dari luar tanpa melihat kekuatan anak. Selain itu, sikap sekuler orangtua, manajemen rumah tangga yang bersifat sementara dan bukan sebuah penyelesaian mendasar, serta mendangkalnya hubungan hati anak dan orangtua menjadi kesalahan yang tak disadari dan ikut mengganggu perkembangan anak.

Salah satu efek yang paling mencolok di Indonesia adalah tingginya angka korupsi. Menurut aktivis Unicef ini, korupsi terjadi karena sejak kecil anak disuguhi penyalahgunaan tata krama. "Korupsi adalah pelanggaran etika, bukan pelanggaran logika. Korupsi juga tidak melanggar estetika," kata Arief. Maka, pendidikan etika dan estetika sangat penting sejak bayi. (WSI)


Sumber: KOMPAS

KUALITAS DIRI BERBANDING LURUS DENGAN PELAYANAN


Di musim panas banyak orang yang mencari tempat berteduh. Dan tempat berteduh yang alami, adalah di bawah sebuah pohon. Semakin besar pohon tersebut, maka semakin terasa enak kita berteduh. Lain halnya dengan pohon yang gersang, walaupun membawa keteduhan, namun tidak memberikan kenyamanan yang berarti kepada kita dalam menikmati kesejukan ketika berteduh di bawahnya.

Aha! Coba kembali Anda pikirkan! Semakin besar pohon tersebut, maka semakin banyak kesejukan yang diberikan. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil/gersang pohon tersebut, maka kesejukan yang diberikan tidaklah terlalu berarti bagi kita. Dengan kata lain, peningkatan kualitas diri akan memberikan “efek pelayanan” yang berbeda pula kepada orang lain.

Sunday, May 27, 2007

AMALAN UNTUK KELAPANGAN REJEKI DAN MENGATASI KESULITAN

Terdapat ayat yang diberkahi di bawah ini:

Wa man yattaqillaaha yaj ‘allahu makhrajaa, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib, waman yatawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuh, innallaaha baalighu amrihi qad ja ‘alallaahu likulli syai’in qadraa.

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS 65:2-3).

Bacalah ayat ini setiap hari selasa; sebelumnya bacalah shalawat kepada Nabi Muhammad saw 3 kali, dan setelahnya baca pula shalawat 3 kali.

Al-Syirwani menyebutkan cara lain dalam mengamalkan ayat di atas. Amalannya: Mulai pada hari Kamis, atau Jumat, atau Senin, berwudhulah sebelum membaca ayat ini. Shalatlah 2 rakaat dan bershalawatlah kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya, 100 kali. Selanjutnya bacalah ayat tadi sebanyak 159 kali. Begitu seterusnya sampai 40 hari berturut-turut. Pada hari terakhir, bacalah ayat tadi 188 kali. Lakukan semua ini ba’da shalat shubuh.

Sebagian ulama menganjurkan: Sebaiknya amalan ini dilakukan di tempat yang sepi dari kesibukan, pendoa tidak perlu bicara kepada siapa pun, tidak menoleh ke belakang. Pada akhir amalan, yakni setelah 40 hari, baca juga shalawat kepada Nabi Muhammad saw dan keluarga sucinya sebanyak 100 kali.

Anda bisa memilih amalan mana yang paling sesuai dengan Anda.

SELAMAT MENCOBA,

SEMOGA BERMANFAAT!!!

DOA

Kalau kita memiliki masalah, maka salah satu cara paling efektif yang diajarkan oleh James Pannebaker adalah teknik Opening Up. Teknik ini secara sederhana mengajarkan kepada kita, bagaimana menumpahkan seluruh keluh kesah di dalam diri. Apakah ingin ditumpahkan lewat tulisan atau menyampaikan secara langsung kepada orang yang dipercaya.

Kenapa menumpahkan keluh kesah itu penting? Apapun masalah yang kita hadapi, perasaan yang kita rasakan adalah begitu beratnya beban-beban di hati ini. Beratnya beban hati seiring pula dengan tingkat kesulitan masalah yang kita hadapi.

Adalah hal yang paling menarik dari kebanyakan manusia, ketika menghadapi masalah? Kebanyakan manusia merasa paling bisa menyelesaikan masalah itu sendiri. Atau paling banter kalau ada satu, dua, orang yang ikut membantu. Dan biasanya masalah yang dihadapi, kalau tidak selesai, maka akan segera dilupakan atau dicuekin. “Nantilah kalau muncul masalah baru lagi, akan terselesaikan dengan sendirinya”, begitulah batin kebanyakan orang.

Dan ternyata, apa yang terjadi? Karena kita kebanyakan merasa paling bisa menyelesaikan masalah itu sendiri, kita terkadang lupa untuk mengukur tingkat kemampuan kita dalam menyelesaikan masalah. Dan kalau tidak selesai, ya itu tadi, akan dicoba untuk dilupakan atau dicuekin dengan dalih yang paling sering dipakai – sebagai upaya pembenaran diri – yah, kita pasrah saja, mungkin ini kehendak Tuhan. Coba lihat, secara tidak langsung kita mengkambing-hitamkan Tuhan dalam masalah kita. Mungkin kita akan berkata, “Ah, tidak kok. Saya tidak mengkambing-hitamkan Tuhan. Ini kan, kehendak-Nya. Apa sih yang terjadi yang bukan kehendak-Nya”.

Mungkin kata-kata kita di atas, ada benarnya juga. Namun, bukankah kita akan “melupakan” Tuhan dikala kita merasa bahwa kita yang paling bisa menyelesaikan masalah. Nanti setelah masalah itu tidak terselesaikan juga, baru kita serahkan masalah tersebut kepada Tuhan. Bahkan yang paling parah, dikala kita menyerahkan masalah tersebut kepada Tuhan, masih ada sebersit “harapan” agar masalah itu selesai. Walaupun kita mengatakan bahwa kita telah pasrah. Dan kalau “harapan” kita itu ternyata tidak terjadi, maka kemarahan kita akan meledak dan mengatakan, “Takdir memang kejam. Tuhan tidak menyayangi diriku”!

Ada juga sih orang yang langsung “melompat”. Begitu masalah itu tidak selesai, maka secara terang-terangan menyalahkan Tuhan. Dia tidak mencoba untuk pasrah terlebih dahulu. Namun, ada juga orang yang mencoba untuk betul-betul “pasrah”. Kenapa kata pasrah barusan diberi tanda petik. Karena kepasrahan ini bukanlah kepasrahan total kepada kehendak Tuhan. Hanya dalam bentuk kalimat berikut, “Mau di apa. Sudah tidak yang mampu saya lakukan”? Jadi kepasrahan ini terjadi, karena merasa tidak mampu lagi untuk melakukan apa-apa dalam menyelesaikan masalah.

Selain teknik opening up via tulisan atau via teman curhat. Ternyata ada sebuah teknik opening up yang sangat efektif. Yaitu kita melakukan “curhat” – bahasa yang lebih agamis adalah doa – kepada Sang Maha Penyayang dan Maha Berkehendak. Kenapa saya menulis kata Maha Penyayang lebih dahulu baru Maha Berkehendak? Menurut saya, apapun yang terjadi atas kehendak-Nya pastilah dilandasi atas Maha Penyayang-Nya yang luar biasa. Bahkan, begitu sayang Allah kepada kita, sehingga apa yang terjadi atas sunnah-Nya tak dapat kita ketahui dengan segera, atau mungkin tidak kita ketahui hingga ajal menjemput kita.

Mungkin cara yang paling baik untuk menyederhanakan penjelasan ini adalah orang tua. Kita terkadang tidak mampu mengetahui bahwa orang tua sangat menyayangi kita. Sehingga “kehendak-kehendak” mereka sering kita salah pahami sebagai sesuatu yang kejam/masalah bagi kita. Namun, coba lihat kalau kita sendiri telah menjadi orang tua. Maka, baru kita mengerti bahwa memang orang tua kita sangat menyayangi kita, sehingga mereka selalu mengkehendaki saya seperti ini! Hal ini bukan berarti bahwa seluruh kehendak orang tua betul-betul bernilai benar, walaupun dilandasi dengan kasih sayang. Karena, tidak ada ketaatan kepada orang tua, jika itu adalah sebuah kesalahan.

Nah, “curhat” yang paling efektif itu adalah kepada Allah swt. Atau siapapun Tuhan yang Anda yakini.

Friday, May 25, 2007

MEMBERI DAN MENERIMA

Salah seorang teman Nasrudin Hoja suka sekali mengumpulkan uang. Ia cepat menjadi kaya, namun memiliki sifat kurang terpuji yaitu kikir.

Suatu hari si kikir bepergian dengan teman-temannya, termasuk Nasrudin. Tatkala melewati tepian sungai, si kikir terpeleset dan jatuh tercebur. Semua temannya berlarian untuk menolong, seorang diantaranya membungkuk sambil mengulurkan tangan “Ayo, berikan tanganmu. Nanti engkau kutarik ke atas”. Si kikir diam saja, ia tak mau mengulurkan tangannya untuk ditolong.

Seorang temannya yang lain melakukan hal serupa, dan si kikir tetap saja tidak mau memberikan tangannya untuk ditolong.

Kini giliran Nasrudin datang, ia membungkuk ke tepian sungai “Terimalah tanganku ini kawan, aku akan mengangkatmu naik ke atas sungai”. Kali ini si kikir bergegas mengulurkan tangannya. Ia diangkat dari sungai dengan keadaan kuyup.

Teman-temannya bingung melihat ulah Nasrudin. “Ah, kalian seperti tak mengerti watak teman kita ini,” kata Nasrudin sambil tersenyum.

Jika kalian berkata ‘Berikan!’ kepadanya, pasti ia akan diam dan tak mau mengulurkan tangannya. Coba kalian berkata ‘Terimalah wahai kawanku!’, pasti ia akan segera mengulurkan tangannya. Apa kalian semua lupa ia kan sangat kikir.”

Si kikir dengan muka cemberut bergegas pergi meninggalkan Nasrudin dan teman-temannya.

Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan oleh Jalaluddin Rakhmat

ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulang kali ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta.

"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."

Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."

Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."

"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."

"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."

Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."

Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:

Jika kau ingin derita

benar-benar hilang dari hidupmu

Berjuanglah untuk melepaskan

'kebijakan' dari kepalamu

Kebijakan yang lahir dari tabiat insani

tak menarik kamu lebih dari khayalan

Karena kebijakan itu tidak diberkati

yang mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya

Pengetahuan tentang dunia

hanya memberikan dugaan dan keraguan

Pengetahuan tentang Dia, kebijakan ruhani sejati

membuatmu naik keatas duniawi

Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan

semua pengorbanan diri dan kerendahan hati

Mereka sembunyikan hati

dalam kecerdikan dan permainan bahasa

Raja sejati adalah dia

yang menguasai pikirannya

Bukan dia yang pikirannya

Menguasai dunia dan dirinya

Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang didefinisikan.

Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.

Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.

Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:

Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah, seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk yang datang di antara mereka 'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada keimanan dan lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu pada waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan mengulangi la ilaha illa Allah (tahlil) atau tasbih dan takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu apa yang Dia inginkan berupa pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu (lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang Dia. Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.

Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:

Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat permulaan. Karena itu, hanya orang yang berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih untuk memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk kembali, dan menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini, aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan menolak-Nya, karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli), mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa pun dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q., s. al-A'raf/7:143).

Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya tulisan orang lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.

Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan, merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan tidak ada batasnya.

Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung ini.

Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam Hijriyah:

Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w. Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali yang disayangi oleh Yang Pengasih dari segala yang mengasihi.

Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada pada jalan yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari Allah Ta'ala dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil mereka.

Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.

Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q., s. Yusuf/12:77).

Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).

Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kota mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.

Thursday, May 24, 2007

FAKTOR KEBERUNTUNGAN

Kalau seorang pria sial menjual payung, hujan pasti berhenti; kalau ia menjual lilin, matahari pasti tak pernah terbenam; dan kalau ia membuat peti mati, orang-orang pasti berhenti mati

- Peribahasa Yiddi -

Lemparkanlah seorang pria beruntung ke dalam laut dan ia akan muncul dari permukaan dengan seekor ikan di mulutnya

- Peribahasa Arab -


Mengapa sebagian orang menjalani hidup yang bahagia dan sukses, sementara sebagian yang lain menghadapi kegagalan?

Mengapa sebagian orang menemukan pasangan sempurna, sementara sebagian yang lain terhuyung-huyung dari satu hubungan gagal ke hubungan gagal lainnya?

Apa yang memampukan sebagian orang memiliki karir sukses, sementara sebagian yang lain mendapati diri mereka terperangkap dalam pekerjaan yang tidak mereka sukai?

Bisakah orang-orang sial melakukan sesuatu untuk mengembangkan keberuntungan mereka, dan kehidupan mereka?

Jawaban untuk pertanyaan terakhir di atas adalah YA. Selama sepuluh tahun Dr. Richard Wiseman telah meneliti ribuan orang-orang beruntung dan sial. Dari hasil penelitiannya, telah ditemukan formula untuk menjadi beruntung. Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah formula ini dicoba diterapkan oleh orang-orang yang sial. Dan ternyata, secara signifikan, orang-orang sial tersebut telah menjadi orang-orang yang beruntung.

Menurut Wiseman, terdapat 4 prinsip dasar untuk mendapatkan keberuntungan. Apa saja ke-empat prinsip tersebut:


  1. Menciptakan, menyadari, dan bertindak sesuai peluang kebetulan dalam hidup Anda.

Jangan meremehkan hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup Anda. Banyak orang mengira bahwa untuk mendapatkan hasil yang besar, seseorang harus melakukan hal yang besar pula. TIDAK. Sekali lagi TIDAK. Pertama, karena adanya waktu, maka adalah mustahil jika semua tindakan itu dapat dilakukan hanya dalam satu waktu saja. Kedua, dari hal pertama, maka niscaya yang dapat kita lakukan hanyalah hal-hal kecil dari satu rentang waktu ke rentang waktu yang lain. Jadi, apa yang membedakannya. Yang membedakannya adalah banyak yang mengira sebuah kesuksesan itu hanya terjadi dalam satu perbuatan besar dalam waktu semalam. Kebanyakan orang tidak membuka mata dan menyadari setiap peluang dalam setiap perbuatan-perbuatan kecil yang mereka lakukan atau dalam setiap peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi dalam kehidupan mereka.

Suatu hari saya pernah menggendong anak saya, Zaky Ruzbihan yang berumur 1 tahun 10 bulan, dan berjalan melewati hamparan sawah yang padinya mulai menguning. Terus, saya berkata kepada anak saya, “Zaky! Lihat, itu padi!” Anak saya kemudian berkata, “Mana? Mana?” Saya kemudian berkata sambil menunjuk ke arah hamparan padi, “Itu, sana. Coba lihat!” Tapi anak saya tetap berkata, “Mana? Mana?” Mengapa anak saya tetap berkata demikian, karena dalam pikirannya ia belum memahami yang mana disebut padi. Dia hanya belum menyadarinya, bahwa apa yang dilihat di depan matanya itulah yang disebut padi. Dan begitu banyak orang yang tidak melihat dan menyadari peluang dalam setiap peristiwa-peristiwa kecil.

Ingat!!! Suatu sebab sempurna membutuhkan sekian syarat-syarat, dan dalam memenuhi semua syarat, Anda membutuhkan perjalanan waktu dan perbuatan-perbuatan kecil. Bertindaklah, bertindaklah, bertindaklah!!! Lihatlah aspek positif dari sebuah peristiwa, bergaullah, sadarilah sebanyak mungkin peluang, terbukalah dengan semua perubahan yang terjadi. Ingatlah satu prinsip sederhana ini: PELUANG SAMA, KEHIDUPAN BERBEDA.

  1. Ambillah keputusan sukses dengan menggunakan intuisi dan insting Anda.

Henri Poincare, ilmuwan dan penulis Perancis, pernah berkata, “Dengan ilmu pengetahuan kita membuktikan, namun dengan intuisilah kita menemukan.” Saya tidak akan menjelaskan bagaimana intuisi itu di sini, tapi penting bagi Anda untuk menyadari hal penting, yaitu: dengarkan intuisi Anda dalam bidang apapun di kehidupan Anda. Seperti yang terucap oleh Ricardo R. Bellino, seorang pengusaha Brasil yang berhasilkan meyakinkan Donald Trump hanya dalam waktu tiga menit untuk mau berinvestasi di Brasil, “Intuisi takkan berhenti berbicara pada kita; kitalah yang berhenti mendengarkannya.” Dan Anda tahu, dalam penelitian Wiseman, orang-orang yang beruntung cenderung mendengarkan intuisi mereka.

  1. Harapan tentang masa depan membantu Anda memenuhi impian dan ambisi Anda.

Banyak orang yang begitu percaya diri bahwa mereka kemungkinan besar akan gagal dalam masa depan mereka, bahwa masa depan mereka begitu suram. Yang lebih aneh lagi, hal tersebut bukan hanya sekedar prediksi, tapi kepercayaan yang mereka yakini. Dalam penelitian Wiseman, orang-orang yang beruntung justru berpikir sebaliknya: mereka percaya bahwa mereka akan lebih baik di masa yang akan datang, mereka percaya akan nasib baik yang akan menunggu mereka.

Orang yang beruntung dan sial sama-sama memiliki impian dan ambisi, tetapi orang beruntung lebih percaya akan keberhasilan impian mereka; sedangkan orang yang sial sebaliknya: mereka tidak begitu mempercayai bahwa impian mereka akan terwujud. Orang beruntung optimis, sedangkan orang sial sering pesimis. Harapan – positif ataupun negatif – akan mempengaruhi reaksi Anda saat ini. Dan coba dengarkan apa yang dikatakan dalam buku The Secret berikut ini: Ciptakan hari Anda terlebih dulu dengan memikirkan wujud peristiwa yang Anda inginkan, maka Anda akan menciptakan hidup Anda dengan sengaja. Hal senada juga diungkapkan oleh Bob Proctor, “Hasrat menghubungkan Anda dengan sesuatu yang Anda hasratkan dan harapan menariknya ke dalam hidup Anda.” Dengan demikian, sekecil apapun sebuah peluang Anda, ketika Anda memiliki harapan yang baik, maka Anda akan menghadapinya walau di landa hambatan sekalipun.

  1. Ubahlah persepsi Anda, ambil hikmah dari setiap kejadian, hindari berlarut-larut dalam kesedihan, dan antisipasilah setiap peristiwa yang akan datang.

Setiap peristiwa menuntut kita untuk menafsirkannya. Setiap tafsiran yang kita berikan akan membentuk perilaku dan kehidupan kita selanjutnya. Jika Anda memandang sebuah peristiwa dengan negatif, maka Anda tidak akan pernah tahu hikmah dibalik peristiwa tersebut. Mengapa? Karena Anda menghabiskan diri Anda untuk menyalahkan. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Anda akan cenderung larut dalam kesedihan dan penderitaan yang mendalam; dan hal ini akan membuat Anda semakin bingung menghadapi masa depan.

Tapi cobalah untuk membalikkan situasi ini! Ketika Anda menafsirkan sebuah peristiwa dengan positif, maka Anda akan cenderung melihat hikmah dibalik sebuah peristiwa; Anda akan memiliki semangat baru untuk keluar dari lingkaran kepedihan tersebut; dan ini akan menjadi langkah kreatif bagi Anda dalam menapak masa depan.

Cobalah!!! SEMOGA BERUNTUNG!

FAITH THE BIPED DOG







Cobalah Anda perhatikan gambar-gambar di atas. Gambar di atas adalah seekor anjing yang bernama FAITH. Faith terlahir dalam keadaan cacat, dengan hanya memiliki kedua kaki belakang saja. Faith ditemukan oleh seorang anak bernama Reuben, yang kemudian membawa pulang anjing tersebut. Reuben sekeluarga kemudian merawat Faith dan percaya bahwa Faith dapat dilatih untuk berdiri di atas kedua kakinya yang tersisa, seperti layaknya manusia. Banyak dokter hewan yang menganjurkan mereka untuk membunuh Faith, karena menurut para dokter, Faith akan tersiksa dengan menyeret punggungnya, karena tidak memiliki kedua kaki depan. Hal ini, menurut para dokter, akan membuat Faith meninggal dalam waktu yang tidak lama.
Namun, Reuben sekeluarga percaya dan kokoh memegang keyakinan mereka. Mereka memberikan kasih sayang dan mengajari Faith. Dan hasilnya…
Seperti yang Anda lihat di atas, Faith begitu gembira dan mampu berjalan di atas kedua kaki belakangnya.

Jika Faith memiliki KEYAKINAN UNTUK BISA, maka Anda pun JUGA BISA

Untuk mengetahui lebih banyak tentang Faith, Anda dapat mengklik di sini.

5 Action Miracle



Ini ada tips untuk menarik apapun yang Anda inginkan dari Joe Vitale. Anda bisa melihatnya pada gambar di atas. Semoga bermanfaat!

Wednesday, May 23, 2007

KEBAHAGIAAN MENDATANGKAN KESUKSESAN

Cukup lama saya memiliki buku The One Minute Millionaire. Awalnya saya diperlihatkan oleh teman saya yang membeli buku tersebut lewat Amazon.com. Tidak berapa lama setelah kejadian itu, saya menemukan versi terjemahannya, dan langsung saya beli (karena telah dipromosi habis-habisan oleh teman saya waktu itu). Saya membacanya sampai habis, bahkan membaca pula kisah tentang Michelle hingga tuntas (karena buku ini jenis buku hibrid). Motivasi awal saya membaca buku ini karena ingin menjadi jutawan. Saya ingin menjadi pengusaha.

Lama juga waktu berlalu, terhitung sejak saya membaca buku ini. Saat ini saya menggeluti dunia training dengan fokus saya pada pengembangan diri dan teknik belajar. Pada aspek pengembangan diri, saya akhirnya sampai pada teknik meraih kebahagiaan. Nah, pada suatu ketika saya diundang berbicara oleh beberapa mahasiswa di UNHAS. Waktu itu saya berbicara pada sebuah forum yang diberi nama Forum Kajian Pesisir, yang dibuat oleh beberapa mahasiswa perikanan.

Saat itu, tema yang akan dibicarakan adalah tentang pengembangan potensi diri. Dan, judul materi saya waktu itu adalah: Pentingnya Menjadi Bahagia. Ketika sampai pada beberapa slide, lampu padam. Ternyata di tempat itu lagi kena giliran pemadam listrik. Hal ini mengakibatkan saya tetap membawa materi, dan tidak lagi mengacu pada slide presentasi. Dan ini menyebabkan saya melupakan menjelaskan beberapa slide yang belum dibahas.

Ketika sampai pada sesi tanya jawab inilah yang menarik perhatian saya. Seorang peserta bertanya dengan sedikit mengungkapkan kekecewaannya terhadap saya. Lho, kenapa bisa kecewa? Ternyata, menurut bayangan peserta tadi, saya akan berbicara tentang motivasi atau teknik-teknik mengembangkan potensi diri, yang berujung pada pencapaian kesuksesan. Namun, kenyataannya (menurut dia), saya hanya berbicara tentang kebahagiaan saja. Dan ini bukan teknik mengembangkan potensi diri, bahkan tidak berhubungan dengan pencapaian kesuksesan.

Saat itu saya baru teringat akan beberapa isi slide yang tidak saya bahas, akibat mati lampu tadi, yang membuat saya lupa membahasnya. Salah satu isi slide itu tertulis hasil penelitian ilmiah tentang hubungan antara kesuksesan dalam pekerjaan dan belajar dengan kebahagiaan. Artinya, semakin bahagia seseorang, maka semakin mudah ia untuk meraih kesuksesan dalam pekerjaan dan belajar. Jadi jawaban saya kala itu, “Daripada kita mencari cara untuk mengembangkan potensi diri dalam meraih kesuksesan (yang belum tentu kita bahagia ketika meraih kesuksesan tersebut), lebih baik kita mengembangkan potensi diri dengan mencari makna hidup, yang akan membuat kita bahagia dan memudahkan kita dalam meraih kesuksesan pula”.

Peristiwa di UNHAS itu cukup lama berlalu. Dan, saat ini saya semakin menyadari pentingnya meraih kebahagiaan. Terlebih lagi, ketika saya membuka-buka kembali buku The One Minute Millionaire. Buku ini diawali dengan membahas prinsip-prinsip utama yang mendatangkan kekayaan. Mark dan Robert (penulis buku ini) menyebutnya dengan AHA-nya Jutawan. Semua prinsip ini berfokus pada perubahan diri. Saya akan mengutip kata mereka mengenai prinsip-prinsip tersebut:

Prinsip-prinsip adalah model-model yang sederhana tetapi ampuh, yang membantu kita memahami cara kerja dunia. Prinsip-prinsip mendatangkan hasil yang sama setiap kalinya – entah dimana, kapan, atau siapa yang menggunakannya. Prinsip-prinsip itu efektif kalau Anda menggunakannya. Katakanlah dengan suara keras: “Saya temukan prinsip-prinsip yang efektif dan saya terapkan. Saya selamanya mempelajari prinsip-prinsip baru yang saling mengakomodasikan apa yang sudah saya ketahui, demi kebaikan kehidupan saya sendiri maupun dunia saya. Sementara prinsip-prinsip itu terungkap bagi saya, saya mencatatnya dengan gembira, menggunakannya, dan membagikannya. Jelaslah bahwa prinsip-prinsip itulah cara tercepat menuju apa yang saya inginkan”. … Kami percaya bahwa ada setidaknya 24 prinsip kekayaan yang dicerahkan.

Anda tahu, semua prinsip tersebut mengarah pada mengubah paradigma kita terlebih dahulu. Sebuah cara untuk mengubah diri kita terlebih dahulu. Dan ajaibnya, cara itu pula yang dipakai untuk meraih kebahagiaan. Hal ini berarti, seiring dengan kita mengubah perilaku kita untuk meraih kebahagiaan, kita pun dapat meraih kesuksesan dalam hidup. SELAMAT MENCOBA!

The Power of Focus

Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang ulang.

Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan,

melainkan sebuah kebiasaan.

- Aristoteles -

Kebiasaan bahagia itu memungkinkan seseorang

untuk sering-sering terbebas dari dominasi kondisi-kondisi eksternal.

- Robert Louis Stevenson -

Terry Fox adalah seorang atlet Kanada yang luar biasa, masuk olahraga professional saat paha kanannya mulai bermasalah. Ketika dokter memeriksa kaki Terry, mereka menemukan adanya kanker yang sedang menggerogoti pahanya. Ketika kembali ke ruang konsultasi, dokter berkata, “Terry, dengan menyesal saya harus memberitahu Anda, kankernya sudah menyebar di seluruh kaki kanan Anda. Kami harus mengamputasinya hari ini juga. Dan karena usia Anda di atas dua puluh satu tahun, Anda harus menandatangani sendiri persetujuan operasinya.”

Terry menguatkan hati, menandatangani surat persetujuan, dan berusaha untuk tabah menjalaninya. Ketika sedang menjalani pemeriksaan di rumah sakit, dia teringat satu nasehat penuh makna dari pelatihnya di SMU dahulu, yaitu, “Terry, kau bisa melakukan apa saja yang kau mau asalkan kau melakukannya dengan sepenuh hati.”

Dia memutuskan apa yang menjadi keinginannya, yaitu berlari melintasi Kanada, mengumpulkan uang sebesar $ 100.000 untuk penelitian kanker, supaya tidak ada lagi anak muda lain yang menderita kesakitan, kesedihan, malapetaka, dan kesengsaraan seperti yang dirasakannya.

Dia memilih untuk tidak lagi menggunakan kursi roda, tetapi beralih ke kaki palsu, dan mulai mencoba berjalan. Kekuatan dan semangatnya semakin bertambah.

Terry ingin menamai kegiatan yang akan dilakukannya: Maraton Harapan Terry Fox. Dia memberitahukan hal itu kepada orangtuanya, tetapi mereka berkata, “Dengar Nak, rencanamu memang mulia, namun kami baru saja berhasil mengumpulkan cukup uang. Dengan uang itu, kami ingin kau kembali ke bangku kuliah dan berbuat sesuatu yang nyata, dan lupakan gagasan aneh yang tidak masuk akal itu.”

Dalam perjalanan ke sekolah, Terry singgah di Perhimpunan Kanker, dan menceritakan niatnya. Mereka berkata, “Kami rasa, Anda benar. Itu suatu gagasan mulia, namun kami tidak akan melakukannya sekarang. Datanglah lagi menemui kami di sini pada lain waktu.”

Terry meyakinkan teman sekamarnya di tempat kuliah untuk bersama-sama berhenti sekolah. Mereka terbang ke pantai timur Kanada. Terry membuang tongkat penyanggahnya di Samudra Atlantik dan hari itu juga mereka mulai berlari melintasi Kanada.

Ketika memasuki wilayah Kanada berbahasa Inggris, dengan segera kisahnya menggemparkan halaman-halaman muka media massa. Kita bisa melihat darah menetes di kaki palsunya, mukanya meringis kesakitan, namun Terry terus melaju.

Terry menemui Perdana Menteri, yang belum sempat membaca riwayat hidup Terry sehingga berkata, “Maaf ya, Anda ini siapa?” dan Terry menjawab, “Nama saya Terry Fox, dan saya sedang melakukan lari Maraton Harapan. Harapan saya adalah bisa mengumpulkan seratus ribu dolar – dan itu telah kami dapatkan kemarin. Saya pikir dengan bantuan Bapak Perdana Menteri, kami bisa mengumpulkan sampai satu juta dolar.”

Itulah awal mulanya kita mulai melihat Terry di layar kaca Amerika. Real People datang ke Kanada dan membuat film tentang Terry. Dan sementara mereka membawa Terry meluncur melintasi gelanggang hoki es, mereka mengumpulkan berember-ember uang di tribun.

Terry terus melaju dengan berani dan penuh semangat sepanjang lima puluh kilometer per hari – lebih panjang daripada marathon Boston setiap harinya. Ketika sampai di teluk Guntur, Ontario, dia mengalami masalah serius dengan sistem pernapasannya.

Di kota kecil berikutnya, dokter berkata, “Terry, Anda harus berhenti, cukup sampai di sini saja.” Terry menjawab, “Dok, Anda tidak tahu dengan siapa Anda sedang bicara. Sejak awal, orangtua saya mengusir saya secara halus. Pemerintahan propinsi mengatakan kepada saya bahwa saya hanya menghalangi jalan, saya harus menghentikannya. Perhimpunan Kanker tidak mau membantu saya. Saya memutuskan untuk mengumpulkan seratus ribu dolar. Saya berhasil. Saya naikkan menjadi sejuta dolar; tiga hari yang lalu kami dapat sejuta. Ketika saya meninggalkan kantor Anda, saya akan mengumpulkan satu dolar dari setiap penduduk Kanada, 24,1 juta dolar.”

Dokter berkata, “Dengarlah Nak, saya juga berharap Anda bisa melakukannya, tetapi kenyataannya, kanker dalam tubuh Anda sudah menyebar sampai ke dada. Paling lama, usia Anda kemungkinan besar hanya tinggal enam atau delapan jam lagi. Pesawat jet milik Angkatan Udara sudah disiapkan untuk Anda karena semua orang di negeri ini mendukung Anda. Demi Anda, kami sudah melupakan dahulu prosedur dan birokrasi daerah. Anda sudah menjadi pahlawan Nasional. Sudah selayaknya Anda diperlakukan amat khusus. Kami akan menerbangkan Anda kembali ke British Columbia dan kami sudah memanggil orangtua Anda. Mereka akan berada di sana setibanya kita nanti.”

Sebagian dari kita masih ingat, lewat berita malam kita menyaksikan saat-saat para dokter mendorong Terry memasuki ruang gawat darurat. Seorang jurnalis berusia sembilan belas tahun, yang begitu antusias agar bisa merekam kejadian itu, memaksa masuk ke ruang gawat darurat mengikuti Terry di atas dipan lengkap dengan mikrofon dan kameranya, dan bertanya, “Terry, apa yang akan Anda lakukan setelah ini?”

Sambil menatap kamera, Terry bersikap sebagai seorang professional hingga di akhir hayatnya. Dia menjawab, “Anda mau menyelesaikan lari saya? Anda mau menyelesaikan lari saya? Anda mau menyelesaikan lari saya?”

Seperti yang kita ketahui, Terry akhirnya meninggal tidak lama kemudian. Pada 24 Desember tahun itu, jutaan orang telah memberikan sumbangan sehingga terkumpul $ 24,1 juta (atau $ 1 per setiap orang Kanada). Itulah yang Terry cita-citakan.

Apakah Anda Telah Fokus?

Kisah nyata ini saya dapatkan dari buku yang ditulis oleh seorang penulis best-seller Mark Victor Hansen. Kisah ini sangat menggugah hati saya. Dan di dalam hati saya berkata, “Kok, orang ini (Terry Fox) bisa melakukan yang sedemikian hebat dan berarti bagi dirinya dan orang lain, padahal dia mengalami cacat jasmani.” Apa yang membuat dia bisa bertahan melewati sekian banyak rintangan dan tak pernah menyerah hingga akhir hayatnya? Jawaban yang telah saya dapatkan, karena ia memiliki dua hal, yaitu pertama, mengetahui tujuan yang jelas dan keinginan yang kuat untuk menggapainya, dan kedua, ia fokus pada tujuan yang akan diraihnya.

Kita telah membahas “tujuan” pada pertemuan dan makalah sebelumnya. Sekarang kita akan membahas mengenai kekuatan dari fokus.

Kata focus (Inggris) dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai terang atau jelas. Arti lainnya adalah memusatkan perhatian. Kalau Anda ingin memotret seseorang dengan menggunakan kamera berlensa manual (bukan autofocus), maka Anda harus mengatur fokus lensa tersebut agar gambar yang ingin Anda potret menjadi jelas dan tidak kabur. Sehingga hasil pemotretan Anda menjadi terang dan jelas.

Begitu pula dengan hidup ini. Kebanyakan orang tidak melihat dengan jelas kemana tujuannya (tidak mengatur fokus lensanya). Atau kalau sudah terlihat dengan jelas kemana tujuannya, maka akan mengalami pengaburan pada apa yang akan dilakukan. Dalam bahasa sehari-hari, ‘saya tahu saya mau kemana (inginkan), tapi saya tidak tahu (bingung) apa yang harus saya lakukan’. Jadi, kemana saya dan Anda harus memusatkan perhatian, agar dapat meraih yang dituju? Atau, kemana “pandangan” saya dan Anda harus diarahkan, agar pekerjaan kita menjadi jelas?

Jack Canfield dan Mark Victor Hansen adalah penulis buku best-seller Chicken Soup for the Soul. Keduanya juga telah lama sebagai pembicara terkenal dalam seminar-seminar pengembangan diri. Les Hewitt adalah seorang pelatih kinerja dan pendiri Achievers Coaching Program. Ketiganya selama tiga tahun telah merampungkan sebuah buku yang berjudul The Power of Focus. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman mereka sendiri, dan berbagai masukan dari orang-orang sukses dan para peserta yang telah mengikuti seminar-seminar mereka.

Saya ingin mengambil pokok-pokok pikiran dari mereka, agar arah fokus kita menjadi jelas (semoga). Jadi kemana kita harus fokus?

Terdapat 10 titik fokus yang harus diperhatikan:

  1. Fokus pada kebiasaan-kebiasaan Anda
  2. Fokus pada kekuatan-kekuatan Anda
  3. Fokus pada tujuan
  4. Fokus pada penciptaan keseimbangan hidup
  5. Fokus pada membangun hubungan
  6. Fokus pada keimanan atau keyakinan
  7. Fokus pada apa yang ingin Anda minta
  8. Fokus pada konsistensi kerja
  9. Fokus pada keputusan hidup yang tepat, dan
  10. Fokus pada tujuan hidup kembali (sebuah evaluasi diri)

Mengingat ruang yang sangat terbatas pada makalah ini, maka saya tidak akan menjelaskan secara terperinci ke-10 titik fokus tersebut (alasan yang dikemukakan), disamping pengetahuan saya yang sangat terbatas (alasan yang sebenarnya).

Sebagai penutup, saya ingin mengutipkan kepada Anda sebuah dialog yang terjadi antara Adi W. Gunawan – trainer Accelerated Learning – dengan seorang Ibu yang mengikuti lokakaryanya.

Ibu ini menceritakan keadaan anaknya yang duduk di kelas 4 SD. Anak ini pandai memainkan piano. Karena permainannya dirasa cukup baik, oleh kedua orangtuanya anak ini hendak diikutsertakan dalam lomba. Ternyata anaknya menolak untuk ikut. Dengan segala bujuk rayu anak itu tetap tidak mau. Ibu itu bertanya mengapa ini bisa terjadi dan apa yang harus mereka lakukan sebagai orangtua.

Yang pertama saya tanyakan adalah, “Anak Ibu ini di kelas ranking ya?”

“Lho, Bapak kok tahu?” balas si ibu.

“Kalau memang benar di kelas ranking, maka saya tahu alasannya mengapa anak Ibu tidak mau ikut lomba,” jawab saya.

“Lalu apa sebabnya, Pak? Tanya ibu itu lagi.

Ternyata, sesuai dengan analisis saya, kedua orangtua anak ini termasuk orangtua yang menuntut anak untuk selalu ranking atau juara kelas. Telah ditanamkan dalam pikiran anak ini sejak masih kecil bahwa dia harus bisa juara. Untuk menjadi juara tentunya nilainya harus baik. Nilai baik berarti tidak boleh membuat kesalahan. Dan dia hanya akan menjadi juara dengan mengalahkan teman-temannya yang lain. Kalau sampai nilainya kalah dibandingkan dengan temannya maka dia akan gagal.

Coba Anda bayangkan pola pikir yang ditanamkan orangtua tersebut pada anaknya. Dan biasanya, pola pikir ini akan terus merembes dalam kehidupan sang anak selanjutnya. Pola pikir apakah itu? Pola pikir yang berpandangan bahwa membuat kesalahan adalah hal yang jelek. Sehingga kebanyakan orang menghindar untuk berbuat salah. Padahal kesalahan adalah suatu pelajaran untuk memahami apa arti kebaikan. Dan dalam setiap upaya untuk selalu fokus, akan ada saja kesalahan yang kita buat. Namun kesalahan inilah yang akan membuat kita untuk selalu bisa tetap fokus dan berlatih kesabaran. Seperti kata pelatih Terry di atas, “Anda bisa melakukan apa saja yang Anda mau asalkan Anda melakukannya dengan sepenuh hati.” Apakah Anda Mau?